Lebaran dengan tradisi silaturahminya mengingatkan saya pada
kuadran manajemen waktu-nya Steven Covey. Merujuk pada 4 kuadrannya, saya mengkategorikan
silaturahmi ke dalam kuadran “Penting”, meskipun “Tidak Mendesak” untuk
dilakukan.
Mengapa silaturahmi itu “penting”? Siapapun tidak ada yang
meragukan manfaat bersilaturahmi. Agama-pun juga memberi penegasan tentang
manfaatnya. Silaturahmi, selain menjaga hubungan sosial dan kekeluargaan dengan
orang-orang terdekat, juga menjadi ajang untuk menambah kenalan, teman dan jaringan
sosial baru. Hal-hal semacam ini bisa membawa dampak positif dalam membuka
peluang-peluang saling bekerjasama dan saling memanfaatkan (yang saling
menguntungkan) di kemudian hari. Saya yakin, banyak sudah contoh-contoh tentang
ini.
Adalah wajar jika kemudian banyak yang mengingatkan, agar kita
menjaga silaturahmi dengan siapapun, apalagi dengan orang-orang yang mempunyai peran
di dalam hidup kita. Di saat yang sama, kita juga dianjurkan untuk menjaga dan
merawat silaturahmi dengan siapapun, bahkan dengan orang-orang yang ‘seolah-olah’
tidak ada pengaruhnya terhadap diri dan hidup kita. Intinya, tidak ada ruginya dalam
bersilatuhami.
Silaturahmi yang ideal bertujuan untuk membangun hubungan
sosial-kekeluargaan, dan bukan berdasarkan pamrih-pamrih kepentingan tertentu
yang bersifat ‘oportunistik’. Karena silaturahmi semacam ini kayaknya tidak
akan bertahan dalam jangka panjang, karena sarat kepentingan-kepentingan
pribadi yang instan.
Jika melihat manfaat yang ada, mengapa silaturahmi “Tidak
Mendesak” untuk dilakukan? Melakukan silaturahmi bisa dilakukan kapanpun,
dimanapun dan dan dengan siapapun. Apalagi di zaman ini, banyak sekali media
yang bisa memfasilitasi kita untuk bersilaturahmi. Tanpa harus menunggu
lebaran, silaturahmi bisa tetap kita jalankan sepanjang Tahun.
Namun, kemudahan-kemudahan yang ada tidak menjadikan
sebagian besar dari kita untuk memanfaatkannya dengan baik. Kita lebih suka
menunggu lebaran untuk sekedar bertegur sapa dengan teman dan sana famili di
kampung halaman. Atau, kita lebih suka menunda silaturahmi, karena kita merasa
bisa melakukannya dengan mudah jika kita mau. “Ah.. besok juga bisa”, “Ah..lebaran
juga ketemu”, dan “Ah..Ah” lainnya.
Sifat ke-tidak mendesak-an ini ternyata justru membuat kita ‘terlena’,
hingga tanpa kita sadari, waktu berjalan begitu cepat, dan akhirnya sampailah “Lebaran”,
saat dimana kita merasa ‘terpaksa’, karena kita merasa “harus” bersilaturahmi. Selama
setahun kita tidak pernah ‘menabung’ silaturahmi apapun. Maka, lebaran-pun
menjadi ajang satu-satunya untuk bersilaturahmi. Disinilah, manfaat penting ‘silaturahmi’
menjadi kurang. Karena kita memperlakukannya secara ‘tidak penting’ dan justru menjadikannya
terasa ‘mendesak’ untuk dilakukan ketika lebaran tiba.
Idealnya, setelah meyakini manfaat silaturahmi, kita tidak
pernah lagi menyianyiakan setiap peluang bersilaturahmi yang ada di depan kita.
Manfaatnya begitu banyak, dan karenanya sangat penting untuk dilakukan sebanyak
mungkin. Karena sifatnya yang ‘tidak mendesak’, maka kita bisa mengelolanya
dengan menjadikannya sebagai aktivitas menyenangkan yang kita lakukan secara
rutin seminggu sekali, sebulan sekali, dan yang pasti bukan setahun sekali. Kita
tidak mau kan dianggap “mau bersilaturahmi” jika pas “Ada maunya” saja?
Maka, mari terus belajar menjadikan silaturahmi sebagai ‘gaya
hidup’ kita sehari-hari, dan bukan sebagai gaya hidup ‘tahunan’ di saat lebaran
datang. Selamat menikmati Lebaran! #gusrowi