Saturday, May 30, 2015

"Jangan Pernah Meremehkan Keadaan !!!"

"Situasinya seolah serba tidak memungkinkan. Seolah tak ada lagi jalan keluar. Opsi solusi pun sangat sulit dimunculkan. Namun, hal-hal yang tak terduga datang dan tiba-tiba opsi-opsi jalan keluar pun terhampar luas di depan mata." 

Pernahkah anda mengalami situasi demikian? Sedang menghadapi deadline pekerjaan, sementara masih banyak PR yang belum terselesaikan; sudan jatuh tempo membayar cicilan atau tagihan, sementara belum ada sepeserpun uang di tangan; ataupun memiliki rencana yang sudah matang, tiba-tiba semuanya terancam gagal berantakan. 

Menghadapi situasi demikian yang paling sering muncul dan kita alami tentu saja "panik" dan "ketidaknyamanan" perasaan. Apalagi, jika kita termasuk orang yang bertanggungjawab, maka rasa bersalah jika tidak bisa menunaikan kewajiban dan tanggungjawab akan terasa begitu menghantui. 

Memang, se-panik dan se-stress apapun, kita dituntut untuk terus kreatif melakukan berbagi simulasi dalam mencari jalan keluar yang baik dan bertanggungjawab. Tentunya, sambil mengiringinya dengan keyakinan bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, dan badai-pun pasti akan berlalu pada akhirnya. 

Dalam situasi tersebut, kita juga tidak dianjurkan untuk  "meremehkan" sedikitpun keadaan yang kita alami. Se-putus asa apapun kita, hendaknya kita tidak memandang sebelah mata setiap opsi yang muncul sebagai  jalan keluar. Kita  juga tidak dianjurkan untuk "meremehkan" keadaan dengan meyakini dan menghakimi seolah "tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan keadaan."

Sikap meremehkan, ditambah pola pikir "tidak meyakini" adanya jalan keluar dari situasi yang ada, hanyalah akan menambah situasi dan keadaan semakin memburuk dan menjauhkan kita  dari menemukan solusi yang terbaik. Idealnya, keyakinan kita akan terselesaikannya masalah, didukung dengan keyakinan bahwa: "Apapun (baik atau buruk) bisa terjadi, dan bisa dialami oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun". 

Karena kita memilih hal "baik" agar terjadi pada diri kita, maka opsi yang kita milki, tak lain dan tak bukan, hanyalah "meyakininya" akan hadir menghampiri kita.  #gusrowi. 




Thursday, May 28, 2015

"Putus Asa ala Joni"

"Sudah 3 tahun terakhir menjadi Joki 3 in 1 di sore hari, dan tukang parkir di pagi hari. Joni, 33 Tahun, belum menikah, yang menyesal tidak menamatkan SMA-nya, berkali-berkali mengeluh putus asa dengan hidupnya. Alasan perut yang membuatnya dia harus tetap bertahan." 

Apa yang anda lakukan jika sedang merasa sangat "putus asa"? Walau ajaran agama manapun mengajarkan agar kita tidak mudah berputus asa, nyatanya tidak mudah kita meng-handle rasa ini ketika datang mendera. 

Seringkali kita diajarkan agar melihat ke bawah dan tidak ke atas untuk menimbulkan efek "syukur", bahwa ada orang-orang yang kurang beruntung dibanding kita. Sehingga kita patut dan layak mensyukuri keadaan kita saat ini. Bagaimana dengan orang-orang yang merasa tidak memiliki apapun untuk dijadikan alasan bersyukur? 

Selama hampir 1 jam ngobrol dengan Joni, saya berusaha untuk membantunya melihat apa yang bisa ia syukuri dari keadaannya. Saya juga mencoba menggali hal-hal yang bisa membuat dia "menyatakan" bahwa ia masih bisa bersyukur dengan keadaannya. Namun, tak sepatah kata "syukur" keluar dari mulutnya. Baginya, beban hidup dan kerasnya Jakarta sudah membuatnya tidak memiliki harapan masa depan yang lebih baik lagi. 

Ketika saya singgung, kenapa tidak "mati saja", jika memang sangat putus asa dan tidak merasa memiliki masa depan? Dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Meskipun, tidak juga muncul di mulutnya, alasan "positif" yang membuatnya masih ingin bertahan hidup. 

Saya teringat kata-kata seorang Kyai pendiri Pondok Gontor di Ponorogo: "Hidup tak takut mati; Takut Mati Jangan Hidup: Takut Hidup Mati Saja". Dari sini, walaupun saya gagal membuatnya melihat sisi "positif" darinya dan hidupnya, setidaknya, Joni bukan orang yang "takut mati". 

Sesulit apapun hidupnya; seputus asa apapun ia mencari sesuap nasi tiap hari; dan se-menyesal apapun ia dengan cerita masa lalunya; ia masih bertahan hidup dan tak mau "mati" merenggutnya karena alasan "perut". Joni, walau lebih sering bilang putus asa sepanjang perjalanan, nyatanya tetap semangat bertahan hidup. 

Senyum dan tawa kami sepanjang jalan Sudirman sore itu, semoga memberikannya sedikit "hiburan" di tengah Jakarta yang semakin tidak "manusiawi" baginya. Kalau ketemu Joni lagi, saya akan mencoba sekali lagi untuk bisa membuatnya menyebut "saya masih bersyukur". Semoga Bisa. #gusrowi. 





Tuesday, May 26, 2015

Menemukan "Misteri" Diri Kita

Suatu malam, seorang tetangga bertamu ke rumah saya.  Tetangga saya ini terhitung sesepuh di komplek saya tinggal. Kedatangannya  memiliki maksud untuk meminta dan memohon saya agar mau menjadi ketua RT. Dia pun mengungkapkan beberapa alasan mengapa ia meminta saya menjadi ketua RT. 

Alih-alih mencoba menyangkal dan mendebat alasan-alasan yang disampaikan, saya memilih menyimak, sambil mengeksplorasi apa yang tetangga saya lihat dari diri saya.  Saya juga memanfaatkan momentum ini sebagai proses mengevaluasi dan menemukan "misteri" potensi diri saya yang mungkin selama ini belum terungkap.

Menjadi Ketua RT, "keren tidaknya" sebutan sebagai "Pak RT", iming-iming kekuasaan di level mendasar struktur sosial kelas komplek, benar-benar bukan menjadi fokus saya. Saya memilih menikmati apresiasi, perhatian, dan energi kepercayaan yang diberikan kepada saya, yang mendasarinya menyimpulkan saya layak menjadi ketua RT.  Disinilah, saya merasa terbantu. 

Kehadiran orang lain yang memberikan pandangan dan feedback tentang keberadaan kita memiliki banyak manfaat. Di satu sisi, ini menunjukkan masih ada orang yang "peduli" dan "perhatian" kepada kita. Di sisi lain, jika kita memperlakukan segala feedback tersebut secara tepat, akan membantu kita menemukan hal-hal yang selama ini mungin belum terungkap di dalam diri kita.  

Kita harus percaya, masih banyak potensi diri kita yang belum terungkap dan bisa dikembangkan. Sehingga, sangat tidak tepat, jika kita berpikir kita sudah "mentok" dan tidak bisa berkembang lagi. Berapapun usia kita saat ini. 

Untuk bisa terus berkembang, kita memerlukan orang lain untuk memberikan masukan, opini, saran, kritik, feedback, dan evaluasinya atas diri kita. Memang, tidak mudah merespon pandangan orang lain, apalagi jika hal tersebut tidak mengenakkan kita. Namun, meremehkan dan tidak menggubrisnya sama sekali juga bukan cara yang tepat. 

Mari kita coba melihat segala macam feedback tersebut dengan cara yang berbeda; "Orang ini mungkin sedang membantu saya melihat sisi diri saya yang selama ini tidak/kurang saya perhatikan ataupun sadari, maka saya akan mendengarkannya". 

Dalam kasus apa yang saya alami, saya akan berpikir;  "Meskipun tidak pernah terlintas sekalipun, mungkin saya memang punya bakat menjadi Pak RT, mengapa tidak mencobanya kan?". #gusrowi.


Saturday, May 23, 2015

Membantu Orang dengan Meragukannya, Caranya?

Semua dari kita pasti pernah mengalami situasi dimana ada orang-orang yang meragukan "kemampuan" kita. Sebaliknya, kita juga pernah mengalami berada di dalam posisi sebagai orang yang "meragukan" kemampuan orang lain.

Bagaimana perilaku dan sikap yang biasa anda tampilkan ketika "diragukan" oleh orang? Apakah anda akan merespon secara terbuka, dan berusaha menunjukkan bahwa keraguan tersebut tidak benar adanya? Ataukah anda lebih memilih "diam dan sabar", tidak menggubrisnya, dan memilih terus berusaha yang terbaik? 

Bagi sebagian orang, perasaan diragukan bisa berdampak sangat negatif, menyulut emosi, memunculkan sikap-sikap "defensif", dan memancing sikap ingin secepat mungkin menunjukkan bahwa segala keraguan yang ada tidaklah tepat. Tentunya, sikap-sikap demikian bisa tersirat dari cara-cara orang tersebut berkomunikasi, berinteraksi dan menyampaikan tuntutan dan kepentingannya kepada kita. 

Saya kira sangat manusiawi jika kita merasakan ketidaknyamanan yang luar biasa ketika ada orang yang "meragukan" kemampuan kita. Ini sangat dimaklumi, karena ketika kita diragukan, kebutuhan dasar "harga diri" kita, memang sedang mengalami gangguan. Kebutuhan untuk dihargai, dihormati, diapresiasi atas (sebaik dan seburuk) apapun kemampuan yang kita miliki. 

Jadi, jika memang "diragukan" itu lebih banyak mendatangkan "ketidaknyamanan", maka kita bisa berpikir berulang-ulang jika kita ingin "meragukan" orang lain. Memang, "meragukan" orang adalah sah-sah saja, dan hak kita semua. 

Namun, bagaimana kita mengolah keraguan kita, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap orang tersebut, sangat jauh lebih penting. Bisa jadi, kita justru akan membantu orang tersebut untuk bisa maju dan mencapi level tertinggi kemampuannya. 

Disinilah kita selalu diingatkan oleh filosofi jawa: "ojo dumeh" dan "ojo dupeh". Selamat berakhir pekan semua!.#gusrowi.


Friday, May 22, 2015

Bermanfaat buat orang lain, Yakin?

Apa yang membuat hidup anda bermanfaat? Pertanyaan yang ternyata tidak mudah untuk dijawab oleh banyak orang. Berbagai kekhawatiran karena merasa belum berbuat banyak buat orang lain, atau tidak adanya keyakinan diri telah melakukan sesuatu untuk orang lain seringkali muncul menjadi alasan.

Bagi saya, pertanyaan tersebut memang sangat dalam artinya. Dan siapapun yang menanyakan hal tersebut pada dirinya sendiri, akan membantunya untuk merefleksikan  apa yang dilakukan dan di lalui dalam kehidupan sehari hari. Apakah dalam menjalani rutinitas selalu ada unsur kemanfaatan buat orang lain? Bahwa, manusia yang baik itu yang bermanfaat buat orang lain itu iya, tapi, bagaimana menghadirkan manfaat buat orang lain itu tantangan yang tidak mudah.

Adalah sangat subyektif untuk mengatakan bahwa kita merasa telah bermanfaat buat orang lain. Apalagi jika tidak ada dampak apapun yang bisa dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita.

Untuk bisa bermanfaat buat orang, yang mungkin paling kita butuhkan saat ini adalah bagaimana kita secara otentik memahami apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan kita. Pada saat yang sama, kita juga memerlukan kepekaan kuat dalam membaca dan memahami kebutuhan dan kepentingan orang-orang di sekitar kita. 

Pada tahap awal, besar kecilnya manfaat itu sendiri tidaklah menjadi fokus, yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa benar-benar melakukan sesuatu yang  secara tepat sasaran dan dampaknya benar-benar ada. Untuk itu semua, memulainya adalah tantangan terbesar kita. Dan kita tidak akan pernah tahu ada atau tidaknya manfaat keberadaan kita sebelum kita benar-benar memulainya. #gusrowi


Wednesday, May 20, 2015

Komunikasi....Ringan Nan Sulit

Seringkali, setiap muncul permasalahan diantara dua orang atau lebih, "komunikasi" tidak saja sebagai kunci untuk menemukan akar permasalahan, tetapi ia juga bisa menjadi biang masalah dan sekaligus solusinya. 

Komunikasi, bagi sebagian orang bukan perkara sederhana. Meskipun merasa tahu kunci masalah dan solusinya adalah komunikasi, banyak yang kemudian dibingungkan dengan  detail yang harus dilewati dan dijalani ketika harus mempraktekkan keterampilan berkomunikasi. Jangankan komunikasi langsung jarak jauh menggunakan telpon ataupun tulisan,  sudah saling bertatap muka saja, masih banyak kesalahpahaman yang terjadi.

Ketika dua orang yang berkonflik sudah mau mulai berkomunikasi, sejatinya merupakan langkah yang sangat penting. Hal ini menunjukkan keduanya mulai membuka diri untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah. Sebaliknya, jika kran komunikasi ditutup, jangan harap masalah bisa selesai dengan sendirinya. 

Setelah komunikasi dimulai, tantangan berikutnya adalah, menjalankan pola komunikasi yang konstruktif dan dialogis. Sangat tidak mudah tentunya. Karena yang sering kita temukan adalah gaya berkomunikasi yang cenderung intimidatif; dan sangat mementingkan capaian kepentingan pribadi (ego-sentris). Saling memahami persepsi masing-masing pihak sulit menjadi fokus, dan lebih sibuk meyakinkan yang lain untuk mencari pembenaran pandangan sendiri.

Komunikasi yang baik idealnya mengedepankan pentingnya "mendengar". Tidak sekedar mendengarkan secara aktif, tetapi juga mendengarkan untuk memahami apa yang menjadi kepentingan masing-masing. Tentu saja, model-model mendengarkan untuk sekedar mencari titik lemah yang lain, dan menyerang balik bukanlah jenis komunikasi yang bisa mendukung tercapainya penyelesaian masalah. 

Itulah komunikasi. Sesuatu yang mutlak kita butuhkan tiap saat, yang memerlukan latihan dan pembelajaran yang tidak ada kata akhirnya. Sesuatu yang enteng diucapkan, namun berat dilakukan.#gusrowi


Monday, May 18, 2015

Ambisi yang "Ambisius"

Memiliki ambisi tentulah natural. Ambisi untuk berprestasi; ambisi untuk menjalin afiliasi dengan sebanyak mungkin orang; ataupun ambisi untuk memimpin dan berkuasa. Namun, ketika ambisi bertransformasi menjadi "ambisius", konotasi yang sering kita dengar adalah negatif. 

Apa yang salah dari sikap ataupun perilaku "ambisius"? Apakah itu tidak menunjukkan keseriusan, komitmen dan betapa pentingnya sesuatu yang sedang diperjuangkan? 

Atau jangan-jangan munculnya pandangan negatif terhadap sikap "ambisius" seseorang lebih disebabkan ke-tidak-biasaan kita melihat upaya-upaya mengejar sesuatu dengan cara yang terang-terangan dan terbuka. Karena selama ini, mungkin kita sangat dibiasakan dengan pola-pola "senyap" ketika ingin meng-gol-kan keinginan atau ambisi kita. Berapa banyak orang-orang di sekitar kita yang "terbuka" dengan ambisi hidup mereka? Saya yakin tidak banyak. 

Bagi saya, memiliki tujuan atau target yang "ambisius" sangatlah diperlukan. Setidaknya, hal tersebut akan memotivasi dan memberikan dorongan energi di dalam diri kita. Persoalannya, bagaimana cara yang seharusnya kita tempuh untuk mengekspresikan keinginan "ambisius" kita agar tidak dimaknai negatif? 

Sikap ambisius harus menggunakan pendekatan yang elegan, dan "fair". Jika "ambisius" disisipi dengan arogansi dan menghalalkan segala cara, disitulah banyak orang akan berpikiran negatif tentang ambisi kita, dan cenderung tidak akan mendukung kita.

Semoga kita tidak pernah kehabisan motivasi untuk berambisi. Ambisi yang "ambisius", dilakukan secara alami, dari hati dan manusiawi akan menjadi faktor penting dalam mempengaruhi semesta untuk mendukungnya terwujud. #gusrowi.

Friday, May 15, 2015

Mengapa Kita “Harus” Bekerjasama?

Rasanya, tidak pernah ada yang menyangkal manfaat memiliki “kemampuan bekerjasama” (Teamwork Skill).  Sebuah kemampuan yang banyak dibutuhkan di dalam menjalani hidup sehari-hari. Namun, meski kemampuan ini bisa dilatih dan dibentuk,  masih banyak orang yang mengalami kesulitan menguasai dan melakukannya.  Mengapa?

Orang tidak mau bekerjasama karena merasa tidak memiliki kepentingan yang sama; Tidak memiliki ‘rasa percaya’ (trust) yang cukup kepada orang lain; Tidak merasakan adanya manfaat untuk ‘berbagi’ kebahagiaan dan kemenangan bersama orang lain;  dan tidak memiliki pengalaman yang cukup tentang “dua kepala” akan lebih baik dibanding “satu kepala” ketika menghadapi dan menyeselesaikan masalah.

Padahal, dengan bekerjasama,  kita memiliki kemungkinan yang lebih baik untuk mencapai kesuksesan; berinvestasi membangun dan membina hubungan baik dengan orang lain; dan menunjukkan diri kita sebagai mahluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan dan dukungan orang lain;

Bekerjasama juga membuka munculnya peluang-peluang yang tidak “terencana” yang bisa mempererat hubungan baik dengan orang lain; dan sekaligus mengasah pikiran dan keterampilan untuk ‘lihai’ dan ‘canggih’ berpikir tentang kepentingan “kita”, dan bukan semata-mata mengedepankan kepentingan “saya”.


Jadi, bekerjasama adalah tentang “Kita”, dan bukan tentang “Saya”. Jika ketika merayakan kemenangan bersama, kita masih berpikir “Jika tidak ada saya”, atau “Jika bukan karena saya”, nampaknya kita perlu “merubah cara kita bekerjasama” (Transforming the way we collaborate). Tidak saja mentransformasi alasan kita bekerjasama dan cara kita melakukannya, namun juga pentingnya berpikir tentang “keberlanjutan” dari kerjasama yang dilakukan. What’s Next?.   # gusrowi 

Thursday, May 14, 2015

Mengapresiasi-pun Butuh Keberanian

Mengertilah orang lain, jika kamu ingin dimengerti" begitu kata Stephen Covey. Bentuk yang mirip; "hormatilah orang lain, jika kamu ingin dihormati"; "hargailah orang lain, jika kamu ingin dihargai"; dan "apresiasilah orang lain, jika kamu ingin diapresiasi". 

Walau sering kita dengar kalimat-kalimat tersebut, selalu tidak mudah mempraktekannya. Acapkali yang sering kita alami adalah "egoisme" yang mengedepankan kebutuhan untuk dihormati, dihargai atau di apresiasi oleh orang lain. 

Di sisi lain, ketika dipertanyakan apakah kita sudah cukup memberikan penghormatan, penghargaan dan apresiasi kepada orang lain, yang sering muncul seringkali perasaan dan sikap "defensif" dan "klaim" subyektif bahwa kita merasa telah melakukan hal yang tepat, tanpa kurang adanya.

Padahal, jangan-jangan ada yang masih kurang dari cara kita menghargai, menghormati dan mengapresiasi orang lain. Dari persoalan ketulusan menjalankannya, hingga soal kuantitas kita melakukannya. 

Jika kita semua begitu menikmati yang namanya dihargai, dihormati dan diapresiasi, maka untuk mendapatkannya kita juga harus membiasakan sikap-sikap menghormati, menghargai dan mengapresiasi orang lain. Untuk sukses melakukannya, kita memerlukan "ketulusan",  "keberanian" , dan "pengakuan" atas apa yang orang lain layak dapatkan. 

Disadari atau tidak, memunculkan 3 hal tersebut tidaklah mudah. Perasaan merugi, alasan harga diri, malu, rasa iri, dengki, ataupun gengsi seringkali mengganggu gairah kita untuk mengungkapkan rasa hormat dan apresiasi kepada capaian positif orang lain. Di saat itulah kita mungkin lupa, betapa hal itu juga menjadi kebutuhan mendasar diri kita, yang jika terpenuhi akan berdampak sangat positif. 

Ketika kita punya stok yang melimpah untuk secara tulus dan berani menghormati, menghargai dan mengapresiasi orang lain, saya meyakini, siapapun anda, dimanapun anda, akan membuat orang lain selalu "nyaman" dan termotivasi jika bersama anda. Berani membuktikan?. #gusrowi

Wednesday, May 13, 2015

Mencapai "Hasil yang Ekselen"

“Latihan saja kamu tidak serius, gimana jika main di dalam pertandingan beneran”

Itu adalah kalimat seorang pelatih sepak bola di kampung saya kepada pemainnya ketika latihan. Kalimat ini sangat kuat memotivasi pemainnya. Bahwa, jika latihan saja sudah tidak serius dan sungguh-sungguh, jangan harap di dalam pertandingan beneran akan mendapatkan hasil yang ekselen. 

Memperoleh hasil “ekselen” dalam setiap hal yang kita lakukan adalah dambaan kita. Namun, kita sadar, untuk mencapainya tidaklah mudah. Banyak sekali tantangan yang harus kita taklukkan.

Mulai dari sulitnya memunculkan pikiran “sepenuh hati” ketika hal yang kita kerjakan tidak berdampak langsung pada diri kita; hingga sulitnya berpikir tentang hasil yang ‘ekselen’ ketika berada di lingkungan yang “tidak sehat”, dan begitu lemah level ‘kerjasama’ antar ‘tim’-nya. 

Apakah kita akan rugi jika selalu berusaha berpikir “hasil yang ekselen”?, meskipun kita berada di lingkungan yang “tidak kondusif” mendukung apa yang kita kerjakan. Menurut saya, sama sekali tidak ada ruginya. 

Ketika kita menetapkan hati untuk selalu berusaha mencapai hasil yang ekselen, maka kita tidak lagi berpikir, siapa yang akan mendapatkan manfaat lebih besar dari apa yang kita kerjakan. Menjadi ekselen adalah pembuktian diri kita terhadap apa yang mampu kita lakukan sesuai dengan apa yang kita yakini. Ini juga merupakan sebuah proses totalitas terhadap apa yang kita kerjakan. Setidaknya, kita telah membuktikan terhadap diri kita, komitmen dan usaha sungguh-sungguh yang kita lakukan demi menghasilkan sesuatu yang ekselen. 

Berpikir ekselen adalah "motivator handal” yang bisa kita ciptakan di dalam diri kita sendiri. Tidak saja berdampak positif terhadap diri kita, namun manfaatnya juga bisa menjangkau siapapun di sekitar kita.  Selamat Sore semuanya!. #gusrowi

Monday, May 11, 2015

Dahsyatnya Empati

Terkesan dengan 2 orang yang berprofesi sebagai sopir yang menemani perjalanan saya 2 hari terakhir. Satu sopir, seorang sarjana salah satu PTN terkemuka di Yogyakarta, satu lagi, seorang dengan pengalaman merantau lebih dari sepuluh tahun di luar negeri.

Secara usia, kedua orang tersebut hanya 1-2 tahun diatas saya. Alih-alih merasa bangga sebagai orang yang membayar mereka, saya memilih bersibuk ria "ber-empati" kepada mereka, "Bagaimana jika saya di posisi mereka?"; "Apa yang saya pikirkan?" ; "Apa yang saya khwatirkan?", dan sebagainya.  

Ternyata, dengan berempati membantu saya untuk bisa menjalin komunikasi dua arah yang nyambung dan nyaman, dan tanpa disadari keakraban bisa dengan mudah diciptakan. Dan ketika banyak pengalaman hidup yang dibagi dan diceritakan, yang muncul kemudian adalah "pikiran positif" atas keadaan saya saat ini, dan juga rasa hormat atas segala situasi dan perjuangan hidup mereka. 

Tidak ada yang salah dengan hidup yang kita jalani, hanya saja, cara kita yang mungkin "belum tepat" dalam menikmatinya. Apapun kita; siapapun kita; dimanapun kita, harus selalu punya cara untuk menikmati hidup, agar tidak terjebak pada "pikiran-pikiran negatif" memandang hidup yang kita jalani. 

Hidup itu sangat-sangat banyak dimensinya, demikian juga cara menikmatinya. Maka jangan pernah "merasa" kehabisan cara dalam menikmatinya. Jika itu anda alami, mungkin anda perlu bersilaturahmi dengan 2 sopir diatas, mungkin. #gusrowi.




Jangan "Takut" Mencoba!

"Mencoba saja belum tentu berhasil, apalagi tidak mencobanya". Ini respon yang saya tanamkan di dalam diri ketika menemukan peluang dan kesempatan di depan mata. Frase ini cukup efektif ternyata untuk memotivasi diri saya untuk berani mencoba. Berbeda dengan sekedar "coba-coba", keberanian mencoba harus berdasar pada keseriusan dan niat yang jelas. 

Tidaklah perlu kita berpikir terlalu PD "Bagaimana jadinya nanti jika saya benar-benar mendapatkan peluang itu?" atau berpikir "Ya kalau gak berhasil nanti gimana?" 

Sebelum mencobanya, tentu kita tidak akan pernah tahu jawabannya. Namun, banyak orang acapkali "mundur" dulu, bahkan ketika belum memasuki "medan penentuan". Banyak hal yang menjadi alasannya, dari merasa tidak memenuhi kualifikasi; tidak berpengalaman; tidak yakin diterima; dan sebagainya.

Salah satu mengapa alasan-alasan itu mengemuka, karena kita hanya melihat sebuah "medan penentuan" sebagai arena "menang dan kalah" belaka. Diakui atau tidak, semua dari kita pasti menginginkan kemenangan, sehingga  kekalahan adalah momok yang selalu menakutkan dan sebisa mungkin untuk dihindari. 

Disinilah, memiliki "keberanian mencoba" sangat-sangatlah penting. Salah satu syarat agar hal ini bermanfaat adalah dengan membuang jauh-jauh pikiran mencari kemenangan, dan lebih mengedepankan semangat belajar mengenali kemampuan dan kapasitas diri kita. Jika kita berhasil, kita bisa menilainya sebagai sebuah prestasi, dan jika kita belum berhasil, mindset yang haru kita tanamkan adalah "masih banyak hal yang harus kita tingkatkan". Tidak hanya soal pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga soal bagaimana kita mempengaruhi "semesta" agar mendukung apa yang menjadi keinginan dan cita-cita kita. 

Saya yakin, masih banyak yang belum kita ketahui di dunia ini, dan mencoba apapun peluang dan kesempatan yang ada menjadi lorong dan ruang untuk melengkapi perjalanan dan pengalaman hidup kita. Selamat Mencoba! #gusrowi.



Menguji Prinsip

"Saya sudah mengajaknya bicara baik-baik, namun respon yang saya terima justru sebaliknya". Meski sudah berusaha memperlakukan orang lain dengan hormat dan kooperatif, terkadang tidak menjamin kita akan mendapatkan perlakuan yang sama. Apa yang harus kita lakukan? Tetap berusaha baik, atau mengikuti cara mereka?

Situasi demikian acap kita alami di banyak kesempatan. Ketika mendapat perlakuan yang tidak kita harapkan, kita sering "tergoda" untuk memperlakukan orang tersebut dengan tidak baik. Alasan-alasan seperti hilangnya kesabaran, balas dendam, dan tidak bisa menerima perlakuan buruk, seringkali menjadi pemicunya.

Seburuk apapun perlakuan yang kita terima, kita harus berusaha untuk tidak terpengaruh menggunakan cara-cara yang sama yang mengarah kepada sikap "destruktif" dan kekerasan. Karena, akibat yang ditimbulkan justru masalah yang kian rumit dan bisa dipastikan, cara tersebut tidak akan mendukung tercapainya "resolusi" atas masalah yang dihadapi. 

Saya percaya, menjadi orang baik itu adalah niat dan keinginan semua orang. Selalu ada titik harapan di setiap orang untuk menjadi pribadi yang baik. Persoalannya, seberapa besar peluang dan kesempatan yang diberikan kepada "titik" itu untuk bisa membesar dan mempersempit ruang "negatif" dan "destruktif" diri kita. Kita bisa membantu diri kita sendiri dan juga orang lain dengan sikap kooperatif dan konstruktif yang kita amalkan. Selamat pagi sahabat!. #gusrowi


Saturday, May 2, 2015

"Refleksiku untuk (me)Motivasi"

Sahabat, 
Beberapa tulisan singkat berikut adalah beberapa refleksi yang saya maksudkan untuk bisa memotivasi diri saya dan semoga juga orang lain. Sebagaimana posting saya yang lain, tulisan-tulisan ini saya kompilasi dari  beberapa status di akun Facebook saya: Agus Hadi Nahrowi. Terima Kasih.


“Kepo itu Nikmat”
Menemukan situasi "di luar kebiasaan" di sekitar kita seringkali membuat kita bereaksi berbeda. Terkadang kita terkejut, kaget, heran atau cuek-cuek saja. Namun, adakalanya kita juga penasaran dan berusaha mencari tahu penyebabnya.

 Saya sendiri, termasuk orang yang menikmati berteka-teki, berkepo-ria (dalam hati), dan meng-otak atik (gothak-gathik-mathuk) berbagai data dan informasi yang ada. Puas rasanya, jika penyebabnya ketemu. Namun, tidak juga kecewa, jika hasilnya tidak sesuai harapan.

Memiliki kepekaan terhadap rangkaian peristiwa yang sudah terjadi, kiranya membantu kita mengenali dan mengungkap "cerita" dibalik apa yang "sedang" dan mungkin yang "akan" terjadi. Ini sangat bermanfaat buat landasan kita mengambil keputusan. Saya yakin, banyak jalan menjadi pribadi yang "peka", ber-kepo-ria secara "konstruktif" adalah salah satunya. (20 April 2015)

“Memimpin atau Dipimpin”
Mana yang lebih anda suka, siap memimpin? Atau siap dipimpin?. Memang sangat tergantung konteks dan situasinya. Kesiapan Memimpin tidaklah mudah. Siap dipimpin juga tak kalah sulit. Diperlukan ke-lapang-an dada dan keikhlasan untuk menjalaninya.

Tentu saja, menyiapkan mental untuk keduanya sangatlah penting. Ketika sedang asyik memimpin, banyak orang alpa menyiapkan mental dari ancaman "post power syndrom" yang akut, sehingga "gagap" dan "gagal" ketika tiba-tiba harus menjadi orang yang dipimpin.

Bagi saya, "kesiapan" untuk bermental dan berkomitmen kuat untuk menjalani apapun peran kita sangatlah penting sebagai dasar dalam "memimpin" dan "dipimpin". Karena, tak selamanya kita akan "memimpin", dan tak selalu kita akan berposisi orang yang "dipimpin". (23 April 2015)

“Berpikir Tidak Kotak”
Banyak yang bilang agar kita berlatih untuk berpikir "di luar kotak" (out of the box). Bagaimana kita tahu telah melakukannya? Apakah diukur dari ke-nylenehan ide kita? Atau kemampuan ide kita menjadi solusi atas situasi tertentu? Yang jelas, berpikir model ini selalu berada di luar apa yang orang kebanyakan lakukan. Tentu saja tidak asal "beda", namun bagaimana perbedaan ide tersebut memiliki kekuatan menjadi alternatif diantara sekian banyak ide.

Bagaimana kita melatihnya? Mencoba melakukan hal-hal di luar kebiasaan adalah salah satunya. Tentunya, kita tidak boleh takut berbeda; takut dianggap tidak normal, ataupun takut ide kita tidak diterima. Berada di luar kebiasaan orang kebanyakan terkadang bisa memberikan kita sudut pandang yang berbeda dan lebih netral dari kungkungan sekitar kita. Berani beda, berani sama, asalkan bertuah adalah menantang diri untuk selalu berpikir. Corgito ergo sum!.(24 April 2015)

“Kebetulan itu Tidak Ada”
Seberapa percaya anda kepada yang namanya "kebetulan"? Bagi yang percaya kalau semua yang terjadi di muka bumi karena Tuhan, maka akan berpikir kuasa Tuhan yang mengatur semuanya. Bagi mereka yang tidak serta merta melibatkan Tuhan akan cenderung berpikir, ada proses tarik menarik energi diantara makhluk hidup, yang memungkinkan terjadinya persinggungan, gesekan dan pertemuan.

Ketika niat telah diikrarkan, fokus, keyakinan dan komitmen dijalani, maka segala hal di alam semesta akan bergerak untuk mendukunya. Disinilah "niat" dan "keyakinan" begitu penting. Dua hal ini akan mengarahkan kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, termasuk membantu kita menghadapi hal-hal yang terjadi di luar perkiraan dan antisipasi kita. Jadi, apa yang terjadi memang sudah semestinya, sehingga tidak ada yang namanya kebetulan. (25 April 2015)

“Semuanya Menentukan”
"Big Step", Bagaimana kita tahu sedang dan akan mengambil langkah penting yang berpengaruh besar terhadap perjalanan hidup kita? Karena tidak selalu "tahu" dan "yakin" dampak dari keputusan kita, bisa jadi semua langkah kita sangatlah "penting" dan "menentukan".

Setiap keputusan berpotensi menjadi "momentum kunci" bagi hidup kita ke depan. Saya meyakini, dengan memprioritaskan setiap keputusan secara "serius dan penting", maka kita tidak akan merugi, dan penyesalan pun akan enggan menghampiri kita. (26 April 2015)

“Mood Malas itu Perlu”
Pasti mengenal "The Lazy Song"-nya Bruno Marz doong? Lagu tentang "mood malas" untuk membuktikan, meraih, atau memenangkan sesuatu. Sesekali, nampaknya asyik juga memiliki mood demikian. Selain akan menyeimbangkan mental kita, memiliki mood ini juga akan memberikan ruang bagi kita untuk "menetralisir" segala dampak emosional dan pikiran mengejar target, capaian, dan tuntutan ambisi kita sehari-hari.

Momentum ini juga bisa kita manfaatkan untuk berefleksi, dan berintrospeksi diri tentang apakah kita cukup memberikan diri kita "waktu istirahat" dari segala urusan pribadi dan orang-orang di sekitar kita. Harapannya, ketika kita kembali ke "mood aktif", kita akan menemukan energi baru yang lebih "fresh" dan level kepercayaan diri kita semakin meningkat. Mari bermalas-malas dengan "bijak", mungkinkah?.  (2 Mei 2015)

“Menolak Mustahil”
"Bagaikan pungguk merindukan bulan", seringkali identik dengan adanya keinginan yang mustahil untuk bisa digapai. Namun, pernahkah anda berpikir jika di sekeliling kita selalu ada "rembulan" yang bisa dijangkau dan di ajak berinteraksi? Jika anda pernah melakukannya bahkan sering, maka bisa dipastikan anda sudah menaklukkan tantangan alam tentang bagaimana merindukan rembulan dan menggapainya. Jika itu yang sebenarnya terjadi, anda benar-benar termasuk golongan orang yang beruntung. (30 November 2014)

“Melawan Arus”
Membebaskan diri dari himpitan persoalan adalah hal yang biasa terjadi. Membebaskan diri dari segala kenyamanan, kesenangan, kenikmatan dan keindahan tentu sebuah langkah luar biasa. Terlepas apa kelebihan dan kekurangan dari pilihan-pilihan tersebut, masing-masing dari kita pasti pernah dihadapkan dengan situasi ketika kita harus memilih untuk mempertahankan 'status quo' atau melakukan perubahan,meskipun tanpa kejelasan "akhir cerita," dan hanya berpegang pada keyakinan akan harapan masa depan yang lebih baik. (16 Desember 2014)

“Bahagia itu....”
Kebahagiaan itu sebuah tujuan atau proses? Demi tujuan menjadi bahagia, segala sesuatunya dijalani dengan penuh semangat dan tak kenal lelah, meskipun tak selalu jelas bentuk kebahagiaan itu seperti apa nantinya. Jika bahagia itu sebuah proses, siapapun tidak perlu menunggu hingga akhir cerita bahagia, karena kebahagiaan itu selalu diyakini terdapat dalam setiap langkah yang dilewati. Selamat menikmati kebahagiaan, sekecil apapun itu, kapanpun dan dimanapun kebahagiaan bisa datang dan didatangkan. (25 Januari 2015)


“Menjalan Misi”
Memiliki dan menjalani misi besar ternyata tidak saja membutuhkan niat; 'kemauan' yang kuat; komitmen menapaki setiap proses dan tantangan yang dihadapi; dan mentalitas penuh optimisme; namun juga kesiapan mental untuk menjadi 'martir' demi tercapainya 'misi' yang ingin dicapai. Apapun misi anda, baik kasat mata ataupun tidak, pastikan anda siap untuk menjadi martir di dalamnya, karena disaat itulah anda menunjukkan loyalitas atas misi yang dijalani. (6 Februari 2015)

“Move On”
Menikmati rasa bahagia dengan sepenuh hati sangatlah perlu, apalagi jika kemudian dampaknya positif bagi orang-orang disekitar kita. Di sisi lain, menyadari bahwa rasa bahagia itu hadir untuk waktu yang terbatas, selalu menyiapkan diri untuk senantiasa "move on" dan melakukan perubahan juga tak kalah penting.

Move On tidak selalu identik dengan transformasi dari "negatif" ke "positif", dari "sedih" ke "bahagia", namun bisa dimaknai dengan transformasi dari "positif" ke "positif yang lebih tinggi levelnya". Dari satu bahagia ke bahagia yang lain yang lebih membahagiakan. Jangan pernah ragu! Keep moving on sobat! (7 Februari 2015)

“Luarbiasa namun Sederhana”
Bagaimana sebuah kesederhanaan bisa berbuah keluar biasaan? Banyak kita temui kata sederhana, sebagai nama toko atau warung. Entah apa yang menjadi alasan memilih kata tersebut. Sebagai bentuk kerendah hatian kah? Bentuk ketidaksombongan? Bentuk ketidakmulukan berusaha? Atau hanya sekedar nama? Namun, jika ditanya, apakah hasil yang ingin dicapai dari usaha tersebut adalah hasil yang "sederhana" juga? Saya yakin, jawabnya "tidak".

Hasil yang maksimal dan melimpah tentunya menjadi tujuannya. Berhati-hatilah dalam menyuarakan apa yang ada dalam pikiran kita. Karena acapkali apa yang terjadi pada diri kita dipengaruhi oleh apa yang kita pikirkan. Jadi, jangan berharap hasil yang ekselen, jika anda sendiri berharap hasil yang sederhana, dan cara anda melakukannya juga dengan cara yang "sederhana". (8 Februari 2015)

“Olah Prasangka”
Mungkinkah kita bisa mengalihkan pikiran kita dari memikirkan beratnya beban hidup dengan cara membandingkannya dengan besarnya nikmat yang kita rasakan? Sehingga kita ketemu dengan hasil yang tidak seimbang antara besarnya nikmat dibanding beban hidup yang harus kita pikul.
Bagaimana jika kita gagal melihat nikmat yang kita rasakan, sehingga beban hidup terasa lebih besar? Apakah benar nikmat yang kita rasakan itu selalu lebih besar dibanding beban hidup kita? Saya kira dengan tidak berprasangka apapun terhadap beban hidup yang kita hadapi, kita akan membiasakan diri menjalani hidup dengan penuh kesadaran, bahwa hidup harus dijalani dah dinikmati. Apapun situasi dan kondisi yang kita hadapi.  (24 Februari 2015)

“Asupan Pikiran”
Tidak semua dari kita diberi kemudahan untuk mengambil keputusan dalam hal kapan kita bisa memanjakan diri dan pikiran kita dengan aktivitas yang menyenangkan. Tentu banyak sekali alasannya. Salah satunya adalah ketidakmampuan mengukur level kejenuhan dan ketahanan kita dalam menggeluti pekerjaan sehari-hari.

Dampaknya, menunda bersenang-senang hingga semuanya kelar dan tuntas menjadi pilihannya. Jangan heran jika kemudian kita tiba-tiba tidak enak badan, aktifitas sosial menjadi berantkan, stress melanda, dan menjadi sangat emosional. Itu semua sangat dimungkinkan kita alami karena kita tidak memberikan asupan gizi yang cukup buat pikiran dan diri kita. Ayo, tunggu apalagi, bersenang-bahagialah sekecil apapun peluang yang anda miliki! (1 Maret 2015)

“Tanpa Rencana”
Membuat perencanaan matang untuk tujuan yang akan dicapai di masa depan banyak disarankan oleh banyak orang sebagai cara jitu mendekatkan kepada hasil yang ingin dicapai. Namun, bagaimana jika ditengah perjalanan kita menemukan banyak sekali peluang yang jauh lebih menarik dibanding apa yang telah kita rencanakan? Apakah kita akan "setia" terhadap rencana kita, atau kita merubah haluan dan mengambil semua peluang yang ada di depan kita?

Adakalanya, mempunyai perencanaan bagus hanya akan membatasi kita meraih berbagai peluang dan kesempatan kita di masa depan. Jadi, jangan khawatir jika, anda merasa tidak mempunyai rencana apapun untuk masa depan anda. Justru dengan begitu anda lebih "merdeka" untuk menyambut dan menyambar semua peluang yang ada tanpa terbatasi oleh "rencana" yang anda miliki. (9 Maret 2015)

“Karena Kita Berakal”
Pernahkah kawan-kawan berfikir untuk sesekali tidak melibatkan Tuhan dalam urusan hidup kita? Adalah 'mudah' untuk mengungkapkan dan menyatakan, anggaplah ini sebagai "Cobaan dan Ujian Tuhan," atau "Serahkan semuanya kepada Tuhan," atau "Tuhan ingin melihat kualitas kesabaran kita", dan sebagainya. Kata-kata yang menenangkan dan menyamankan tentunya. Meskipun, untuk sampai pada level 'tenang', 'nyaman' sangatlah tidak semudah pengucapannya.

Kita, sebagai manusia, dengan segala kelemahan kita, harus tetap menghadapi masalah dengan akal kita, yang merupakan atribut paling keren yang kita dapatkan dari Tuhan. Saya yakin, Tuhan pasti tersanjung melihat kita menggunakan Akal kita secara maksimal untuk menjalani hidup ini. Mari, jangan sia-siakan pemberian Tuhan terhebat ini. (11 Maret 2015)

“Menolak Pasrah”
Apa reaksi anda ketika ada yang mengomentari tentang diri anda dengan mengatakan: "udahlah, tak ada manusia yang sempurna." Tentu tidak ada yang salah dengan ungkapan itu. Saya juga membenarkannya. Meskipun, ungkapan itu juga tidak serta merta bisa membantu menyelesaikan masalah. Bahkan bisa jadi justru mendatangkan efek "pasrah" dan memperkecil peluang untuk berpikir di luar "kotak", guna mencapai level yang ekselen dalam berkreativitas. (16 Maret 2015)

“Imaji Sukses”
Saya suka orang yang memiliki imajinasi tentang "sukses" atas apa yang sedang ia coba raih. Sebuah imaji yang menggambarkan keadaan ideal yang ingin ia rasakan dan alami, lengkap dengan berbagai detail plot ceritanya. Saya sangat yakin, imaji sukses hanya dimiliki oleh orang dengan optimisme dan keyakinan diri yang kuat. Ini adalah modal penting baginya, sehingga dia akan mudah bangkit ketika imaji sukses yang ia miliki gagal terwujud. "Menumpulkan" berbagai efek negatif "kegagalan" mencapai target bukanlah perkara sulit baginya, karena ia selalu percaya imaji dia tentang sukses akan selalu menemukan jalannya untuk bisa ia bangkitkan dan miliki. Apakah itu anda? (21 Maret 2015)

Karakter “Rejeki”
Seberapa kenal anda dengan karakter dan tanda-tanda bagaimana rejeki, kebahagian, dan keberuntungan mendatangi anda?

Di saat kita begitu yakin akan mendapatkan, justru kita tidak beruntung. Disaat kita hanya ingin mendapatkan satu saja, kita dihadapkan dengan 2 atau tiga pilihan secara bersamaan. Disaat kita memiliki banyak opsi dan peluang, ternyata tak satupun menjadi kenyataan. Di saat kita hanya memiliki satu-satunya peluang, ternyata kita justru sukses menggegamnya. Di saat kita begitu dimudahkan dengan proses yang ada, ternyata hasilnya justru tidak seperti yang diharapkan.

Bagi saya, semakin sulit dan tidak mudah proses yang saya lewati dan jalani, saya semakin yakin bisa mendapatkannya. Disinilah saya meyakini, jika kita menyadari dan mengenali bagaimana karakteristik "keberuntungan" kita sendiri, maka kita tidak akan buang-buang waktu untuk "cemburu" atau "iri" dengan keberuntungan yang didapatkan orang lain. Bagaimana dengan anda? (27 Maret 2015)

“Refleksi atas rutinitas”
Dalam sehari, berapa lama waktu yang anda dedikasikan untuk sekedar "berefleksi" tentang pelajaran dari perjalanan hidup anda?

Memiliki rutinitas yang teratur adalah dambaan setiap orang. Namun, terjebak dengan rutinitas, tanpa dilandasi misi dan idealisme yang jelas juga tidak ideal. Ada banyak alasan dibalik rutinitas seseorang. Dari sekedar mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup; menjalankan peran dan tanggungjawab; menyalurkan minat dan idealisme; ataupun ketiga-ketiganya.

Bagi saya, pilihan terakhir memberikan peluang yang seluas-luasnya untuk bisa menikmati hidup dan terus belajar tentang hidup. Jadi, jika tidak ada lagi alasan dan idealisme yang mendasari rutinitas anda, kiranya menjadi momentum yang tepat bagi anda untuk memikirkan lagi makna rutinitas, bagi diri anda dan orang-orang di sekitar anda.  (7 April 2015)

“Terus Penasaran”
Rasa penasaran akan sesuatu, apapun itu, tak jarang memicu munculnya energi dan motivasi tersendiri. Tentu, rasa penasaran akan hilang, ketika apa yang menjadi pemicunya sudah diketahui dan dipenuhi. Saya yakin, hadirnya "rasa penasaran" menunjukkan adanya keinginan untuk belajar, mengeksplorasi berbagai informasi, pengetahuan dan pengalaman. Justru, kita harusnya khawatir jika tidak lagi pernah merasa "penasaran." Jangan sampai kita menyesal karena "cuek" dengan apa yang membuat kita penasaran. Jangankan mati "penasaran", hidup dengan rasa penasaran yang tidak terjawab dan terpenuhi-pun tidak nyaman adanya. Anda tidak mau kan?. (15 April 2015)

“Siap Tua, Tapi...”
Apa yang anda persiapkan agar ketika usia semakin menua, anda tidak tumbuh menjadi orang tua yang "kolot", "konservatif", "keras kepala", "susah dimengerti" dan "tidak gaul" dengan perkembangan zaman? Saya meyakini, kebiasaan berinteraksi dengan berbagai macam orang; berpikir terbuka dan kritis; terus belajar bersikap toleran; terbuka terhadap kritik, masukan dan saran; dan gairah belajar yang tak boleh padam adalah beberapa kebiasaan yang penting dilakukan. Menurut anda? (17 April 2015)



"Refleksiku atas Konflik"


Sahabat, 

Dibawah ini adalah beberapa hasil refleksi saya tentang konflik yang saya tuangkan ke dalam beberapa status di akun Facebook saya: Agus Hadi Nahrowi. Terima Kasih  


"Reaksi Atas Konflik"
"Hati-hati dengan reaksi pertama anda terhadap masalah atau konflik, karena itu akan menentukan bagaimana langkah anda dalam menyelesaikan masalah." Ungkapan ini sudah puluhan bahkan ratusan kali saya sampaikan di banyak kesempatan memfasilitas pelatihan maupun pertemuan. Semakin sering saya sampaikan, rasanya semakin tinggi level kesulitan dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari hari. Satu hal yang pasti, ada kenikmatan tersendiri ketika kita bisa menerapkan sendiri apa yang kita katakan dan yakini. Mencoba, mengalami, dan memodifikasinya menjadi kuncinya. Selamat Malam Semua!. (17 Maret 2015)

“Berteman dengan Konflik”
Sudahkah anda memiliki masalah/konflik untuk hari ini? Bertemanlah dengan masalah atau konflik. Dengan menjadi teman "baiknya" kiranya akan lebih memudahkan kita untuk menemukan "titik temu"dan memungkinkan kita bisa bekerjasama dengannya. Kita juga akan makin mengenalnya, sehingga tidak lagi "takut" ketika bertemu dengannya. "Trouble is a friend" kata Lenka. Saya suka itu. Ada unsur "dinamis,"kreatif" dan "transformatif" di situ. Menurut anda?  (11 April 2015)

Trigger Konflik”
"Ada orang yang sangat sabar, namun tiba-tiba meledak marahnya ketika disinggung perihal keluarganya. Atau, ada orang yang menjadi sangat emosional dan anarkhis ketika disinggung masalah keyakinan dan harga dirinya."

Di dalam konflik, hal tersebut dikenal sebagai "conflict trigger" atau pemicu konflik. Masing-masing dari kita memilikinya. Ada yang mengenalinya dengan baik, ada yang tidak. Tiap orang memiliki "trigger" yang berbeda-beda.

Mengenali apa saja yang bisa "memicu" munculnya sikap emosional, rasa marah dan amarah di dalam diri kita adalah langkah awal untuk bisa mengelola "trigger" kita dengan baik. Dengan mengenalinya, kita memiliki peluang untuk menemukan "treatment" yang tepat agar ketika merasa tidak nyaman/emosional/marah tidak berdampak negatif buat orang-orang di sekitar kita.

Di sisi lain, mengenali "trigger" orang-orang terdekat kita, teman, atasan, keluarga, juga tak kalah pentingnya. Dengan mengenalinya, kita akan berhati-hati untuk tidak "menyentuhnya", sehingga kita bisa menghindari munculnya hal-hal yang bisa mengganggu silaturahmi dan hubungan baik kita dengan mereka. (30 April 2015)

“Bijak Berasumsi”
"Ujilah asumsimu, dan jangan menelannya mentah-mentah".
Berasumsi atas apa yang terjadi di depan dan sekitar kita adalah sebuah kewajaran. Hanya saja, kewajaran tersebut akan berubah menjadi hal yang "membahayakan", jika "asumsi" yang kita miliki tidak kita "uji" terlebih dahulu.

Ketika kita tidak memberi ruang untuk menguji asumsi kita, dan langsung menyimpulkannya sebagai sebuah "kebenaran", maka yang sangat mungkin terjadi kemudian adalah kesalahpahaman, fitnah, dan pendekatan yang kurang tepat. Berasumsi hanyalah langkah awal dalam memahami sesuatu, dan selanjutnya harus diikuti proses pembuktian dan pengujian tentang benar tidaknya asumsi kita. Tentu, hasilnya bisa "benar", dan juga bisa "salah". Keduanya harus disikapi dengan bijak, legawa dan dewasa.

Mari terus berasumsi, namun dengan "tanpa rasa takut" untuk terus mengujinya, dan ke-lapang dada-an menerima apapun hasilnya. (1 Mei 2015)

“Berpikir Positif”
Berpikir positif itu tidak semudah mengucapkannya. Bahkan meyakininya menjadi hal yang baik jika bisa diterapkan juga tidak gampang. Ada hal-hal yang harus dilewati sebelum kemudian benar-benar PD bahwa kita sudah berpikir positif.

Salah satunya adalah menjawab mengapa kita perlu berpikir positif? Apakah itu sekedar cara kita menghibur diri dari kekhawatiran dan ketakutan atas apa yg akan terjadi? Ataukah itu tentang ketidaksiapan kita menerima keadaan yang tidak kita inginkan?

Bagi saya, berpikir positif akan berdampak negatif, jika niatnya hanya untuk menyiapkan diri kita terhindar dari sesuatu yang tidak kita inginkan. Karena apapun situasinya, menghadapinya adalah cara terbaik untuk bisa lebih dekat denga solusi yang dicari. (20 Februari 2015)

“Sulitnya Bekerjasama”
Mendebatkan ataupun mendialogkan persoalan "nilai" sangatlah tidak mudah, mengingat masing-masing memiliki subyektivitas yang sama-sama kuat. Apalagi ada persoalan "harga diri" yang terlibat. Tak heran jika kemudian egoisme dan kepentingan pribadi begitu menonjol. "Apa yang bisa membuat kita bisa bekerjasama?" Hanyalah ungkapan pertanyaan yang nyatanya sangat tidak mudah untuk diamalkan oleh dua pihak yang sedang berseberangan. Apakah jalan sendiri-sendiri akan menjadi pilihan yang paling masuk akal? (21 Januari 2015)

“Menuju Kolaborasi”
Menyelesaikan masalah, sekecil apapun, orientasi idealnya adalah mencapai hasil yang memungkinkan kedua pihak mendapatkan tujuannya, dan hubungan terjaga dengan baik, atau dikenal dengan kolaborasi (win-win). Tetapi, yang saya pelajari dari banyak orang, gaya kolaborasi ini sulit dilakukan. Seringkali, untuk mencapai level ini, terlebih dahulu kita harus ber-kompromi, ber-akomodasi, ber-kompetisi dan bahkan menghindar.

Selama hal hal itu masih dalam tahapan proses, saya kira tidak masalah, asalkan tidak mengeliminasi tujuan utamanya, yaitu kolaborasi. Disinilah kemudian kita mengenal istilah "mengalah untuk menang," "mundur satu langkah, untuk maju dua langkah," dan sebagainya. (31 Maret 2015)

“Syarat Utama Memanusiakan Orang Lain”
"Mengenali diri sendiri" dan "memanusiakan orang lain", 2 frase yang saya dapatkan dari salah satu temen "bijak" saya hari ini. Sekilas, 2 hal tersebut tidak berkaitan. Satu hal tentang diri sendiri, satu lagi tentang orang lain. Setelah menyelaminya, saya berpandangan bahwa orang yang sukses "memanusiakan" orang lain, pasti memiliki level pengetahuan yang sangat baik tentang dirinya sendiri.

Bagaimana mungkin, seorang yang tidak merasa nyaman dilecehkan orang lain, juga melakukan pelecehan kepada orang lain. Atau, bagaimana mungkin, seorang yang tidak mau "diperlakukan secara tidak terhormat" oleh orang lain, di sisi lain juga melakukan hal sama, tidak menghormati orang lain.

Jadi, rasanya masuk akal, jika ada orang yang kesulitan memanusiakan orang lain, salah satu penyebabnya karena ia belum "tuntas" dalam memahami dan berempati terhadap dirinya sendiri. Begitukah?  (28 April 2015)