Wednesday, September 9, 2015

Spontanitas itu Reflek Kejujuran

Dalam sebuah pelatihan di Yogyakarta, ketika mendiskusikan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan di ruang pelatihan, seorang partisipan menulis: “Tidak Boleh Ada Tugas Malam”. Merespon usulan ini, fasilitator secara ‘spontan’ menjawab : “Benar, memang tidak akan ada tugas malam, karena semua penugasan akan diberikan pada siang hari. Persoalan mengerjakannya pada malam hari, itu hal lain.” Mendengar ini , semua yang ada di kelas tertawa terpingkal-pingkal, karena tidak menyangka akan mendapatk respon seperti itu.

Spontanitas ‘cerdas’ fasilitator tersebut sangatlah menarik. Ketika saya mendekatinya dan bertanya, apakah ia sudah pernah mendapatkan situasi yang sama sebelumnya, sehingga bisa merespon dengan spontan permintaan partisipan tersebut, ia menjawab,” ini pengalaman pertama kali saya mendapatkan pernyataan dari partisipan seperti itu. Atas jawaban ini, saya berkesimpulan, spontanitas fasilitator tersebut sangatlah ‘cerdas’. Dan saya yakin, tidak mudah memiliki keterampilan ‘spontanitas’ seperti itu.

Dari peristiwa tersebut, saya berpikir dan bertanya-tanya dalam hati, apa yang harus kita lakukan agar kita bisa memiliki spontanitas yang ‘cerdas’, dan tentunya ‘konstruktif, dan bukan ‘destruktif’. Seperti spontanitas bereaksi secara emosional terhadap persoalan yang belum jelas akar persoalannya, ataupun spontanitas kekerasan verbal dalam merespon hal-hal tak terduga.  

Spontanitas itu asli, jujur dan tidak bisa dibuat-buat, karena muncul begitu saja dari alam bawah sadar kita, dan kita tidak memiliki ‘kuasa’ untuk mengontrol kemunculannya. Sebagai sebuah reflek kejujuran, spontanitas kita menggambarkan tentang apa yang sebenarnya kita pikirkan dan yakini.Ia bisa menjadi sinyal bagi orang lain, tentang siapa kita sebenarnya. Untuk bisa melihat apakah si A terbiasa dengan perbedaan pendapat, pandangan dan konflik anda mungkin bisa mengetesnya dengan memberikan kritik dan pandangan yang berbeda atas pendapatnya, dan temu kenalilah  reaksi spontannya.

Saya teringat ketika kelas 3 Aliyah (SMA), saya diminta mengajar kelas Tsanawiyah (SMP). Dalam sebuah kesempatan, saya mendapati murid di kelas saya ada yang tidak bisa menjawab pertanyaan saya. Dan dengan spontan, saya pun berkomentar: “Goblok”.  Jika kemudian saya ditanya, apakah mengatakan ‘goblok’ kepada murid itu etis dilakukan, maka saya pasti akan menjawab, “Tidak”. Namun, spontanitas saya menunjukkan sebaliknya. Tanpa saya sadari, terbangun di alam bawah sadar saya, bahwa murid itu bisa di’goblok’kan.

Disitulah, terjadi inkonsistensi dari apa yang telah menancap di alam bawah sadar saya (tentang perspektif tentang ‘mengajar murid’ yang saya yakini), dengan sikap, perilaku dan tindakan saya. Walau saya bilang, menyatakan murid ‘goblok’ itu tidak dibenarkan, toh nyatanya, spontanitas saya menggambarkan sebaliknya. Inkonsisteni antara ideologi/keyakinan/perpektif, dengan sikap/perilaku/ dan tindakan kita memang bukan hal yang jarang kita alami dan temui. 

Tentunya, adanya niat dan upaya membiasakan diri menjadi pribadi yang konsisten antara apa yang kita yakini, dan lalukan menjadi salah satu cara untuk bisa menjadi pribadi dengan spontanitas yang cerdas dan konstruktif. Semoga. #gusrowi

No comments:

Post a Comment