Monday, June 29, 2015

Berjodoh dengan Kesuksesan

Sehari semalam di kampung halaman, mendapat kesempatan bertemu teman lama yang sudah sukses di perantauan. Sebuah cerita kesuksesan yang tidak mudah didapatkan di kampung halaman dimana ia dilahirkan. Seperti biasa, saya pun tergelitik untuk bertanya tentang hal-hal reflektif dibalik kesuksesan teman saya ini.

Satu hal yang saya tertarik untuk membahasnya adalah, rencana ke depan teman saya menindaklanjuti kesuksesan yang saat ini ia rengkuh. Apakah ia masih berpikir untuk kembali ke kampung halamannya, ataukah ia akan istiqomah dengan kehidupan perantauannya?. 

Respon spontan yang saya dapatkan dari teman saya adalah “Apalah arti kesuksesan jika masih di perantauan”. Respon ini menyiratkan tentang keinginannya untuk kembali ke kampung halamannya. Bagi dia, kesuksesan yang ia raih saat ini adalah motivasi dan penyemangat untuk bisa meraih kesuksesan yang sama di kampung halaman nantinya.

Cerita singkat ini kira-kira membawa pesan bahwa kesuksesan di kampung halaman lebih indah jika di dapatkan dan di raih di bandingkan dengan kesukseskan di perantauan. Di kampung halaman, mungkin lebih banyak orang yang dikenal, lebih banyak orang yang mengenal, ketika kesuksesan tersebut menghampiri. Sebaliknya, tidak banyak yang menjadi saksi dari kesuksesan kita di perantauan, dan juga tidak banyak keluarga, kawan-kawan dekat kita yang bisa kita ajak ikut merayakan dan mensyukuri kesuksesan yang kita raih. Sekilas, apakah ini persoalan aktualisasi diri? Atau soal “kepuasan cara kita” memenuhi kebutuhan ‘self esteem’ diri kita?.

Pada kasus teman saya ini, setelah saya gali lebih mendalam, persoalan respect, ruang aktualisasi diri dan berkreasi dalam memanfaatkan peluang, ia beranggapan,  jauh lebih terpenuhi di perantauan di banding di kampung halamannya. Ia sadar, se-sukses apapun dia di perantauan, ketika ia kembali ke kampung halaman, orang-orang tidak akan melihatnya sebagai ‘orang baru.’ Ia sadar,  Ia akan tetap di lihat sebagai si A, anaknya si B, dan sebagainya. Kualitas kesuksesan yang ia tampilkan saat ini sama sekali tidak akan meningkatkan level sosialnya di masyarakat.

Ini, mirip dengan cerita sukses menjadi TKI atau TKW. Se-kaya apapun ia karena kerja kerasnya di luar negeri, jika sekembali ke kampung halamannya tidak menunjukkan kualitas hidup yang lebih mandiri dan maju, maka masyarakatpun tidak akan memberinya level sosial yang lebih. Lantas, jika bukan karena alasan aktualisasi diri, respect dan self esteem,  apa yang membuat keinginan untuk kembali hidup di kampung halaman menjadi opsi yang hampir selalu hadir di angan-angan banyak orang?

Tebakan sedikit ngawur saya, alasan nostalgia dan hidup diantara keluarga dan orang-orang terdekat yang menjadi alasannya. Meskipun, jutaan contoh tentang kesuksesan hidup  mandiri di perantauan, tanpa sanak saudara dan keluarga banyak kita temukan. Namun opsi hidup di kampung halaman akan selalu muncul jika kemungkinannya ada.

Bagi saya, jika saya jadi teman saya, meneruskan hidup di perantauan menjadi opsi utama saya. Kampung halaman akan selalu menjadi kenangan tak terlupakan, dan akan selalu ada ketika kita ingin bernostalgia dengannya. Kesuksesan di perantauan bisa dimaknai sebagai “jodoh” yang hanya bisa kita temukan ketika kita merantau. Ketika kita meninggalkan kampung halaman untuk meraih kesuksesan hidup, sama artinya kita sedang mencari dan menemukan ‘jodoh’, yang karena suatu dan lain hal tidak kita temukan di Kampung halaman yang kita cintai.


Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu bisa menemukan ‘jodoh’ kita dalam menggapai kesuksesan hidup ke arah yang lebih baik. Amiin. #gusrowi

Saturday, June 27, 2015

Mudik dan “Cerita” yang Selalu Terulang


Selalu ada yang kurang, dan selalu ada yang terlewatkan. Walaupun perencanaan dan persiapannya sudah sedemikian rapi, dan dedikasi waktu pun sudah sebegitu longgarnya telah dicurahkan. Pengalaman Mudik Lebaran dari waktu ke waktu, dengan sederet pengalaman dan pembelajaran, ternyata tak menjamin ‘absen’-nya keteledoran, kealpaan dan terjadinya kelalaian. Ada saja yang tertinggal.

Mulai dari oleh-oleh yang ketinggalan gak terbawa, titipan keluarga di kampung yang terlupakan, hingga kelupaan menyalakan lampu di teras ketika meninggalkan rumah untuk mudik, adalah beberapa hal sederhana yan sering terjadi. Meskipun telah sering mudik, hal-hal demikian masih sering dialami.

Biasanya, kondisi fisik yang kurang prima ketika persiapan menjadi salah satu penyebabnya. Faktor kurang tidur dan kecapean menyiapkan mudik dalam waktu yang singkat mempengaruhi konsentrasi dan fokus ketika packing dan mengerjakan segala urusan sebelum ditinggal mudik. Kondisi tubuh yang demikian berpengaruh terhadap kejelian dan prioritisasi kita.

Apakah kemudian kondisi tubuh ‘prima’ dan waktu persiapan yang cukup bisa menjadi solusi-nya? Hasilnya tentunya akan lebih baik, meskipun tetap tidak akan menjamin tidak adanya kelalaian dan kekurangan. Terkadang, ketika sudah mempersiapkan jauh-jauh hari, bawaannya justru rasa ‘percaya diri’  bahwa semuanya sudah OK dan karenanya tidak perlu ada yang di khawatirkan.

Namun, dalam konteks mudik lebaran, ketika semua sudah disiapkan dari jauh-jauh hari, menjadi sibuk dan capek jelang mudik adalah kondisi yang seolah-olah harus dilewatin dan dijalanin. Sangat masuk akal jika kemudian muncul hal-hal diluar rencana yang awalnya tidak menjadi prioritas. Dalam situasi ‘hectic’ dan ‘last minute’ banyak orang yang kemudian kelabakan, dan terkadang tidak lagi punya cukup waktu untuk menentukan mana yang prioritas dan yang sekedar tambahan dan tidak terlalu penting. Di sinilah potensi kelalaian dan keteledoran akan terjadi.

Oleh sebabnya, selain perencanaan yang baik, kecukupan waktu persiapan, dan kondisi fisik prima, kita juga perlu memiliki kesadaran bahwa akan selalu ada yang kurang dari apa yang kita rencanakan, persiapkan dan lakukan. Kesadaran demikian diharapkan akan terus memancing ‘kejelian’ dan ‘konsentrasi’ kita untuk bisa menyiapkan segala sesuatunya lebih baik lagi, dan mengurangi sebanyak mungkin resiko-resiko terjadinya berbagai macam potensi keteledoran dan kelalaian. Kesadaran ini juga penting, untuk mengantisipasi munculnya kegelisahan dan kegalauan yang berlebihan yang diakibatkan oleh kekecewaan karena tidak maksimalnya apa yang sudah direncanakan dan dipersiapkan.

Rasanya tidak ada yang ‘salah’, ketika kita sudah menyiapkan secara maksimal mudik kita, namun cerita-cerita tentang kelalaian dan keteledoran masih terus berulang dari satu lebaran ke lebaran berikutnya. Apakah ini bukti bahwa “manusia adalah tempatnya salah dan lupa?” Mungkin saja. Namun akan sangat bijak jika kita tidak menjadikannya sebagai alasan pembenaran untuk secara sengaja melakukan kesalahan dan kelupaan.

Sebaliknya, semangat yang harus diusung adalah menjadikan ‘cap’ kelupaan dan kesalahan sebagai motivasi untuk maju, karena manusia memiliki akal yang jika dimanfaatkan dengan baik bisa menjadi pemicu dan pemacu terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik.  

Selamat menikmati saat-saat jelang dan mudik lebaran anda!  #gusrowi



Friday, June 19, 2015

Merespon Tantangan

“Ayah akan hadiahi kamu uang 50 ribu, jika kamu bisa membuat denah RT”, kataku. Esza (11 tahun)-pun bergegas melihat draft denah yang masih dalam bentuk coretan tangan yang saya pegang. Secara spontan dia menjawab “Iya, Esza akan kerjakan”. Namun, beberapa saat kemudian, Ia pun bertanya kepada saya, “Kira-kira Esza bisa mengerjakannya apa tidak ya Yah?”

Ada konflik di dalam pikiran Esza, antara keinginan mendapatkan uang 50 ribu, dengan kenyataan bahwa ia sama sekali belum pernah memiliki pengalaman melakukannya. Inilah yang kemudian membuatnya gamang, apakah ia akan bisa menyelesaikan ‘tantangan’ ini atau tidak.

Tantangan semacam ini pasti pernah dialami oleh siapapun.Tantangan untuk melakukan sesuatu yang tidak kita kuasai, dan bahkan kita belum pernah melakukan sebelumnya. Karenanya, kita hanya akan bergantung dengan beberapa pengalaman yang diyakini akan bisa mengantarkan kita untuk bisa berhasil mengatasi ‘tantangan’ yang ada.

Merespon hal demikian, berdasarkan survey singkat saya di FB, ada beberapa orang yang cenderung untuk menerima tantangan semacam ini, karena meyakini setiap tantangan bisa diselesaikan dan diatasi. Beberapa orang yang lain, cenderung untuk ‘mencoba dulu’, dan jika tidak berhasil Ia akan mundur dan membiarkan yang lain untuk mengatasinya. Namun, ada juga yang memilih untuk ‘angkat tangan’ ketika tantangan yang ada dianggapnya membutuhkan kapasitas melebihi apa yang mampu ia lakukan.

Berdasarkan respon-respon tersebut, ternyata ‘tantangan’ tidak selalu direspon sebagai sebuah “motivasi” dan “kesempatan” untuk meningkatkan kemampuan dan pengalaman melakukan hal-hal baru dan di luar kebiasaan. Ada orang-orang yang realistis melihat tantangan tersebut, dan tidak akan memaksa diri melakukan sesuatu yang diluar kemampuan.

Kembali ke kasus saya dan Esza, ketika saya memberi ia tantangan, padahal saya tahu, Ia belum pernah punya pengalaman membuat Denah, kira-kira apa yang sebenarnya ingin saya buktikan. Apakah saya hanya ingin mempermalukannya? Membuktikannya ia memang tidak bisa melakukan;  Apakah saya hanya ingin memotivasinya agar memiliki kemampuan dan pengalaman baru? Atau jangan-jangan saya tidak punya opsi lain, selain memintanya mengerjakan tantangan ini.

Pertanyaan-pertanyaan diatas tentunya patut kita gali ketika mendapat tantangan yang se-‘olah-olah’ di luar batas kemampuan kita.  Memahami dengan baik misi ‘pemberi tantangan’ akan mempermudah kita dalam merespon dan menentukan arah dan strategi menghadapi tantangan tersebut. Selain akan bisa mengelola dengan baik energi emosi kita, dan tidak sekedar menerima tantangan karena ‘emosional’, kita juga akan bisa menerima tantangan dengan kesadaran dan penuh pertimbangan. Sehingga, keputusan yang kita ambil benar-benar sesuai dengan ‘misi personal’ kita.

Bagaimanapun juga, kita berkepentingan untuk mendapat manfaat ‘secara pribadi’ dari sebuah tantangan. Pantang bagi kita, jika menjalani tantangan hanya untuk memenuhi tercapaiknya ‘misi’ si ‘pemberi tantangan’. #gusrowi



Friday, June 12, 2015

Terbuka dengan Respon yang Berbeda

“Ayah, kemarin Nafa ditanya Amel, antara Amel dan Lia, siapa yang Nafa pilih sebagai teman? Terus apa Jawabmu? Tanyaku. Nafa milih dua-dua nya, Nafa gak mau milih. Nafa milih semuanya.” Sebagai orang tua, tentu ada kebanggan tersendiri mendengar jawaban seperti ini.  Bahwa berteman itu dengan siapa saja, dan hendaknya tidak pandang bulu, sepanjang tujuannya adalah untuk kebaikan dan silaturahmi.

Peristiwa ini mengingatkan saya kembali ke tahun 1995, atau hampir 20 tahun silam. Ketika untuk pertama kalinya saya menulis di kolom kecil sebuah harian di Yogyakarta. Pada waktu itu saya menulis artikel dengan judul “Memilih Pergaulan Ideal”. Untuk ini saya mendapat honor 10 ribu. Uang yang tidak ada apa-apanya di zaman ini, namun sangatlah bermakna di tahun itu, apalagi di Yogyakarta. Uang 10 ribu bisa untuk makan 4 hari untuk ukuran anak kos kayak saya.

Saking bangganya, karena nama saya terpampang di media massa untuk pertama kalinya, dan membayangkan tulisan saya dibaca oleh orang se-antero Yogyakarta (meski tentu saja tidak benar adanya hehe). Saya menempelkan tulisan tersebut di dinding kamar, untuk selalu mengingatkan dan sebagai penyemangat agar lebih rajin menulis lagi. Tetapi, ternyata tidak mudah untuk menulis lagi, dan saya harus berjibaku lama sekali, sampai kemudian menjadikan menulis sebagai penopang untuk nambah uang jajan dan beli buku di Yogyakarta.

Kembali ke tulisan saya, beberapa minggu setelah tulisan saya dimuat, saya mendapatkan surat dari seseorang yang tidak setuju dengan apa yang saya tulis. Di satu sisi, ketika menerima surat tersebut, saya merasa terhormat, karena benar-benar ada yang membaca tulisan saya. Di sisi lain, saya juga merasakan pengalaman yang berbeda, ketika ide saya dikritik dan ada orang yang tidak sependapat dengan apa yang saya tuangkan dalam tulisan tersebut.

Saat itu, memang saya menulis tentang bagaimana idealnya memilih pergaulan. Tidak asal bergaul, dan benar-benar harus mempertimbangkan sisi positif dan negatifnya. Itulah yang tidak disetujui oleh si pengirim surat, bahwa bergaul tidak boleh pilih-pilih. Karena pada dasarnya tidak ada pergaulan yang salah, dengan siapapun kita berteman dan bergaul, sangatlah tergantung diri kita sendiri, sejauh apa kita akan bergaul dan berteman. Dan dalam hal apa saja kita akan berteman. Selama tidak saling menjerumuskan dan menghianati, bergau dan berteman dengan siapapun tidak akan menjadi masalah.

Apa respon saya waktu itu? Pertama, saya merasa tidak mengenal orang itu. Kedua, saya tidak perlu memperdulikan apa kata orang tersebut. Ketiga, toh saya sudah dapat honor, peduli amat tulisan saya dikritik. Selanjutnya, saya cenderung melihat kelemahan dari isi kritik orang tersebut, ketimbang memahaminya sebagai sebuah sudut pandang lain dari cara melihat sebuah persoalan. Intinya, saya lebih memilihi memasang ‘tembok’ di depan saya untuk mengantisipasi segala hal yang berujung pada ‘pembenaran’ terhadap apa yang ia katakan tentang saya, sambil meyakinkan diri, bahwa apa yang saya tulis benar dan sudah semestinya.

Padahal, ketika si pengirim surat tersebut mencurahkan pikirannya untuk menulis surat, memberikan pandangannya, dan mengirimkan kepada saya, menunjukkan adanya ‘perhatian’ serius dengan apa yang saya tulis. Ada ruang interaksi dan dialog yang coba dibangun, yang jika saya manfaatkan dengan baik, akan memberikan  pemahaman, pengalaman dan sudut pandang baru baik buat saya maupun si penulis surat. Sebuah ruang yang saya lewatkan saat itu. Alih-alih menjadikan surat tersebut sebagai bahan refleksi, saya justru mengabaikannya, dan tidak membalasnya.

Lalu apa kaitanya dengan cerita Nafa diatas? Saya melihat tentang pentingnya ‘keterbukaan’ untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan siapapun. Keterbukaan sebagai  langkah awal untuk mempertimbangkan proses berteman selanjutnya. Jika, sejak awal sudah menutup diri dan tidak terbuka dengan potensi-potensi pertemanan dan pergaulan, jangan harap kita akan memiliki cukup pengalaman  dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan banyak orang. Ketika kita sudah mem-blocking diri kita dari dunia di sekitar kita, akibatnya, sikap-sikap anti kritik, defensif, mencari pembenaran pribadi, dan kuper¸ sangatlah potensial menghampiri.

Dengan sikap terbuka, kita akan mempermudah proses yang harus kita jalani dalam menghadapi berbagai perbedaan, kritik, masukan dan feedback dari orang lain. Tentu, proses keterbukaan ini juga harus diikuti dengan sikap ‘jujur’ mengakui apa yang sebenarnya kita yakini dan juga lakukan. #gusrowi.  

Sunday, June 7, 2015

Hanya Butuh Jujur untuk Menjadi Ori

“Apakah ketika anda sedang merumuskan kebijakan, atau sedang menjalankan berbagai fungsi sebagai anggota dewan, anda selalu memberikan ruang di pikiran anda tentang “Apa manfaatnya buat rakyat?”, atau “Apakah kebijakan ini benar-benar mewakili kepentingan rakyat?”

Merespon pertanyaan saya di atas, hampir semua partisipan pelatihan menjawabnya dengan gaya khas ‘politisi’. “Kita harus selalu mempertimbangkan kepentingan rakyat dong. Itu harus dan wajib dilakukan.” Saya pun mempertajam pertanyaan, “Apakah anda melakukannya?”. Kebanyakan dari mereka tetap menjawab “Itu harus dilakukan”. Saya lanjutkan mengejar jawaban mereka, “Saya bertanya tentang Apakah anda melakukan atau tidak, dan bukan jawaban seharusnya dilakukan atau tidak”. Satu persatu kemudian saya tanya, sampai kemudian ada yang menjawab “Sangat jarang sekali kami melakukan Itu”, yang kemudian di-amin-i oleh semua partisipan.

Hal yang menarik dari cerita tersebut adalah jawaban ‘mbulet’ mereka. Pertanyaan tentang ‘apa yang mereka lakukan’, dijawab dengan pertanyaan ‘apa yang seharusnya mereka lakukan’. Mengapa jawaban-jawaban tersebut dominan? Apakah ini satu gaya lumrah seorang politisi yang mementingkan ‘pencitraan’ dan ‘branding’ dari pada kerja nyata yang sesungguhnya?

Satu hal yang sangat jelas disini adalah isi jawaban mereka tidaklah ‘orisinil’. Pada awalnya mereka nyaman dengan jawaban-jawaban yang cenderung tidak memperlihatkan siapa diri mereka sebenarnya. Dengan tidak mengakui apa yang sebenarnya mereka lakukan, sama artinya mereka tidak jujur dengan diri mereka sendiri. Karena, apa yang mereka katakan tidak sejalan dengan apa yang sebenarnya mereka lakukan.

Saya meyakini, pola-pola yang tidak mengindahkan ‘keaslian’ diri kita demi dipersepsikan sebagai orang ‘baik’, ‘amanah’ dan ‘bisa dipercaya’, sering menggoda kita untuk melakukannya. Godaan tentang nikmatnya perasaan bahagia ketika mendapat puja dan puji dari orang lain karena berhasil memenuhi ‘ekspektasi’ mereka, ataupun godaan adanya keuntungan atas apa yang kita ‘tampil’ dan ‘citrakan’ kepada orang lain.

Padahal, jika kita dalami, ketika kebahagiaan itu muncul karena hanya mengikuti dan memenuhi ‘ekpektasi’ orang lain, sama saja kita sedang mengorbankan apa yang sebenarnya menjadi ‘kepentingan’ diri kita sendiri. Disinilah yang terkadang tidak kita sadari. Kita tidak menjadi ‘diri kita sendiri’, dan seolah-olah sedang menjalani peran dan sosok yang diidealkan oleh orang lain.

Menjadi pribadi yang orisinil artinya menjadi pribadi yang ketika melakukan sesuatu didasarkan pada apa yang ia yakini. Ia tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya. Baginya, kejujuran tidak saja dalam kata dan perbuatan. Namun, kejujuran harus dimulai dari dasar hati yang paling dalam, sehingga bisa membawa kebaikan dalam kata dan perbuatan.

Memang, menjadi pribadi yang ORI sangatlah besar cobanya. Meskipun kita tahu, kata kuncinya adalah kejujuran diri kita, siapapun pasti setuju jika jalan terjal selalu siap menghalangi kita untuk bisa menjadi pribadi yang jujur. Tetapi, karena tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, jika kita sangat yakin dengan tekad kita menjadi ORI, maka terus mencoba dan berusaha adalah strategi melawan halangan dan rintangan yang ada. #gusrowi


Saturday, June 6, 2015

Sukarelawan Itu "Gak Itungan"


Mendengar kata "sukarela" apa yang anda pikirkan? Sederat respon tentunya membentang. Mulai dari tanpa paksaan, atas kemauan sendiri hingga tak mendapat imbalan apapun. Orang-orang yang melakukan ini biasa disebut sukarelawan.

Seorang sukarelawan menjalani misinya dengan landasan keikhlasan, dan tak sekalipun mengharapkan imbalan dari apa yang ia lakukan. Bagi sebagian orang, menjadi sukarelawan juga merupakan gaya hidup. Artinya, "ke-sukarelawan-an" sudah menjadi kebutuhan dan sarana untuk ‘aktualisasi diri’. Tidak ada lagi di benak mereka pikiran tentang berapa banyak yang mereka berikan dan akan mereka dapatkan.

Karena itu, ke-sukarelawan-an membutuhkan ketahanan mental (mental endurence) yang kuat dalam menghadapi cobaan dan tantangan. Ia harus siap menghadapi situasi dimana ia lebih banyak "memberi" di banding "menerima"; menjadi pihak yang lebih berkorban; menjadi pihak yang kurang mendapatkan perhatian dan apresiasi; dan menjadi pihak yang harus selalu mengedepankan pola pikir "apa yang bisa aku perbuat?” dan bukan “apa yang akan aku dapatkan?". 

Semangat ke-sukarelawan-an karenanya tidak bisa bersanding harmonis dengan sikap-sikap "itungan". "Aku kan sudah melakukan ini dan itu, berkorban banyak hal untuk ini dan itu, tapi apa balasan yang aku dapat?" Hal-hal yang memicu munculnya perasaan "makan ati" semacam ini akan sering dihadapi oleh siapapun yang masuk ke ranah  kerja-kerja ke-sukarelawan-an. 

Hanya orang-orang yang memiliki "ketahanan mental" yang kokoh, tidak mudah putus asa, tahan banting, terbiasa dengan perbedaan dan sikap kritis, dan tahan godaan "itungan"-lah yang akan keluar sebagai “sukarelawan” sejati. Bagi mereka, apapun dampak positif dari “ke-sukarelawan-an” (yang mereka dedikasikan) bagi dirinya secara pribadi, bukanlah capaian yang menjadi fokus mereka. 

Jika kita sudah memantapkan hati untuk menjadi ‘sukarelawan’, idealnya kita bersiap-siap menjadi pribadi yang ikhlas, tanpa pamrih, dan mengedepankan kepentingan tercapainya misi yang diemban, dibanding kepentingan yang bersifat pribadi. Karena, jika kita bias dengan ke-sukarelawan-an kita, dan kepentingan pribadi banyak mendominasi, maka bisa dipastikan kita telah mereduksi dan mengurangi ke-bermanfaat-an dari apa yang kita lakukan buat orang lain dan atau sesama. Dan kita tidak bisa lagi mengklaim diri kita sebagai seorang ‘sukarelawan’.  

Ke-sukarelawan-an itu tentang berbuat dan bermanfaat buat orang lain. Dengan membiasakan terlibat dalam aktivitas dan kegiatan yang bersifat ‘sukarela’, maka sebenarnya kita tengah berproses meningkatkan level ke-bermanfaat-an kita buat orang lain. Sebagaimana yang sering kita dengar dan baca, “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat buat orang lain”.  Saya sepenuhya meyakini ini, dan semoga demikian juga dengan anda.  

Ayo! pastikan kita menyisihkan sebagian waktu kita untuk kegiatan yang bersifat sukarela! Semampu yang kita bisa, apapun itu pasti bermanfaat. #gusrowi


Wednesday, June 3, 2015

"Selfie” Sambil Introspeksi, Mungkinkah?

Ketika menikmati teh-jahe kesukaan di salah satu angkringan di kota gudeg tanpa sengaja, mata saya melihat ada seorang perempuan, kemungkinan seorang mahasiswi, yang sedang asyik ber-selfie ria dengan gadget-nya. Seketika itu juga saya tertarik dengan apa yang ia pikirkan ketika berselfie ria.  
Apa yang ia lihat ketika ber-selfie? Apakah dia hanya sekedar bercermin dan tertarik melihat wajahnya? Apa yang menjadi fokusnya?, Hal-hal yang baik dari wajahnya? Hal yang kurang pas? atau dua-duanya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa saya menyandingkan kata ‘selfie’ dan ‘introspeksi’. Dua kata yang mirip maknanya, meskipun tidak dalam “keadalaman artinya”. Selfie dan introspeksi sama-sama berusaha melihat ke diri kita. Melihat apa yang ada pada kita. Bedanya, selfie hanya pada tataran permukaan, dan apa yang nampak nyata, sedangkan introspeksi “lebih dalam” lagi melihat apa yang ada di ‘dalam diri’ kita. Selain itu, di dalam introspeksi ada unsur ‘refleksi’ yang bertujuan melihat ke dalam diri kita tentang apa yang telah kita lakukan, dan apa yang bisa dilakukan untuk bisa memperbaiki diri.

Pertanyaan iseng saya, apakah orang yang suka ber-selfie juga memiliki kebiasaan melakukan “introspeksi’ diri? Tentunya, perlu penelitian yang mendalam untuk mendapatkan jawabannya. Saya hanya ingin ber-andai-andai, jika hobi selfie juga diimbangi dengan kebiasaan melakukan introspeksi diri, saya kok meyakini, orang tersebut akan menjelma sebagai sosok manusia yang ‘dewasa’ dan ‘bijak’. Di setiap dia ber-selfie, dia tidak hanya melihat apa yang nampak di wajahnya. Tetapi, dia juga memperlakukannya sebagai cermin dirinya.

Ia pun menemani saat-saat dia menikmati wajahnya di dalam cermin tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan  introspektif, misalnya;  Apa hal baik yang sudah aku lakukan hari ini? Apa yang aku cari? Apa yang perlu aku tingkatkan dari caraku bersosialisasi? Apa tujuan hidupku? Apa Motivasi Hidupku? Apa yang membahagiakanku? Dan Sebagainya.  Pertanyaan-pertanyaan tersebut, ketika sedang berselfie atau tidak saya yakin sangat membantu kita untuk selalu bisa berintrospeksi tentang siapa diri kita, dan apa tujuan hidup yang kita jalani.  


“Selfie” dan “Introspeksi” adalah saat-saat “me time” diri kita, ataupun  seperti kata seorang teman, ia merupakan saat-saat ketika kita ‘egois’ dengan diri kita. Suatu moment yang sangat sayang jika dilewatkan begitu saja tanpa pelajaran dan pembelajaran apapun tentang ‘diri kita’. Jadi, mari berselfie, sambil tidak melupakan pentingnya introspeksi.   #gusrowi.

Tuesday, June 2, 2015

Mahalnya "Motivasi Berprestasi"

“Jika kamu masuk 3 besar juara kelas, maka Ayah akan mengabulkan permintaanmu untuk menambah RAM komputermu.”

Ini adalah percakapan dengan anak sulung saya beberapa hari lalu menjelang UAS. Percakapan semacam ini saya yakin, sering terjadi dan dialami oleh para orang tua. Terlepas cara demikian tidak tepat dilakukan jika tujuannya untuk memotivasi anak agar belajar lebih giat lagi, nyatanya banyak orang yang masih percaya cara seperti ini bisa berhasil.

Dalam kasus yang saya alami, walau saya tahu anak saya begitu menginginkan untuk bisa membeli RAM komputer, agar komputernya tidak lemot ketika dipakai bermain game, ternyata ketika UAS datang, semangat belajarnya-pun biasa-biasa saja. Saya melihat tidak ada korelasi antara keinginan mendapatkan hadiah dengan upaya komitmen untuk mewujudkannya. Gejala apa ini?

Tentu fenomena demikian berbeda dengan masa kecil saya di tahun 80-an. Dimana, dorongan untuk berprestasi dalam segala hal begitu kuatnya.  Mulai dari kegiatan sekolah, berlomba menjadi juara kelas, bahkan dalam hal-hal yang berbau agama sekalipun. Saya masih ingat, ketika saya masih SD, rasanya “begitu gembira” ketika di bulan ramadhan, ada temen saya yang ‘bolong’ puasanya, sehingga tidak bisa menyelesaikan puasanya sebulan penuh. Bagaimana dengan sekarang?  Apa yang membedakan motivasi berprestasi berbeda?

Saya teringat tulisan Reinald Kasali yang menyatakan bahwa faktor distraction (gangguan) yang jauh lebih dahsyat menyebabkan anak generasi sekarang lebih kesulitan untuk bisa fokus dan berkonsentrasi. Ketika semua akses ke berbagai sumber infomasi begitu mudah dijangkau. Ketika semua fasilitas bermain begitu mudah didatangkan ke rumah dan ke kamar. Maka, potensi ‘gangguan’ menjadi semakin besar, sehingga berpengaruh terhadap cara memotivasi mereka untuk berprestasi. Jika dulu, motivasi berprestasi sangat mudah disulut dengan pendekatan ‘kompetitif’, atau dengan membanding-bandingkan dengan yang lain. Maka, saat ini, cara tersebut mungkin tidak lagi ideal.

Bagi saya, berprestasi memang merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Maka, motivasi untuk beprestasi sebenarnya selalu ada pada diri kita. Hanya saja, levelnya yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Motif untuk beprestasi tidak harus disulut dengan cara membanding-bandingkan dengan orang lain, diraih melalui sebuah kompetisi, ataupun melalui proses mengalahkan orang lain.  Prestasi bisa dimaknai secara lebih sederhana sebagai sebuah pencapaian pribadi dalam meraih apa yang kita inginkan. Benang merahnya adalah adanya misi yang ingin diraih, didukung dengan kemauan dan komitmen untuk mewujudkannya. Karena, apapun misi berprestasi kita, tanpa didukung oleh motivasi kita untuk mewujudkannya hasilnya pasti NOL.

Tantangan terberat saat ini adalah, bagaimana memelihara ‘Motivasi Beprestasi’ kita agar terus ‘on fire’? Salah satunya harus dilewati dengan kemampuan beradaptasi dengan segala ‘gangguan’ yang menghalangi kita untuk bisa fokus dan berkomitmen dengan prioritas kita. Kembali ke cerita saya di awal, mencari cara-cara kreatif untuk memotivasi belajar, mendefinisikan ulang makna ‘prestasi’ yang sesuai dengan zaman ini, dan tidak memaksakan cara-cara “kuno”  adalah beberapa hal yang bisa saya lakukan.

“Sesulit Apapun Kita Berprestasi; Sesering Apapun Kita Mencoba Meraihnya; Tak Sedetikpun “Motivasi Berprestasi” Kita Biarkan Pergi Dari Diri Kita”#gusrowi