Monday, September 14, 2015

Cara Efektif Belajar dari Pengalaman

Sejak SD kita sudah sering mendengar ungkapan “Pengalaman adalah guru terbaik”. Biasanya, ungkapan ini muncul ketika kita mengalami sebuah kejadian ataupun peristiwa yang kemudian menuntut kita untuk merefleksikan kegagalan yang kita alami, mengambil pembelajaran atas pengalaman tersebut untuk tidak mengulanginya di lain waktu.

Masalahnya, apa proses-proses yang harus kita lewati untuk bisa belajar dari pengalaman. Mungkin sederhana saja, jika kita mengalami lagi peristiwa yang sama, kita cukup tidak melakukan lagi ‘kesalahan’ yang pernah kita lakukan. Apakah itu cukup?

Setidaknya ada 3 proses belajar dari pengalaman. Mulai dari mengalami, merefleksikan pengalaman, dan kemudian memodifikasinya. Bagi sebagian orang proses merefleksikan sebuah pengalaman bukanlah hal yang mudah dilakukan. Mungkin, sangat mudah menjelaskan kronologis sebuah peristiwa yang menimpanya, namun tidaklah mudah ketika sampai pada pembelajaran yang didapatkan dari peristiwa tersebut. Biasanya, banyak orang terjebak dengan ‘dampak langsung’ dari sebuah kejadian atau peristiwa, sehingga pembelajaran yang dilihat tidak terlalu mendalam.

Misalnya, pembelajaran yang diperoleh A dari kegagalannya memenangkan lomba memasak nasi goreng, adalah kurang memperhatikan takaran garam yang tepat, sehingga masakan nasi gorengnya terlalu asin. Jika mendapatkan kesempatan mengikuti lomba memasak nasi goreng lagi, apa yang A akan lakukan? Respon cepat atas pertanyaan ini adalah A akan membuat takaran khusus garam, sehingga nasi gorengnya tidak ke-asin-an.

Apakah jika sudah mengenggam strategi itu, maka A akan terjamin ‘lepas’ dari kegagalan yang lain? Saya kira tidak. Potensi kegagalan dalam hal-hal yang lain tetap akan mengancam dan bisa terjadi kembali. Tentunya, ini bukan seperti itung-itungan matematis, jika kemarin A, hanya melakukan 1 kesalahan, maka pada percobaan berikutnya, ia cukup fokus pada kesalahan tersebut, agar tidak terulangi lagi.

Mengambil pemebelajara atas ke-asin-an nasi goreng tersebut tidak cukup hanya melihat dari faktor garam yang berlebih. Namun, sangat penting membawanya ke ranah yang lebih luas, dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Misalnya, Bagian mana dari proses memasak nasi goreng yang membuat A tidak memberikan takaran garam yang pas? Adakah hal-hal yang menggangu A ketika memasak? Apakah A memberikan porsi perhatian yang proporsional diantara setiap proses memasak yang dilakukan? Ataukah ada proses perencanaan yang kurang lengkap? Dengan memunculkan berbagai pertanyaan kritis tersebut, A memiliki gambaran yang lebih lengkap atas peristiwa yang dialami.

Dari sini, ketika mau menarik pembelajarannya, A akan memiliki lebih banyak pilihan solusi dan perspektif pembelajaran.  Kira-kira refleksi pembelajarannya akan berbunyi seperti ini: “Nasi goreng yang ke-asin-an tidak hanya karena takaran garam yang terlalu banyak. Bagaimanapun, taburan garam ke dalam masakan, adalah bagian dari proses memasak secara keseluruhan. Sehingga, faktor-faktor lain dari proses memasak tetap harus menjadi perhatian. Mulai dari perencanaan, urutan memasukkan bumbu ke dalam masakan, konsentrasi dan fokus yang memasak, dan seterusnya.”

Jadi, ketika masuk ke dalam fase modifikasi, proses setelah refleksi atas pengalaman, A mempunyai keleluasaan untuk merekonstruksi proses memasak yang ia lakukan. Tidak melulu fokus pada ke-asin-an masakan, namun juga berpikir bagaimana mempertahankan performanya dalam mengeksekusi setiap proses memasak yang ia lakukan. Jangan sampai A terlena. Meskipun, satu pembelajaran atas kegagalan di masa lalu  ‘tertutupi’, namun kegagalan memberikan perhatian dan fokus yang setara diantara semua proses yang ada, bisa menyebabkan munculnya ‘kegagalan baru’.


Untungnya, tidak ada yang salah dari sebuah pengalaman. Apapun pengalamannya, selalu ada pembelajaran yang bisa dipetik. Tentunya, kemampuan kita merefleksikan pengalaman yang kita alami sangat menentukan kualitas pembelajaran yang bisa kita ambil. Disinilah, ‘belajar dari pengalaman’ tidak akan bisa menjadi guru terbaik, jika kita tidak bisa memaksimalkan proses refleksi atas pengalaman yang kita alami, mengambil pembelajaran atasnya, dan memunculkan opsi-opsi untuk memdofifikasinya menjadi pengalaman baru yang lebih kontekstual tentunya. #gusrowi  

Wednesday, September 9, 2015

Spontanitas itu Reflek Kejujuran

Dalam sebuah pelatihan di Yogyakarta, ketika mendiskusikan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan di ruang pelatihan, seorang partisipan menulis: “Tidak Boleh Ada Tugas Malam”. Merespon usulan ini, fasilitator secara ‘spontan’ menjawab : “Benar, memang tidak akan ada tugas malam, karena semua penugasan akan diberikan pada siang hari. Persoalan mengerjakannya pada malam hari, itu hal lain.” Mendengar ini , semua yang ada di kelas tertawa terpingkal-pingkal, karena tidak menyangka akan mendapatk respon seperti itu.

Spontanitas ‘cerdas’ fasilitator tersebut sangatlah menarik. Ketika saya mendekatinya dan bertanya, apakah ia sudah pernah mendapatkan situasi yang sama sebelumnya, sehingga bisa merespon dengan spontan permintaan partisipan tersebut, ia menjawab,” ini pengalaman pertama kali saya mendapatkan pernyataan dari partisipan seperti itu. Atas jawaban ini, saya berkesimpulan, spontanitas fasilitator tersebut sangatlah ‘cerdas’. Dan saya yakin, tidak mudah memiliki keterampilan ‘spontanitas’ seperti itu.

Dari peristiwa tersebut, saya berpikir dan bertanya-tanya dalam hati, apa yang harus kita lakukan agar kita bisa memiliki spontanitas yang ‘cerdas’, dan tentunya ‘konstruktif, dan bukan ‘destruktif’. Seperti spontanitas bereaksi secara emosional terhadap persoalan yang belum jelas akar persoalannya, ataupun spontanitas kekerasan verbal dalam merespon hal-hal tak terduga.  

Spontanitas itu asli, jujur dan tidak bisa dibuat-buat, karena muncul begitu saja dari alam bawah sadar kita, dan kita tidak memiliki ‘kuasa’ untuk mengontrol kemunculannya. Sebagai sebuah reflek kejujuran, spontanitas kita menggambarkan tentang apa yang sebenarnya kita pikirkan dan yakini.Ia bisa menjadi sinyal bagi orang lain, tentang siapa kita sebenarnya. Untuk bisa melihat apakah si A terbiasa dengan perbedaan pendapat, pandangan dan konflik anda mungkin bisa mengetesnya dengan memberikan kritik dan pandangan yang berbeda atas pendapatnya, dan temu kenalilah  reaksi spontannya.

Saya teringat ketika kelas 3 Aliyah (SMA), saya diminta mengajar kelas Tsanawiyah (SMP). Dalam sebuah kesempatan, saya mendapati murid di kelas saya ada yang tidak bisa menjawab pertanyaan saya. Dan dengan spontan, saya pun berkomentar: “Goblok”.  Jika kemudian saya ditanya, apakah mengatakan ‘goblok’ kepada murid itu etis dilakukan, maka saya pasti akan menjawab, “Tidak”. Namun, spontanitas saya menunjukkan sebaliknya. Tanpa saya sadari, terbangun di alam bawah sadar saya, bahwa murid itu bisa di’goblok’kan.

Disitulah, terjadi inkonsistensi dari apa yang telah menancap di alam bawah sadar saya (tentang perspektif tentang ‘mengajar murid’ yang saya yakini), dengan sikap, perilaku dan tindakan saya. Walau saya bilang, menyatakan murid ‘goblok’ itu tidak dibenarkan, toh nyatanya, spontanitas saya menggambarkan sebaliknya. Inkonsisteni antara ideologi/keyakinan/perpektif, dengan sikap/perilaku/ dan tindakan kita memang bukan hal yang jarang kita alami dan temui. 

Tentunya, adanya niat dan upaya membiasakan diri menjadi pribadi yang konsisten antara apa yang kita yakini, dan lalukan menjadi salah satu cara untuk bisa menjadi pribadi dengan spontanitas yang cerdas dan konstruktif. Semoga. #gusrowi

Monday, August 17, 2015

Kemerdekaan sebagai Door Prize?

“Dua tahun lalu, kamu dapat hadiah payung. Kira-kira tahun ini, kamu bakal dapat door prize apa?”

Begitu pertanyaan saya kepada Esza, anak sulung saya (11 tahun) yang saya yakini memiliki ‘keberuntungan’ tersendiri dalam hal ‘peruntungan’ semacam itu. Beberapa kali Esza memang berhasil ‘beruntung’ mendapatkan hadiah ataupun doorprize. Dan hari ini, 16 Agustus, ia kembali mendapatkan peruntungannya, ia mendapat Doorprize lagi. Kali ini ia mendapatkan Alat Penanak Nasi dari kegiatan Jalan Sehat dalam rangka peringatan 17-an yang ia ikuti di mana ia tinggal.

Door Prize menjadi kata yang sangat populer di setiap peringatan 17-an. Berbagai upaya menggali dana dari masyarakat dilakukan untuk bisa membeli kebutuhan door prize ini. Keberadaannya  menjadi magnet luar biasa dalam meningkatkan partisipasi dan antusiasme masyarakat. Dan tak dipungkiri, door prize  menjadi motivasi tersendiri dan terbukti dinantikan banyak orang. Tanpanya, kegiatan-kegiatan 17-an terasa kurang lengkap.

Untuk mendapatkan Door Prize, hanya dibutuhkan sebuah ‘keberuntungan’. Tidak perlu menguras energi besar untuk menjadi calon pemenangnya. Semuanya, sangat-sangat tergantung dengan faktor ‘keberuntungan’ yang dimiliki. Karakter  door prize yang sarat ‘keberuntungan’ untuk mendapatkannya tentunya tidak sesuai dengan karakter ‘kemerdekaan’ yang sedang di rayakan.  Kemerdekaan yang diperoleh  bangsa ini bukanlah sekedar ‘keberuntungan’, sebagaimana mendapatkan sebuah ‘door prize’. Kemerdekaan ini diperoleh dengan susah payah dan perjuangan ‘hidup mati’ melawan penjajahan.  

Lantas dimana kita bisa menempatkan door prize dalam semangat perayaan 17-an ini? Yang sekilas terlihat sangat bertolak belakang karakternya.  Setiap peringatan 17-an, ada satu proses dimana kita harus merenung dan merefleksikan makna kemerdekaan yang kita miliki saat ini, baik sebagai bangsa, bagian masyarakat maupun sebagai individu (pribadi). Tergantung pakai kaca mata apa kita memandangnya, kemerdekaan bisa dimaknai dengan sangat beragam.  

Namun, di sisi lain ada satu situasi dimana kita mempunyai hak untuk menikmati suasana kemerdekaan ini dengan suka cita dan berbagi kebahagiaan dengan sesama anak bangsa.  Para pejuang dan pahlawan yang telah ‘gugur’ demi  berdiri tegaknya bangsa ini saya yakin akan ikut tersenyum melihat suka cita kita ketika menikmati kemerdekaan ini. Mereka, jika masih hidup, pasti akan bahagia melihat kita tersenyum bahagia menikmati dan mengisi kemerdekaan ini.  Disinilah karakter door prize bisa memerankan fungsinya. Ia terbukti ampuh membangun harapan akan kebahagiaan dan juga memberikan kebahagiaan itu sendiri bagi pemenangnya.

Dirgahayu Indonesia yang ke-70 ! Semoga ‘keberuntungan’ senantiasa menaungi bangsa ini. Amiiin.  #gusrowi.













   







Saturday, August 15, 2015

Menemukan Jalan “Common Ground”

Ketika sedang berselisih paham, berbeda pendapat, atau memiliki pandangan yang berbeda dengan orang lain, apa yang paling mendominasi pikiran anda; Upaya meyakinkan ‘kebenaran’ pandangan anda? memahami lebih baik lagi pandangan orang tersebut? Atau berupaya mencari kesamaan-kesamaan diantara perbedaan pandangan yang ada?

Pendapat atau pandangan kita adalah representasi dari “kepentingan” yang kita miliki, yang terkadang nampak gamblang dalam kata-kata yang kita sampaikan, namun terkadang juga sebaliknya, tersembunyi  dan disampaikan secara tidak langsung. Ungkapan seperti “Ada Udang di Balik Batu”, adalah contoh sederhana bagaimana ada sebuah situasi dimana apa yang nampak (Batu) tidak bisa dijadikan ukuran apa yang sebenarnya orang tersebut butuhkan. Karena ternyata, ada kepentingan lain yang tidak tampak (yaitu Udang), yang jika kita tidak berhasil melihat apa yang ada di balik “Batu” tersebut, maka kita tidak akan dapat mengetahu apa yang sebenarnya orang tersebut butuhkan dan inginkan. Inilah “kepentingan”, sesuatu yang tidak tampak di permukaan, namun keberadaannya menjadi sumber dan dasar dari sikap dan perilaku seseorang.

Adalah kebutuhan mendasar yang sangat lazim, jika kita berusaha untuk mendapatkan apa yang menjadi ‘kepentingan’ diri kita. Persoalannya, ketika memenuhi kepentingan tersebut seringkali kita dihadapkan dengan ‘kepentingan’ orang lain yang ‘berbeda’. Kebutuhan kita, menjadi penghambat ataupun dihalangi oleh kebutuhan orang lain, dan sebaliknya, kebutuhan orang lain terhambat dan terhalangi oleh kebutuhan kita. Menghadapi keadaan demikian, setidaknya kita memiliki 3 pilihan strategi; (1) Memenangkan kepentingan “Kita” atas orang lain (2) memenangkan kepentingan “orang lain” atas Kita, atau (3) Memenangkan kepentingan bersama, orang lain dan Kita.

Pilihan pertama sangatlah menggoda, dan seringkali menjadi pilihan utama kita. Pilihan kedua, menjadi sangat penting, ketika kita berpikir tentang pentingnya menjaga hubungan dengan orang lain, dan pilihan ketiga adalah pilihan paling ideal, karena mementingkan tercapainya kebutuhan bersama. Pikiran untuk bekerjasama dengan saling menguntungkan, menjadi landasan dari pilihan ketiga ini. Tetapi, meski ideal, pilihan ke-tiga juga merupakan pilihan paling sulit dalam mencapainya.

Ketika kepentingan bersama dijadikan tujuan, maka saling memahami, saling membantu, dan saling bekerjasama menjadi sikap-sikap dan perilaku yang harus dilakukan. Tentunya, ini tidak mudah, apalagi kita berhadapan dengan pihak yang berbeda kepentingan dengan kita. Diperlukan proses saling mendengarkan dengan baik, dan saling menghargai pandangan dan pendapat masing-masing. Pada tataran inilah, saya melihat fokus kedua pihak harus diubah (transformasi), dari fokus pada ‘perbedaan kebutuhan ataupun kepentingan’ menjadi fokus pada ‘persamaan-persamaan’ diantara mereka. 

Menemukan persamaan dengan orang yang berbeda pandangan dengan kita, diakui atau tidak, bukan merupakan kebiasaan yang sering kita jalani dalam kehidupan sehari-hari. Menemukan persamaan dilakukan untuk bisa menemukan Common Ground, yang di dalam kamus online (http://www.merriam-webster.com/) dimaknai sebagai “Sebuah dasar (pondasi) dari kepentingan atau persetujuan yang saling menguntungkan”. Berdasarkan pengertian ini, diperlukan adanya kepentingan ataupun kesepakatan yang saling menguntungkan sebagai dasar dalam menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi, yang hasilnya sama-sama menempatkan kedua belah pihak sebagai pemenang bersama.  Inilah mengapa common ground menjadi sangat penting untuk ditemukan, ketika kita menginginkan adanya penyelesaian masalah yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Selain menemukan Common Ground, menemukan persamaan-persamaan di antara orang-orang yang berbeda, akan meningkatkan kemampuan kita dalam membangun kerjasama dengan orang-orang yang berbeda tersebut. Kita menjadi lebih paham bagaimana menerapkan konsep “the right man, on the right place, dan lebih bisa memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Dan sebaliknya, orang lain juga lebih memahami apa siapa kita dan apa yang menjadi concern dan perhatian kita.

Menemukan persamaan-persamaan juga akan menguatkan optimisme kita dalam menjalankan sesuatu. Jika kita bisa ‘bersama’ dan berbagi kepentingan yang ‘sama’, mengapa kita tidak bisa mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada? Kira-kira begitu yang kita tanamkan di dalam pikiran kita.  Perbedaan akan selalu ada, dan kita memiliki pilihan untuk tidak menajamkannya, karena kita lebih memilih untuk ‘menumpulkan’nya dan fokus mengambil manfaat dari dari kepentingan bersama yang kita miliki.

Mari kita tempatkan ‘menemukan Common Ground’ sebagai proses dan tujuan hidup kita. Tentunya, dengan  syarat utama, menjadikan penemuan persamaan sebagai kebiasaan kita sehari-hari. Terakhir, saya ingin mengutip status FB Nur Adi Setyo di dinding-nya, “Kalau saya, lebih suka melihat sesuatu dari persamaan bukan memperuncing perbedaan”. Setuju kan? #gusrowi


Monday, August 3, 2015

"Memahami" itu Membahagiakan

Mana yang paling dominan di dalam diri anda, keinginan dan kebutuhan untuk "dipahami", atau "memahami"?   

Pilihan pertama mensyaratkan kemampuan berkomunikasi yang bagus untuk bisa "dipahami" orang lain. Hal yang tidak mudah tentunya. Apapun yang terjadi, mulai dari adanya kesalahpahaman, ketidakmengertian orang lain atas apa yang anda sampaikan sangat tergantung dari cara anda mengkomunikasikan ide, gagasan dan pikiran anda. 

Mengedepankan "dipahami" tidak memberikan perhatian untuk berupaya "mengerti" pengetahuan, pemahaman orang yang anda ajak berkomunikasi. Fokus komunikasi disini adalah "diri anda". Orang lain hanyalah obyek yang anda harapkan untuk "bisa" mengerti dan memahami anda.

Sangat berbeda, "Memahami"  memang mensyaratkan kemampuan berkomunikasi yang baik, khususnya kemampuan mendengar, dan kemampuan bertanya yang diniatkan untuk menggali makna lebih tentang apa yang orang lain komunikasikan kepada anda. Namun, dibanding "dipahami", disini anda merasa perlu untuk memiliki pengetahuan, pemahaman tentang orang yang anda ajak berkomunikasi untuk lebih memudahkan anda dalam memahami orang tersebut. Fokus "memahami" adalah orang lain, dan yang kamu harapkan dari diri anda adalah "memiliki" dan "memahami" dengan lebih baik orang tersebut. 

"Dipahami" dan "Memahami" tentunya menjadi kebutuhan setiap kita, ketika berkomunikasi. Hanya saja, pilihan mana yang harus didahulukan seringkali menjadi dilema tersendiri. Secara naluriah, mungkin kita cenderung untuk lebih menikmati keadaan ketika "orang lain" lebih memahami diri kita dibanding, diri kita memahami orang lain. Pastinya, sangatlah menyenangkan ketika apapun yang kita inginkan, dan butuhkan dipahami oleh orang lain, yang akhirnya membawa kepada terpenuhinya kebutuhan kita. 

Namun, diakui atau tidak, kenikmatan  ini bisa menjadi "tidak produktif" ketika kita terlena dalam menikmatinya. Fokus pada kebutuhan diri sendiri dibanding orang lain, bisa membuat kita kehilangan momentum untuk bisa belajar dari pengalaman hidup orang lain. Memang, tidak semua yang berasal dari pengalaman orang lain bisa kita manfaatkan. Namun, kita semua tahu, pengalaman adalah guru yang paling baik, dan pengalaman kita tentunya tidak cukup, tanpa dikombinasi dengan pengalaman orang lain. Apalagi, hampir semua pengalaman hidup kita, sedikit banyak dipengaruhi oleh pengalaman  hidup orang lain. Maka, tak ada alasan kita bisa berkembang dan maju tanpa pengaruh dan dukungan orang lain. 

Itulah mengapa, menyiapkan energi lebih untuk "memahami" orang lain dibanding melebihkan energi untuk berharap bisa dipahami orang lain sangatlah penting. Bagi saya, rasanya begitu menyenangkan mendapat cerita-cerita baru tentang berbagai pengalaman menarik dan beragam tentang orang-orang yang kita temui, dimanapun kita berada. Disinilah, saya sering mendapatkan makna hidup yang beragam dari berbagai sudut pandang. Modal saya mendapatkan itupun "gratis". Saya hanya cukup mendengarkan (listening ), bertanya dengan baik dan penuh hormat terhadap siapapun yang kita temui. Dan seringkali, saya mendapat pembelajaran hidup yang luar biasa karenanya. 

Inilah alasan kita memerlukan energi lebih untuk bisa "memahami" orang lain. Memiliki pemahaman atas orang lain dengan lebih baik, akan membantu kita mengkomunikasikan apa yang kita inginkan dan butuhkan, karenanya, orang lain pun tidak akan mengalami kesulitan dalam memahami diri kita.

Memahami itu mungkin menguras energi dan melelahkan, namun hasil dan dampaknya bagi diri kita jauh lebih menyenangkan dan membahagiakan. Insya Allah. #gusrowi





Saturday, August 1, 2015

Pecah Bisul itu Bukan Akhir

Dua hari ini, saya menjalani 2 peristiwa yang saya ibaratkan seperti memecahkan bisul yang sudah lama ditunggu ledakannya. Satu tentang urusan pekerjaan, dimana setelah mengalami penundaan setahun lebih, akhirnya sebuah inisiatif baru berhasil diresmikan. 

Satu lagi tentang urusan sosial di lingkungan sekitar saya, yang hampir 5 tahun saya tinggal, baru kemarin saya merasakan nikmatnya kegiatan temu warga, dimana saya bisa menambah teman dan bertemu dengan orang-orang yang selama ini ada di sekitar saya, namun tidak pernah bertemu dan bertatap muka secara langsung.

Di saat yang hampir bersamaan, bisul pecah ini juga dialami beberapa teman saya yang lain. Satu tentang temen saya yang "akhirnya" bisa "resign" dari pekerjaan yang sekarang. Hal yang telah ia nantikan setahun terakhir. Tentu, bisul ini meledak, setelah ia mendapatkan "pekerjaan baru", sebagai syarat utama ia bisa melenggang keluar dengan baik. Cerita yang lain, tentang teman saya yang akan segera lamaran, dan bersiap menapaki jalan ke pelaminan. Sebuah peristiwa yang juga sangat ia nantikan untuk segera melepas status lajangnya. 

Dari cerita-cerita diatas, saya mau menyederhanakan makna "bisul pecah" disini sebagai sebuah pencapaian keinginan, kebutuhan yang sangat diidam-idamkan untuk bisa menjadi kenyataan. Dengan pecahnya bisul, maka perasaan lega, gembira dan bahagia menjadi nuansa perasaan yang banyak dialami oleh si empunya bisul. Banyak yang kemudian meluapkan dengan berbagai cara, seolah-olah itu sebuah pencapaian akhir dan final. 

Namun, ada juga yang justru lebih hati-hati dan berusaha menyadari, bahwa proses-proses setelah bisul pecah menjadi rumit dan komplek, sehingga tetap membutuhkan kesiagaan dan kewaspadaan.

Memang, masih ada proses merawat dan menjaga agar "bisul" yang sudah pecah tidak lagi mengalami infeksi dan kemudian tumbuh menjadi bisul-bisul baru yang  mengganggu pikiran dan tidak mendatangkan kenyamanan. 

Dalam kasus yang saya alami, saya justru merasakan bahwa tantangan yang harus saya hadapi ke depan lebih berat lagi. Tentu saya berharap apa yang saya inginkan dan rencanakan berjalan dengan baik sesuai yang saya rencanakan, dan tidak perlu terlebih dahulu menjadi "bisul"untuk bisa menikmatinya. 

Saya tidak mau seperti teman saya yang sengaja menciptakan bisul, namun tidak bisa merawatnya, setelah bisul itu pecah. Ceritanya, temen saya ini, sangat ingin sekali menurunkan berat badannya, dan untuk memenuhinya ia ingin sekali nge-gym. Tidak mudah baginya menemukan waktu dan kesempatan untuk melakukannya. Namun, setelah ia punya kesempatan nge-gym, ternyata ia tidak bertahan lama. Sama sekali tidak mencerminkan keinginan kuatnya untuk nge-gym. Latihan pun hanya dijalanin dengan malas-malasan dan ogah-ogahan. Nampaknya, ia merasa bisulnya pecah, setelah ia merasa "berhasil" menjadi bagian dari klub gym. Bagi dia itu lebih penting dibanding menjalani keinginan kuatnya untuk menurunkan berat badannya.

Memang, tidak ada hal yang aneh jika kita memiliki keinginan yang sangat kuat untuk melakukan sesuatu. Seharusnya, memang kita harus berkomitmen penuh untuk mewujudkannya. Namun, tantangan ketika keinginan tersebut terpenuhi idealnya juga diikuti dengan keinginan-keinginan lain yang lebih kreatif dan menantang, agar kita tidak terjebak dengan romantisme "pencapaian" yang itu-itu aja. 

Ayo, kita ciptakan bisul-bisul baru yang lebih keren dan menantang. Namun, jangan sampai ketika bisul itu pecah, kita tidak terlibat didalamnya. Apapun bisul anda, pastikan anda menikmatinya dengan baik, dan pastikan anda tahu apa yang harus anda lakukan untuk memberikan perawatan dan menjaga proses-proses setelahnya. Karena bisa jadi, itulah manfaat ledakan yang sebenarnya dari "bisul" anda. 

Punya bisul yang siap pecah hari ini? Semoga ledakannya membawa kemanfaatan buat kita semua. #gusrowi #ArgoMuriaToSMG.

Saturday, July 18, 2015

Lebaran dan Silaturahmi yang "Terpaksa"

Lebaran dengan tradisi silaturahminya mengingatkan saya pada kuadran manajemen waktu-nya Steven Covey. Merujuk pada 4 kuadrannya, saya mengkategorikan silaturahmi ke dalam kuadran “Penting”, meskipun “Tidak Mendesak” untuk dilakukan.

Mengapa silaturahmi itu “penting”? Siapapun tidak ada yang meragukan manfaat bersilaturahmi. Agama-pun juga memberi penegasan tentang manfaatnya. Silaturahmi, selain menjaga hubungan sosial dan kekeluargaan dengan orang-orang terdekat, juga menjadi ajang untuk menambah kenalan, teman dan jaringan sosial baru. Hal-hal semacam ini bisa membawa dampak positif dalam membuka peluang-peluang saling bekerjasama dan saling memanfaatkan (yang saling menguntungkan) di kemudian hari. Saya yakin, banyak sudah contoh-contoh tentang ini.

Adalah wajar jika kemudian banyak yang mengingatkan, agar kita menjaga silaturahmi dengan siapapun, apalagi dengan orang-orang yang mempunyai peran di dalam hidup kita. Di saat yang sama, kita juga dianjurkan untuk menjaga dan merawat silaturahmi dengan siapapun, bahkan dengan orang-orang yang ‘seolah-olah’ tidak ada pengaruhnya terhadap diri dan hidup kita. Intinya, tidak ada ruginya dalam bersilatuhami.

Silaturahmi yang ideal bertujuan untuk membangun hubungan sosial-kekeluargaan, dan bukan berdasarkan pamrih-pamrih kepentingan tertentu yang bersifat ‘oportunistik’. Karena silaturahmi semacam ini kayaknya tidak akan bertahan dalam jangka panjang, karena sarat kepentingan-kepentingan pribadi yang instan.

Jika melihat manfaat yang ada, mengapa silaturahmi “Tidak Mendesak” untuk dilakukan? Melakukan silaturahmi bisa dilakukan kapanpun, dimanapun dan dan dengan siapapun. Apalagi di zaman ini, banyak sekali media yang bisa memfasilitasi kita untuk bersilaturahmi. Tanpa harus menunggu lebaran, silaturahmi bisa tetap kita jalankan sepanjang Tahun.

Namun, kemudahan-kemudahan yang ada tidak menjadikan sebagian besar dari kita untuk memanfaatkannya dengan baik. Kita lebih suka menunggu lebaran untuk sekedar bertegur sapa dengan teman dan sana famili di kampung halaman. Atau, kita lebih suka menunda silaturahmi, karena kita merasa bisa melakukannya dengan mudah jika kita mau. “Ah.. besok juga bisa”, “Ah..lebaran juga ketemu”, dan “Ah..Ah” lainnya.

Sifat ke-tidak mendesak-an ini ternyata justru membuat kita ‘terlena’, hingga tanpa kita sadari, waktu berjalan begitu cepat, dan akhirnya sampailah “Lebaran”, saat dimana kita merasa ‘terpaksa’, karena kita merasa “harus” bersilaturahmi. Selama setahun kita tidak pernah ‘menabung’ silaturahmi apapun. Maka, lebaran-pun menjadi ajang satu-satunya untuk bersilaturahmi. Disinilah, manfaat penting ‘silaturahmi’ menjadi kurang. Karena kita memperlakukannya secara ‘tidak penting’ dan justru menjadikannya terasa ‘mendesak’ untuk dilakukan ketika lebaran tiba.

Idealnya, setelah meyakini manfaat silaturahmi, kita tidak pernah lagi menyianyiakan setiap peluang bersilaturahmi yang ada di depan kita. Manfaatnya begitu banyak, dan karenanya sangat penting untuk dilakukan sebanyak mungkin. Karena sifatnya yang ‘tidak mendesak’, maka kita bisa mengelolanya dengan menjadikannya sebagai aktivitas menyenangkan yang kita lakukan secara rutin seminggu sekali, sebulan sekali, dan yang pasti bukan setahun sekali. Kita tidak mau kan dianggap “mau bersilaturahmi” jika pas “Ada maunya” saja?

Maka, mari terus belajar menjadikan silaturahmi sebagai ‘gaya hidup’ kita sehari-hari, dan bukan sebagai gaya hidup ‘tahunan’ di saat lebaran  datang. Selamat menikmati Lebaran!  #gusrowi