Sejak SD kita sudah sering mendengar ungkapan “Pengalaman adalah guru
terbaik”. Biasanya, ungkapan ini muncul ketika kita mengalami sebuah kejadian
ataupun peristiwa yang kemudian menuntut kita untuk merefleksikan kegagalan
yang kita alami, mengambil pembelajaran atas pengalaman tersebut untuk tidak mengulanginya
di lain waktu.
Masalahnya, apa proses-proses yang harus kita lewati untuk bisa belajar
dari pengalaman. Mungkin sederhana saja, jika kita mengalami lagi peristiwa
yang sama, kita cukup tidak melakukan lagi ‘kesalahan’ yang pernah kita lakukan.
Apakah itu cukup?
Setidaknya ada 3 proses belajar dari pengalaman. Mulai dari mengalami,
merefleksikan pengalaman, dan kemudian memodifikasinya. Bagi sebagian orang
proses merefleksikan sebuah pengalaman bukanlah hal yang mudah dilakukan.
Mungkin, sangat mudah menjelaskan kronologis sebuah peristiwa yang menimpanya,
namun tidaklah mudah ketika sampai pada pembelajaran yang didapatkan dari
peristiwa tersebut. Biasanya, banyak orang terjebak dengan ‘dampak langsung’
dari sebuah kejadian atau peristiwa, sehingga pembelajaran yang dilihat tidak
terlalu mendalam.
Misalnya, pembelajaran yang diperoleh A dari kegagalannya memenangkan
lomba memasak nasi goreng, adalah kurang memperhatikan takaran garam yang
tepat, sehingga masakan nasi gorengnya terlalu asin. Jika mendapatkan
kesempatan mengikuti lomba memasak nasi goreng lagi, apa yang A akan lakukan?
Respon cepat atas pertanyaan ini adalah A akan membuat takaran khusus garam,
sehingga nasi gorengnya tidak ke-asin-an.
Apakah jika sudah mengenggam strategi itu, maka A akan terjamin ‘lepas’
dari kegagalan yang lain? Saya kira tidak. Potensi kegagalan dalam hal-hal yang
lain tetap akan mengancam dan bisa terjadi kembali. Tentunya, ini bukan seperti
itung-itungan matematis, jika kemarin A, hanya melakukan 1 kesalahan, maka pada
percobaan berikutnya, ia cukup fokus pada kesalahan tersebut, agar tidak
terulangi lagi.
Mengambil pemebelajara atas ke-asin-an nasi goreng tersebut tidak cukup
hanya melihat dari faktor garam yang berlebih. Namun, sangat penting membawanya
ke ranah yang lebih luas, dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Misalnya,
Bagian mana dari proses memasak nasi goreng yang membuat A tidak memberikan
takaran garam yang pas? Adakah hal-hal yang menggangu A ketika memasak? Apakah
A memberikan porsi perhatian yang proporsional diantara setiap proses memasak
yang dilakukan? Ataukah ada proses perencanaan yang kurang lengkap? Dengan
memunculkan berbagai pertanyaan kritis tersebut, A memiliki gambaran yang lebih
lengkap atas peristiwa yang dialami.
Dari sini, ketika mau menarik pembelajarannya, A akan memiliki lebih
banyak pilihan solusi dan perspektif pembelajaran. Kira-kira refleksi pembelajarannya akan
berbunyi seperti ini: “Nasi goreng yang ke-asin-an tidak hanya karena takaran
garam yang terlalu banyak. Bagaimanapun, taburan garam ke dalam masakan, adalah
bagian dari proses memasak secara keseluruhan. Sehingga, faktor-faktor lain
dari proses memasak tetap harus menjadi perhatian. Mulai dari perencanaan,
urutan memasukkan bumbu ke dalam masakan, konsentrasi dan fokus yang memasak,
dan seterusnya.”
Jadi, ketika masuk ke dalam fase modifikasi, proses setelah refleksi atas
pengalaman, A mempunyai keleluasaan untuk merekonstruksi proses memasak yang ia
lakukan. Tidak melulu fokus pada ke-asin-an masakan, namun juga berpikir
bagaimana mempertahankan performanya dalam mengeksekusi setiap proses memasak
yang ia lakukan. Jangan sampai A terlena. Meskipun, satu pembelajaran atas
kegagalan di masa lalu ‘tertutupi’,
namun kegagalan memberikan perhatian dan fokus yang setara diantara semua
proses yang ada, bisa menyebabkan munculnya ‘kegagalan baru’.
Untungnya, tidak ada yang salah dari sebuah pengalaman. Apapun
pengalamannya, selalu ada pembelajaran yang bisa dipetik. Tentunya, kemampuan
kita merefleksikan pengalaman yang kita alami sangat menentukan kualitas
pembelajaran yang bisa kita ambil. Disinilah, ‘belajar dari pengalaman’ tidak
akan bisa menjadi guru terbaik, jika kita tidak bisa memaksimalkan proses
refleksi atas pengalaman yang kita alami, mengambil pembelajaran atasnya, dan
memunculkan opsi-opsi untuk memdofifikasinya menjadi pengalaman baru yang lebih
kontekstual tentunya. #gusrowi