Dalam sebuah pelatihan di Yogyakarta, ketika mendiskusikan tentang apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan di ruang pelatihan, seorang partisipan
menulis: “Tidak Boleh Ada Tugas Malam”. Merespon usulan ini, fasilitator secara
‘spontan’ menjawab : “Benar, memang tidak akan ada tugas malam, karena semua penugasan
akan diberikan pada siang hari. Persoalan mengerjakannya pada malam hari, itu
hal lain.” Mendengar ini , semua yang ada di kelas tertawa terpingkal-pingkal,
karena tidak menyangka akan mendapatk respon seperti itu.
Spontanitas ‘cerdas’ fasilitator tersebut sangatlah menarik. Ketika
saya mendekatinya dan bertanya, apakah ia sudah pernah mendapatkan situasi yang
sama sebelumnya, sehingga bisa merespon dengan spontan permintaan partisipan
tersebut, ia menjawab,” ini pengalaman pertama kali saya mendapatkan pernyataan
dari partisipan seperti itu. Atas jawaban ini, saya berkesimpulan, spontanitas
fasilitator tersebut sangatlah ‘cerdas’. Dan saya yakin, tidak mudah memiliki
keterampilan ‘spontanitas’ seperti itu.
Dari peristiwa tersebut, saya berpikir dan bertanya-tanya dalam hati, apa
yang harus kita lakukan agar kita bisa memiliki spontanitas yang ‘cerdas’, dan
tentunya ‘konstruktif, dan bukan ‘destruktif’. Seperti spontanitas bereaksi secara
emosional terhadap persoalan yang belum jelas akar persoalannya, ataupun
spontanitas kekerasan verbal dalam merespon hal-hal tak terduga.
Spontanitas itu asli, jujur dan tidak bisa dibuat-buat, karena muncul
begitu saja dari alam bawah sadar kita, dan kita tidak memiliki ‘kuasa’ untuk
mengontrol kemunculannya. Sebagai sebuah reflek kejujuran, spontanitas kita menggambarkan
tentang apa yang sebenarnya kita pikirkan dan yakini.Ia bisa menjadi sinyal
bagi orang lain, tentang siapa kita sebenarnya. Untuk bisa melihat apakah si A terbiasa
dengan perbedaan pendapat, pandangan dan konflik anda mungkin bisa mengetesnya
dengan memberikan kritik dan pandangan yang berbeda atas pendapatnya, dan temu
kenalilah reaksi spontannya.
Saya teringat ketika kelas 3 Aliyah (SMA), saya diminta mengajar kelas
Tsanawiyah (SMP). Dalam sebuah kesempatan, saya mendapati murid di kelas saya
ada yang tidak bisa menjawab pertanyaan saya. Dan dengan spontan, saya pun
berkomentar: “Goblok”. Jika kemudian
saya ditanya, apakah mengatakan ‘goblok’ kepada murid itu etis dilakukan, maka
saya pasti akan menjawab, “Tidak”. Namun, spontanitas saya menunjukkan sebaliknya.
Tanpa saya sadari, terbangun di alam bawah sadar saya, bahwa murid itu bisa di’goblok’kan.
Disitulah, terjadi inkonsistensi dari apa yang telah menancap di alam
bawah sadar saya (tentang perspektif tentang ‘mengajar murid’ yang saya yakini),
dengan sikap, perilaku dan tindakan saya. Walau saya bilang,
menyatakan murid ‘goblok’ itu tidak dibenarkan, toh nyatanya, spontanitas saya
menggambarkan sebaliknya. Inkonsisteni antara ideologi/keyakinan/perpektif,
dengan sikap/perilaku/ dan tindakan kita memang bukan hal yang jarang kita
alami dan temui.
Tentunya, adanya niat dan upaya membiasakan diri menjadi pribadi yang konsisten antara apa yang kita yakini, dan lalukan menjadi salah satu cara untuk bisa menjadi pribadi dengan spontanitas yang cerdas dan konstruktif. Semoga. #gusrowi
No comments:
Post a Comment