Monday, September 14, 2015

Cara Efektif Belajar dari Pengalaman

Sejak SD kita sudah sering mendengar ungkapan “Pengalaman adalah guru terbaik”. Biasanya, ungkapan ini muncul ketika kita mengalami sebuah kejadian ataupun peristiwa yang kemudian menuntut kita untuk merefleksikan kegagalan yang kita alami, mengambil pembelajaran atas pengalaman tersebut untuk tidak mengulanginya di lain waktu.

Masalahnya, apa proses-proses yang harus kita lewati untuk bisa belajar dari pengalaman. Mungkin sederhana saja, jika kita mengalami lagi peristiwa yang sama, kita cukup tidak melakukan lagi ‘kesalahan’ yang pernah kita lakukan. Apakah itu cukup?

Setidaknya ada 3 proses belajar dari pengalaman. Mulai dari mengalami, merefleksikan pengalaman, dan kemudian memodifikasinya. Bagi sebagian orang proses merefleksikan sebuah pengalaman bukanlah hal yang mudah dilakukan. Mungkin, sangat mudah menjelaskan kronologis sebuah peristiwa yang menimpanya, namun tidaklah mudah ketika sampai pada pembelajaran yang didapatkan dari peristiwa tersebut. Biasanya, banyak orang terjebak dengan ‘dampak langsung’ dari sebuah kejadian atau peristiwa, sehingga pembelajaran yang dilihat tidak terlalu mendalam.

Misalnya, pembelajaran yang diperoleh A dari kegagalannya memenangkan lomba memasak nasi goreng, adalah kurang memperhatikan takaran garam yang tepat, sehingga masakan nasi gorengnya terlalu asin. Jika mendapatkan kesempatan mengikuti lomba memasak nasi goreng lagi, apa yang A akan lakukan? Respon cepat atas pertanyaan ini adalah A akan membuat takaran khusus garam, sehingga nasi gorengnya tidak ke-asin-an.

Apakah jika sudah mengenggam strategi itu, maka A akan terjamin ‘lepas’ dari kegagalan yang lain? Saya kira tidak. Potensi kegagalan dalam hal-hal yang lain tetap akan mengancam dan bisa terjadi kembali. Tentunya, ini bukan seperti itung-itungan matematis, jika kemarin A, hanya melakukan 1 kesalahan, maka pada percobaan berikutnya, ia cukup fokus pada kesalahan tersebut, agar tidak terulangi lagi.

Mengambil pemebelajara atas ke-asin-an nasi goreng tersebut tidak cukup hanya melihat dari faktor garam yang berlebih. Namun, sangat penting membawanya ke ranah yang lebih luas, dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Misalnya, Bagian mana dari proses memasak nasi goreng yang membuat A tidak memberikan takaran garam yang pas? Adakah hal-hal yang menggangu A ketika memasak? Apakah A memberikan porsi perhatian yang proporsional diantara setiap proses memasak yang dilakukan? Ataukah ada proses perencanaan yang kurang lengkap? Dengan memunculkan berbagai pertanyaan kritis tersebut, A memiliki gambaran yang lebih lengkap atas peristiwa yang dialami.

Dari sini, ketika mau menarik pembelajarannya, A akan memiliki lebih banyak pilihan solusi dan perspektif pembelajaran.  Kira-kira refleksi pembelajarannya akan berbunyi seperti ini: “Nasi goreng yang ke-asin-an tidak hanya karena takaran garam yang terlalu banyak. Bagaimanapun, taburan garam ke dalam masakan, adalah bagian dari proses memasak secara keseluruhan. Sehingga, faktor-faktor lain dari proses memasak tetap harus menjadi perhatian. Mulai dari perencanaan, urutan memasukkan bumbu ke dalam masakan, konsentrasi dan fokus yang memasak, dan seterusnya.”

Jadi, ketika masuk ke dalam fase modifikasi, proses setelah refleksi atas pengalaman, A mempunyai keleluasaan untuk merekonstruksi proses memasak yang ia lakukan. Tidak melulu fokus pada ke-asin-an masakan, namun juga berpikir bagaimana mempertahankan performanya dalam mengeksekusi setiap proses memasak yang ia lakukan. Jangan sampai A terlena. Meskipun, satu pembelajaran atas kegagalan di masa lalu  ‘tertutupi’, namun kegagalan memberikan perhatian dan fokus yang setara diantara semua proses yang ada, bisa menyebabkan munculnya ‘kegagalan baru’.


Untungnya, tidak ada yang salah dari sebuah pengalaman. Apapun pengalamannya, selalu ada pembelajaran yang bisa dipetik. Tentunya, kemampuan kita merefleksikan pengalaman yang kita alami sangat menentukan kualitas pembelajaran yang bisa kita ambil. Disinilah, ‘belajar dari pengalaman’ tidak akan bisa menjadi guru terbaik, jika kita tidak bisa memaksimalkan proses refleksi atas pengalaman yang kita alami, mengambil pembelajaran atasnya, dan memunculkan opsi-opsi untuk memdofifikasinya menjadi pengalaman baru yang lebih kontekstual tentunya. #gusrowi  

Wednesday, September 9, 2015

Spontanitas itu Reflek Kejujuran

Dalam sebuah pelatihan di Yogyakarta, ketika mendiskusikan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan di ruang pelatihan, seorang partisipan menulis: “Tidak Boleh Ada Tugas Malam”. Merespon usulan ini, fasilitator secara ‘spontan’ menjawab : “Benar, memang tidak akan ada tugas malam, karena semua penugasan akan diberikan pada siang hari. Persoalan mengerjakannya pada malam hari, itu hal lain.” Mendengar ini , semua yang ada di kelas tertawa terpingkal-pingkal, karena tidak menyangka akan mendapatk respon seperti itu.

Spontanitas ‘cerdas’ fasilitator tersebut sangatlah menarik. Ketika saya mendekatinya dan bertanya, apakah ia sudah pernah mendapatkan situasi yang sama sebelumnya, sehingga bisa merespon dengan spontan permintaan partisipan tersebut, ia menjawab,” ini pengalaman pertama kali saya mendapatkan pernyataan dari partisipan seperti itu. Atas jawaban ini, saya berkesimpulan, spontanitas fasilitator tersebut sangatlah ‘cerdas’. Dan saya yakin, tidak mudah memiliki keterampilan ‘spontanitas’ seperti itu.

Dari peristiwa tersebut, saya berpikir dan bertanya-tanya dalam hati, apa yang harus kita lakukan agar kita bisa memiliki spontanitas yang ‘cerdas’, dan tentunya ‘konstruktif, dan bukan ‘destruktif’. Seperti spontanitas bereaksi secara emosional terhadap persoalan yang belum jelas akar persoalannya, ataupun spontanitas kekerasan verbal dalam merespon hal-hal tak terduga.  

Spontanitas itu asli, jujur dan tidak bisa dibuat-buat, karena muncul begitu saja dari alam bawah sadar kita, dan kita tidak memiliki ‘kuasa’ untuk mengontrol kemunculannya. Sebagai sebuah reflek kejujuran, spontanitas kita menggambarkan tentang apa yang sebenarnya kita pikirkan dan yakini.Ia bisa menjadi sinyal bagi orang lain, tentang siapa kita sebenarnya. Untuk bisa melihat apakah si A terbiasa dengan perbedaan pendapat, pandangan dan konflik anda mungkin bisa mengetesnya dengan memberikan kritik dan pandangan yang berbeda atas pendapatnya, dan temu kenalilah  reaksi spontannya.

Saya teringat ketika kelas 3 Aliyah (SMA), saya diminta mengajar kelas Tsanawiyah (SMP). Dalam sebuah kesempatan, saya mendapati murid di kelas saya ada yang tidak bisa menjawab pertanyaan saya. Dan dengan spontan, saya pun berkomentar: “Goblok”.  Jika kemudian saya ditanya, apakah mengatakan ‘goblok’ kepada murid itu etis dilakukan, maka saya pasti akan menjawab, “Tidak”. Namun, spontanitas saya menunjukkan sebaliknya. Tanpa saya sadari, terbangun di alam bawah sadar saya, bahwa murid itu bisa di’goblok’kan.

Disitulah, terjadi inkonsistensi dari apa yang telah menancap di alam bawah sadar saya (tentang perspektif tentang ‘mengajar murid’ yang saya yakini), dengan sikap, perilaku dan tindakan saya. Walau saya bilang, menyatakan murid ‘goblok’ itu tidak dibenarkan, toh nyatanya, spontanitas saya menggambarkan sebaliknya. Inkonsisteni antara ideologi/keyakinan/perpektif, dengan sikap/perilaku/ dan tindakan kita memang bukan hal yang jarang kita alami dan temui. 

Tentunya, adanya niat dan upaya membiasakan diri menjadi pribadi yang konsisten antara apa yang kita yakini, dan lalukan menjadi salah satu cara untuk bisa menjadi pribadi dengan spontanitas yang cerdas dan konstruktif. Semoga. #gusrowi