Monday, August 17, 2015

Kemerdekaan sebagai Door Prize?

“Dua tahun lalu, kamu dapat hadiah payung. Kira-kira tahun ini, kamu bakal dapat door prize apa?”

Begitu pertanyaan saya kepada Esza, anak sulung saya (11 tahun) yang saya yakini memiliki ‘keberuntungan’ tersendiri dalam hal ‘peruntungan’ semacam itu. Beberapa kali Esza memang berhasil ‘beruntung’ mendapatkan hadiah ataupun doorprize. Dan hari ini, 16 Agustus, ia kembali mendapatkan peruntungannya, ia mendapat Doorprize lagi. Kali ini ia mendapatkan Alat Penanak Nasi dari kegiatan Jalan Sehat dalam rangka peringatan 17-an yang ia ikuti di mana ia tinggal.

Door Prize menjadi kata yang sangat populer di setiap peringatan 17-an. Berbagai upaya menggali dana dari masyarakat dilakukan untuk bisa membeli kebutuhan door prize ini. Keberadaannya  menjadi magnet luar biasa dalam meningkatkan partisipasi dan antusiasme masyarakat. Dan tak dipungkiri, door prize  menjadi motivasi tersendiri dan terbukti dinantikan banyak orang. Tanpanya, kegiatan-kegiatan 17-an terasa kurang lengkap.

Untuk mendapatkan Door Prize, hanya dibutuhkan sebuah ‘keberuntungan’. Tidak perlu menguras energi besar untuk menjadi calon pemenangnya. Semuanya, sangat-sangat tergantung dengan faktor ‘keberuntungan’ yang dimiliki. Karakter  door prize yang sarat ‘keberuntungan’ untuk mendapatkannya tentunya tidak sesuai dengan karakter ‘kemerdekaan’ yang sedang di rayakan.  Kemerdekaan yang diperoleh  bangsa ini bukanlah sekedar ‘keberuntungan’, sebagaimana mendapatkan sebuah ‘door prize’. Kemerdekaan ini diperoleh dengan susah payah dan perjuangan ‘hidup mati’ melawan penjajahan.  

Lantas dimana kita bisa menempatkan door prize dalam semangat perayaan 17-an ini? Yang sekilas terlihat sangat bertolak belakang karakternya.  Setiap peringatan 17-an, ada satu proses dimana kita harus merenung dan merefleksikan makna kemerdekaan yang kita miliki saat ini, baik sebagai bangsa, bagian masyarakat maupun sebagai individu (pribadi). Tergantung pakai kaca mata apa kita memandangnya, kemerdekaan bisa dimaknai dengan sangat beragam.  

Namun, di sisi lain ada satu situasi dimana kita mempunyai hak untuk menikmati suasana kemerdekaan ini dengan suka cita dan berbagi kebahagiaan dengan sesama anak bangsa.  Para pejuang dan pahlawan yang telah ‘gugur’ demi  berdiri tegaknya bangsa ini saya yakin akan ikut tersenyum melihat suka cita kita ketika menikmati kemerdekaan ini. Mereka, jika masih hidup, pasti akan bahagia melihat kita tersenyum bahagia menikmati dan mengisi kemerdekaan ini.  Disinilah karakter door prize bisa memerankan fungsinya. Ia terbukti ampuh membangun harapan akan kebahagiaan dan juga memberikan kebahagiaan itu sendiri bagi pemenangnya.

Dirgahayu Indonesia yang ke-70 ! Semoga ‘keberuntungan’ senantiasa menaungi bangsa ini. Amiiin.  #gusrowi.













   







Saturday, August 15, 2015

Menemukan Jalan “Common Ground”

Ketika sedang berselisih paham, berbeda pendapat, atau memiliki pandangan yang berbeda dengan orang lain, apa yang paling mendominasi pikiran anda; Upaya meyakinkan ‘kebenaran’ pandangan anda? memahami lebih baik lagi pandangan orang tersebut? Atau berupaya mencari kesamaan-kesamaan diantara perbedaan pandangan yang ada?

Pendapat atau pandangan kita adalah representasi dari “kepentingan” yang kita miliki, yang terkadang nampak gamblang dalam kata-kata yang kita sampaikan, namun terkadang juga sebaliknya, tersembunyi  dan disampaikan secara tidak langsung. Ungkapan seperti “Ada Udang di Balik Batu”, adalah contoh sederhana bagaimana ada sebuah situasi dimana apa yang nampak (Batu) tidak bisa dijadikan ukuran apa yang sebenarnya orang tersebut butuhkan. Karena ternyata, ada kepentingan lain yang tidak tampak (yaitu Udang), yang jika kita tidak berhasil melihat apa yang ada di balik “Batu” tersebut, maka kita tidak akan dapat mengetahu apa yang sebenarnya orang tersebut butuhkan dan inginkan. Inilah “kepentingan”, sesuatu yang tidak tampak di permukaan, namun keberadaannya menjadi sumber dan dasar dari sikap dan perilaku seseorang.

Adalah kebutuhan mendasar yang sangat lazim, jika kita berusaha untuk mendapatkan apa yang menjadi ‘kepentingan’ diri kita. Persoalannya, ketika memenuhi kepentingan tersebut seringkali kita dihadapkan dengan ‘kepentingan’ orang lain yang ‘berbeda’. Kebutuhan kita, menjadi penghambat ataupun dihalangi oleh kebutuhan orang lain, dan sebaliknya, kebutuhan orang lain terhambat dan terhalangi oleh kebutuhan kita. Menghadapi keadaan demikian, setidaknya kita memiliki 3 pilihan strategi; (1) Memenangkan kepentingan “Kita” atas orang lain (2) memenangkan kepentingan “orang lain” atas Kita, atau (3) Memenangkan kepentingan bersama, orang lain dan Kita.

Pilihan pertama sangatlah menggoda, dan seringkali menjadi pilihan utama kita. Pilihan kedua, menjadi sangat penting, ketika kita berpikir tentang pentingnya menjaga hubungan dengan orang lain, dan pilihan ketiga adalah pilihan paling ideal, karena mementingkan tercapainya kebutuhan bersama. Pikiran untuk bekerjasama dengan saling menguntungkan, menjadi landasan dari pilihan ketiga ini. Tetapi, meski ideal, pilihan ke-tiga juga merupakan pilihan paling sulit dalam mencapainya.

Ketika kepentingan bersama dijadikan tujuan, maka saling memahami, saling membantu, dan saling bekerjasama menjadi sikap-sikap dan perilaku yang harus dilakukan. Tentunya, ini tidak mudah, apalagi kita berhadapan dengan pihak yang berbeda kepentingan dengan kita. Diperlukan proses saling mendengarkan dengan baik, dan saling menghargai pandangan dan pendapat masing-masing. Pada tataran inilah, saya melihat fokus kedua pihak harus diubah (transformasi), dari fokus pada ‘perbedaan kebutuhan ataupun kepentingan’ menjadi fokus pada ‘persamaan-persamaan’ diantara mereka. 

Menemukan persamaan dengan orang yang berbeda pandangan dengan kita, diakui atau tidak, bukan merupakan kebiasaan yang sering kita jalani dalam kehidupan sehari-hari. Menemukan persamaan dilakukan untuk bisa menemukan Common Ground, yang di dalam kamus online (http://www.merriam-webster.com/) dimaknai sebagai “Sebuah dasar (pondasi) dari kepentingan atau persetujuan yang saling menguntungkan”. Berdasarkan pengertian ini, diperlukan adanya kepentingan ataupun kesepakatan yang saling menguntungkan sebagai dasar dalam menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi, yang hasilnya sama-sama menempatkan kedua belah pihak sebagai pemenang bersama.  Inilah mengapa common ground menjadi sangat penting untuk ditemukan, ketika kita menginginkan adanya penyelesaian masalah yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Selain menemukan Common Ground, menemukan persamaan-persamaan di antara orang-orang yang berbeda, akan meningkatkan kemampuan kita dalam membangun kerjasama dengan orang-orang yang berbeda tersebut. Kita menjadi lebih paham bagaimana menerapkan konsep “the right man, on the right place, dan lebih bisa memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Dan sebaliknya, orang lain juga lebih memahami apa siapa kita dan apa yang menjadi concern dan perhatian kita.

Menemukan persamaan-persamaan juga akan menguatkan optimisme kita dalam menjalankan sesuatu. Jika kita bisa ‘bersama’ dan berbagi kepentingan yang ‘sama’, mengapa kita tidak bisa mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada? Kira-kira begitu yang kita tanamkan di dalam pikiran kita.  Perbedaan akan selalu ada, dan kita memiliki pilihan untuk tidak menajamkannya, karena kita lebih memilih untuk ‘menumpulkan’nya dan fokus mengambil manfaat dari dari kepentingan bersama yang kita miliki.

Mari kita tempatkan ‘menemukan Common Ground’ sebagai proses dan tujuan hidup kita. Tentunya, dengan  syarat utama, menjadikan penemuan persamaan sebagai kebiasaan kita sehari-hari. Terakhir, saya ingin mengutip status FB Nur Adi Setyo di dinding-nya, “Kalau saya, lebih suka melihat sesuatu dari persamaan bukan memperuncing perbedaan”. Setuju kan? #gusrowi


Monday, August 3, 2015

"Memahami" itu Membahagiakan

Mana yang paling dominan di dalam diri anda, keinginan dan kebutuhan untuk "dipahami", atau "memahami"?   

Pilihan pertama mensyaratkan kemampuan berkomunikasi yang bagus untuk bisa "dipahami" orang lain. Hal yang tidak mudah tentunya. Apapun yang terjadi, mulai dari adanya kesalahpahaman, ketidakmengertian orang lain atas apa yang anda sampaikan sangat tergantung dari cara anda mengkomunikasikan ide, gagasan dan pikiran anda. 

Mengedepankan "dipahami" tidak memberikan perhatian untuk berupaya "mengerti" pengetahuan, pemahaman orang yang anda ajak berkomunikasi. Fokus komunikasi disini adalah "diri anda". Orang lain hanyalah obyek yang anda harapkan untuk "bisa" mengerti dan memahami anda.

Sangat berbeda, "Memahami"  memang mensyaratkan kemampuan berkomunikasi yang baik, khususnya kemampuan mendengar, dan kemampuan bertanya yang diniatkan untuk menggali makna lebih tentang apa yang orang lain komunikasikan kepada anda. Namun, dibanding "dipahami", disini anda merasa perlu untuk memiliki pengetahuan, pemahaman tentang orang yang anda ajak berkomunikasi untuk lebih memudahkan anda dalam memahami orang tersebut. Fokus "memahami" adalah orang lain, dan yang kamu harapkan dari diri anda adalah "memiliki" dan "memahami" dengan lebih baik orang tersebut. 

"Dipahami" dan "Memahami" tentunya menjadi kebutuhan setiap kita, ketika berkomunikasi. Hanya saja, pilihan mana yang harus didahulukan seringkali menjadi dilema tersendiri. Secara naluriah, mungkin kita cenderung untuk lebih menikmati keadaan ketika "orang lain" lebih memahami diri kita dibanding, diri kita memahami orang lain. Pastinya, sangatlah menyenangkan ketika apapun yang kita inginkan, dan butuhkan dipahami oleh orang lain, yang akhirnya membawa kepada terpenuhinya kebutuhan kita. 

Namun, diakui atau tidak, kenikmatan  ini bisa menjadi "tidak produktif" ketika kita terlena dalam menikmatinya. Fokus pada kebutuhan diri sendiri dibanding orang lain, bisa membuat kita kehilangan momentum untuk bisa belajar dari pengalaman hidup orang lain. Memang, tidak semua yang berasal dari pengalaman orang lain bisa kita manfaatkan. Namun, kita semua tahu, pengalaman adalah guru yang paling baik, dan pengalaman kita tentunya tidak cukup, tanpa dikombinasi dengan pengalaman orang lain. Apalagi, hampir semua pengalaman hidup kita, sedikit banyak dipengaruhi oleh pengalaman  hidup orang lain. Maka, tak ada alasan kita bisa berkembang dan maju tanpa pengaruh dan dukungan orang lain. 

Itulah mengapa, menyiapkan energi lebih untuk "memahami" orang lain dibanding melebihkan energi untuk berharap bisa dipahami orang lain sangatlah penting. Bagi saya, rasanya begitu menyenangkan mendapat cerita-cerita baru tentang berbagai pengalaman menarik dan beragam tentang orang-orang yang kita temui, dimanapun kita berada. Disinilah, saya sering mendapatkan makna hidup yang beragam dari berbagai sudut pandang. Modal saya mendapatkan itupun "gratis". Saya hanya cukup mendengarkan (listening ), bertanya dengan baik dan penuh hormat terhadap siapapun yang kita temui. Dan seringkali, saya mendapat pembelajaran hidup yang luar biasa karenanya. 

Inilah alasan kita memerlukan energi lebih untuk bisa "memahami" orang lain. Memiliki pemahaman atas orang lain dengan lebih baik, akan membantu kita mengkomunikasikan apa yang kita inginkan dan butuhkan, karenanya, orang lain pun tidak akan mengalami kesulitan dalam memahami diri kita.

Memahami itu mungkin menguras energi dan melelahkan, namun hasil dan dampaknya bagi diri kita jauh lebih menyenangkan dan membahagiakan. Insya Allah. #gusrowi





Saturday, August 1, 2015

Pecah Bisul itu Bukan Akhir

Dua hari ini, saya menjalani 2 peristiwa yang saya ibaratkan seperti memecahkan bisul yang sudah lama ditunggu ledakannya. Satu tentang urusan pekerjaan, dimana setelah mengalami penundaan setahun lebih, akhirnya sebuah inisiatif baru berhasil diresmikan. 

Satu lagi tentang urusan sosial di lingkungan sekitar saya, yang hampir 5 tahun saya tinggal, baru kemarin saya merasakan nikmatnya kegiatan temu warga, dimana saya bisa menambah teman dan bertemu dengan orang-orang yang selama ini ada di sekitar saya, namun tidak pernah bertemu dan bertatap muka secara langsung.

Di saat yang hampir bersamaan, bisul pecah ini juga dialami beberapa teman saya yang lain. Satu tentang temen saya yang "akhirnya" bisa "resign" dari pekerjaan yang sekarang. Hal yang telah ia nantikan setahun terakhir. Tentu, bisul ini meledak, setelah ia mendapatkan "pekerjaan baru", sebagai syarat utama ia bisa melenggang keluar dengan baik. Cerita yang lain, tentang teman saya yang akan segera lamaran, dan bersiap menapaki jalan ke pelaminan. Sebuah peristiwa yang juga sangat ia nantikan untuk segera melepas status lajangnya. 

Dari cerita-cerita diatas, saya mau menyederhanakan makna "bisul pecah" disini sebagai sebuah pencapaian keinginan, kebutuhan yang sangat diidam-idamkan untuk bisa menjadi kenyataan. Dengan pecahnya bisul, maka perasaan lega, gembira dan bahagia menjadi nuansa perasaan yang banyak dialami oleh si empunya bisul. Banyak yang kemudian meluapkan dengan berbagai cara, seolah-olah itu sebuah pencapaian akhir dan final. 

Namun, ada juga yang justru lebih hati-hati dan berusaha menyadari, bahwa proses-proses setelah bisul pecah menjadi rumit dan komplek, sehingga tetap membutuhkan kesiagaan dan kewaspadaan.

Memang, masih ada proses merawat dan menjaga agar "bisul" yang sudah pecah tidak lagi mengalami infeksi dan kemudian tumbuh menjadi bisul-bisul baru yang  mengganggu pikiran dan tidak mendatangkan kenyamanan. 

Dalam kasus yang saya alami, saya justru merasakan bahwa tantangan yang harus saya hadapi ke depan lebih berat lagi. Tentu saya berharap apa yang saya inginkan dan rencanakan berjalan dengan baik sesuai yang saya rencanakan, dan tidak perlu terlebih dahulu menjadi "bisul"untuk bisa menikmatinya. 

Saya tidak mau seperti teman saya yang sengaja menciptakan bisul, namun tidak bisa merawatnya, setelah bisul itu pecah. Ceritanya, temen saya ini, sangat ingin sekali menurunkan berat badannya, dan untuk memenuhinya ia ingin sekali nge-gym. Tidak mudah baginya menemukan waktu dan kesempatan untuk melakukannya. Namun, setelah ia punya kesempatan nge-gym, ternyata ia tidak bertahan lama. Sama sekali tidak mencerminkan keinginan kuatnya untuk nge-gym. Latihan pun hanya dijalanin dengan malas-malasan dan ogah-ogahan. Nampaknya, ia merasa bisulnya pecah, setelah ia merasa "berhasil" menjadi bagian dari klub gym. Bagi dia itu lebih penting dibanding menjalani keinginan kuatnya untuk menurunkan berat badannya.

Memang, tidak ada hal yang aneh jika kita memiliki keinginan yang sangat kuat untuk melakukan sesuatu. Seharusnya, memang kita harus berkomitmen penuh untuk mewujudkannya. Namun, tantangan ketika keinginan tersebut terpenuhi idealnya juga diikuti dengan keinginan-keinginan lain yang lebih kreatif dan menantang, agar kita tidak terjebak dengan romantisme "pencapaian" yang itu-itu aja. 

Ayo, kita ciptakan bisul-bisul baru yang lebih keren dan menantang. Namun, jangan sampai ketika bisul itu pecah, kita tidak terlibat didalamnya. Apapun bisul anda, pastikan anda menikmatinya dengan baik, dan pastikan anda tahu apa yang harus anda lakukan untuk memberikan perawatan dan menjaga proses-proses setelahnya. Karena bisa jadi, itulah manfaat ledakan yang sebenarnya dari "bisul" anda. 

Punya bisul yang siap pecah hari ini? Semoga ledakannya membawa kemanfaatan buat kita semua. #gusrowi #ArgoMuriaToSMG.