Sehari semalam di kampung halaman, mendapat kesempatan bertemu teman
lama yang sudah sukses di perantauan. Sebuah cerita kesuksesan yang tidak mudah
didapatkan di kampung halaman dimana ia dilahirkan. Seperti biasa, saya pun tergelitik
untuk bertanya tentang hal-hal reflektif dibalik kesuksesan teman saya ini.
Satu hal yang saya tertarik untuk membahasnya adalah, rencana ke depan
teman saya menindaklanjuti kesuksesan yang saat ini ia rengkuh. Apakah ia masih
berpikir untuk kembali ke kampung halamannya, ataukah ia akan istiqomah dengan kehidupan
perantauannya?.
Respon spontan yang saya dapatkan dari teman saya adalah “Apalah arti
kesuksesan jika masih di perantauan”. Respon ini menyiratkan tentang
keinginannya untuk kembali ke kampung halamannya. Bagi dia, kesuksesan yang ia
raih saat ini adalah motivasi dan penyemangat untuk bisa meraih kesuksesan yang
sama di kampung halaman nantinya.
Cerita singkat ini kira-kira membawa pesan bahwa kesuksesan di kampung
halaman lebih indah jika di dapatkan dan di raih di bandingkan dengan
kesukseskan di perantauan. Di kampung halaman, mungkin lebih banyak orang yang dikenal,
lebih banyak orang yang mengenal, ketika kesuksesan tersebut menghampiri.
Sebaliknya, tidak banyak yang menjadi saksi dari kesuksesan kita di perantauan,
dan juga tidak banyak keluarga, kawan-kawan dekat kita yang bisa kita ajak ikut
merayakan dan mensyukuri kesuksesan yang kita raih. Sekilas, apakah ini
persoalan aktualisasi diri? Atau soal “kepuasan cara kita” memenuhi kebutuhan
‘self esteem’ diri kita?.
Pada kasus teman saya ini, setelah saya gali lebih mendalam, persoalan respect, ruang aktualisasi diri dan berkreasi
dalam memanfaatkan peluang, ia beranggapan, jauh lebih terpenuhi di perantauan di banding
di kampung halamannya. Ia sadar, se-sukses apapun dia di perantauan, ketika ia
kembali ke kampung halaman, orang-orang tidak akan melihatnya sebagai ‘orang
baru.’ Ia sadar, Ia akan tetap di lihat
sebagai si A, anaknya si B, dan sebagainya. Kualitas kesuksesan yang ia
tampilkan saat ini sama sekali tidak akan meningkatkan level sosialnya di
masyarakat.
Ini, mirip dengan cerita sukses menjadi TKI atau TKW. Se-kaya apapun ia
karena kerja kerasnya di luar negeri, jika sekembali ke kampung halamannya
tidak menunjukkan kualitas hidup yang lebih mandiri dan maju, maka
masyarakatpun tidak akan memberinya level sosial yang lebih. Lantas, jika bukan
karena alasan aktualisasi diri, respect
dan self esteem, apa yang membuat keinginan untuk kembali hidup
di kampung halaman menjadi opsi yang hampir selalu hadir di angan-angan banyak
orang?
Tebakan sedikit ngawur saya, alasan nostalgia dan hidup diantara
keluarga dan orang-orang terdekat yang menjadi alasannya. Meskipun, jutaan
contoh tentang kesuksesan hidup mandiri
di perantauan, tanpa sanak saudara dan keluarga banyak kita temukan. Namun opsi
hidup di kampung halaman akan selalu muncul jika kemungkinannya ada.
Bagi saya, jika saya jadi teman saya, meneruskan hidup di perantauan
menjadi opsi utama saya. Kampung halaman akan selalu menjadi kenangan tak
terlupakan, dan akan selalu ada ketika kita ingin bernostalgia dengannya.
Kesuksesan di perantauan bisa dimaknai sebagai “jodoh” yang hanya bisa kita
temukan ketika kita merantau. Ketika kita meninggalkan kampung halaman untuk
meraih kesuksesan hidup, sama artinya kita sedang mencari dan menemukan
‘jodoh’, yang karena suatu dan lain hal tidak kita temukan di Kampung halaman
yang kita cintai.
Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu bisa menemukan ‘jodoh’
kita dalam menggapai kesuksesan hidup ke arah yang lebih baik. Amiin. #gusrowi