Monday, September 14, 2015

Cara Efektif Belajar dari Pengalaman

Sejak SD kita sudah sering mendengar ungkapan “Pengalaman adalah guru terbaik”. Biasanya, ungkapan ini muncul ketika kita mengalami sebuah kejadian ataupun peristiwa yang kemudian menuntut kita untuk merefleksikan kegagalan yang kita alami, mengambil pembelajaran atas pengalaman tersebut untuk tidak mengulanginya di lain waktu.

Masalahnya, apa proses-proses yang harus kita lewati untuk bisa belajar dari pengalaman. Mungkin sederhana saja, jika kita mengalami lagi peristiwa yang sama, kita cukup tidak melakukan lagi ‘kesalahan’ yang pernah kita lakukan. Apakah itu cukup?

Setidaknya ada 3 proses belajar dari pengalaman. Mulai dari mengalami, merefleksikan pengalaman, dan kemudian memodifikasinya. Bagi sebagian orang proses merefleksikan sebuah pengalaman bukanlah hal yang mudah dilakukan. Mungkin, sangat mudah menjelaskan kronologis sebuah peristiwa yang menimpanya, namun tidaklah mudah ketika sampai pada pembelajaran yang didapatkan dari peristiwa tersebut. Biasanya, banyak orang terjebak dengan ‘dampak langsung’ dari sebuah kejadian atau peristiwa, sehingga pembelajaran yang dilihat tidak terlalu mendalam.

Misalnya, pembelajaran yang diperoleh A dari kegagalannya memenangkan lomba memasak nasi goreng, adalah kurang memperhatikan takaran garam yang tepat, sehingga masakan nasi gorengnya terlalu asin. Jika mendapatkan kesempatan mengikuti lomba memasak nasi goreng lagi, apa yang A akan lakukan? Respon cepat atas pertanyaan ini adalah A akan membuat takaran khusus garam, sehingga nasi gorengnya tidak ke-asin-an.

Apakah jika sudah mengenggam strategi itu, maka A akan terjamin ‘lepas’ dari kegagalan yang lain? Saya kira tidak. Potensi kegagalan dalam hal-hal yang lain tetap akan mengancam dan bisa terjadi kembali. Tentunya, ini bukan seperti itung-itungan matematis, jika kemarin A, hanya melakukan 1 kesalahan, maka pada percobaan berikutnya, ia cukup fokus pada kesalahan tersebut, agar tidak terulangi lagi.

Mengambil pemebelajara atas ke-asin-an nasi goreng tersebut tidak cukup hanya melihat dari faktor garam yang berlebih. Namun, sangat penting membawanya ke ranah yang lebih luas, dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Misalnya, Bagian mana dari proses memasak nasi goreng yang membuat A tidak memberikan takaran garam yang pas? Adakah hal-hal yang menggangu A ketika memasak? Apakah A memberikan porsi perhatian yang proporsional diantara setiap proses memasak yang dilakukan? Ataukah ada proses perencanaan yang kurang lengkap? Dengan memunculkan berbagai pertanyaan kritis tersebut, A memiliki gambaran yang lebih lengkap atas peristiwa yang dialami.

Dari sini, ketika mau menarik pembelajarannya, A akan memiliki lebih banyak pilihan solusi dan perspektif pembelajaran.  Kira-kira refleksi pembelajarannya akan berbunyi seperti ini: “Nasi goreng yang ke-asin-an tidak hanya karena takaran garam yang terlalu banyak. Bagaimanapun, taburan garam ke dalam masakan, adalah bagian dari proses memasak secara keseluruhan. Sehingga, faktor-faktor lain dari proses memasak tetap harus menjadi perhatian. Mulai dari perencanaan, urutan memasukkan bumbu ke dalam masakan, konsentrasi dan fokus yang memasak, dan seterusnya.”

Jadi, ketika masuk ke dalam fase modifikasi, proses setelah refleksi atas pengalaman, A mempunyai keleluasaan untuk merekonstruksi proses memasak yang ia lakukan. Tidak melulu fokus pada ke-asin-an masakan, namun juga berpikir bagaimana mempertahankan performanya dalam mengeksekusi setiap proses memasak yang ia lakukan. Jangan sampai A terlena. Meskipun, satu pembelajaran atas kegagalan di masa lalu  ‘tertutupi’, namun kegagalan memberikan perhatian dan fokus yang setara diantara semua proses yang ada, bisa menyebabkan munculnya ‘kegagalan baru’.


Untungnya, tidak ada yang salah dari sebuah pengalaman. Apapun pengalamannya, selalu ada pembelajaran yang bisa dipetik. Tentunya, kemampuan kita merefleksikan pengalaman yang kita alami sangat menentukan kualitas pembelajaran yang bisa kita ambil. Disinilah, ‘belajar dari pengalaman’ tidak akan bisa menjadi guru terbaik, jika kita tidak bisa memaksimalkan proses refleksi atas pengalaman yang kita alami, mengambil pembelajaran atasnya, dan memunculkan opsi-opsi untuk memdofifikasinya menjadi pengalaman baru yang lebih kontekstual tentunya. #gusrowi  

Wednesday, September 9, 2015

Spontanitas itu Reflek Kejujuran

Dalam sebuah pelatihan di Yogyakarta, ketika mendiskusikan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan di ruang pelatihan, seorang partisipan menulis: “Tidak Boleh Ada Tugas Malam”. Merespon usulan ini, fasilitator secara ‘spontan’ menjawab : “Benar, memang tidak akan ada tugas malam, karena semua penugasan akan diberikan pada siang hari. Persoalan mengerjakannya pada malam hari, itu hal lain.” Mendengar ini , semua yang ada di kelas tertawa terpingkal-pingkal, karena tidak menyangka akan mendapatk respon seperti itu.

Spontanitas ‘cerdas’ fasilitator tersebut sangatlah menarik. Ketika saya mendekatinya dan bertanya, apakah ia sudah pernah mendapatkan situasi yang sama sebelumnya, sehingga bisa merespon dengan spontan permintaan partisipan tersebut, ia menjawab,” ini pengalaman pertama kali saya mendapatkan pernyataan dari partisipan seperti itu. Atas jawaban ini, saya berkesimpulan, spontanitas fasilitator tersebut sangatlah ‘cerdas’. Dan saya yakin, tidak mudah memiliki keterampilan ‘spontanitas’ seperti itu.

Dari peristiwa tersebut, saya berpikir dan bertanya-tanya dalam hati, apa yang harus kita lakukan agar kita bisa memiliki spontanitas yang ‘cerdas’, dan tentunya ‘konstruktif, dan bukan ‘destruktif’. Seperti spontanitas bereaksi secara emosional terhadap persoalan yang belum jelas akar persoalannya, ataupun spontanitas kekerasan verbal dalam merespon hal-hal tak terduga.  

Spontanitas itu asli, jujur dan tidak bisa dibuat-buat, karena muncul begitu saja dari alam bawah sadar kita, dan kita tidak memiliki ‘kuasa’ untuk mengontrol kemunculannya. Sebagai sebuah reflek kejujuran, spontanitas kita menggambarkan tentang apa yang sebenarnya kita pikirkan dan yakini.Ia bisa menjadi sinyal bagi orang lain, tentang siapa kita sebenarnya. Untuk bisa melihat apakah si A terbiasa dengan perbedaan pendapat, pandangan dan konflik anda mungkin bisa mengetesnya dengan memberikan kritik dan pandangan yang berbeda atas pendapatnya, dan temu kenalilah  reaksi spontannya.

Saya teringat ketika kelas 3 Aliyah (SMA), saya diminta mengajar kelas Tsanawiyah (SMP). Dalam sebuah kesempatan, saya mendapati murid di kelas saya ada yang tidak bisa menjawab pertanyaan saya. Dan dengan spontan, saya pun berkomentar: “Goblok”.  Jika kemudian saya ditanya, apakah mengatakan ‘goblok’ kepada murid itu etis dilakukan, maka saya pasti akan menjawab, “Tidak”. Namun, spontanitas saya menunjukkan sebaliknya. Tanpa saya sadari, terbangun di alam bawah sadar saya, bahwa murid itu bisa di’goblok’kan.

Disitulah, terjadi inkonsistensi dari apa yang telah menancap di alam bawah sadar saya (tentang perspektif tentang ‘mengajar murid’ yang saya yakini), dengan sikap, perilaku dan tindakan saya. Walau saya bilang, menyatakan murid ‘goblok’ itu tidak dibenarkan, toh nyatanya, spontanitas saya menggambarkan sebaliknya. Inkonsisteni antara ideologi/keyakinan/perpektif, dengan sikap/perilaku/ dan tindakan kita memang bukan hal yang jarang kita alami dan temui. 

Tentunya, adanya niat dan upaya membiasakan diri menjadi pribadi yang konsisten antara apa yang kita yakini, dan lalukan menjadi salah satu cara untuk bisa menjadi pribadi dengan spontanitas yang cerdas dan konstruktif. Semoga. #gusrowi

Monday, August 17, 2015

Kemerdekaan sebagai Door Prize?

“Dua tahun lalu, kamu dapat hadiah payung. Kira-kira tahun ini, kamu bakal dapat door prize apa?”

Begitu pertanyaan saya kepada Esza, anak sulung saya (11 tahun) yang saya yakini memiliki ‘keberuntungan’ tersendiri dalam hal ‘peruntungan’ semacam itu. Beberapa kali Esza memang berhasil ‘beruntung’ mendapatkan hadiah ataupun doorprize. Dan hari ini, 16 Agustus, ia kembali mendapatkan peruntungannya, ia mendapat Doorprize lagi. Kali ini ia mendapatkan Alat Penanak Nasi dari kegiatan Jalan Sehat dalam rangka peringatan 17-an yang ia ikuti di mana ia tinggal.

Door Prize menjadi kata yang sangat populer di setiap peringatan 17-an. Berbagai upaya menggali dana dari masyarakat dilakukan untuk bisa membeli kebutuhan door prize ini. Keberadaannya  menjadi magnet luar biasa dalam meningkatkan partisipasi dan antusiasme masyarakat. Dan tak dipungkiri, door prize  menjadi motivasi tersendiri dan terbukti dinantikan banyak orang. Tanpanya, kegiatan-kegiatan 17-an terasa kurang lengkap.

Untuk mendapatkan Door Prize, hanya dibutuhkan sebuah ‘keberuntungan’. Tidak perlu menguras energi besar untuk menjadi calon pemenangnya. Semuanya, sangat-sangat tergantung dengan faktor ‘keberuntungan’ yang dimiliki. Karakter  door prize yang sarat ‘keberuntungan’ untuk mendapatkannya tentunya tidak sesuai dengan karakter ‘kemerdekaan’ yang sedang di rayakan.  Kemerdekaan yang diperoleh  bangsa ini bukanlah sekedar ‘keberuntungan’, sebagaimana mendapatkan sebuah ‘door prize’. Kemerdekaan ini diperoleh dengan susah payah dan perjuangan ‘hidup mati’ melawan penjajahan.  

Lantas dimana kita bisa menempatkan door prize dalam semangat perayaan 17-an ini? Yang sekilas terlihat sangat bertolak belakang karakternya.  Setiap peringatan 17-an, ada satu proses dimana kita harus merenung dan merefleksikan makna kemerdekaan yang kita miliki saat ini, baik sebagai bangsa, bagian masyarakat maupun sebagai individu (pribadi). Tergantung pakai kaca mata apa kita memandangnya, kemerdekaan bisa dimaknai dengan sangat beragam.  

Namun, di sisi lain ada satu situasi dimana kita mempunyai hak untuk menikmati suasana kemerdekaan ini dengan suka cita dan berbagi kebahagiaan dengan sesama anak bangsa.  Para pejuang dan pahlawan yang telah ‘gugur’ demi  berdiri tegaknya bangsa ini saya yakin akan ikut tersenyum melihat suka cita kita ketika menikmati kemerdekaan ini. Mereka, jika masih hidup, pasti akan bahagia melihat kita tersenyum bahagia menikmati dan mengisi kemerdekaan ini.  Disinilah karakter door prize bisa memerankan fungsinya. Ia terbukti ampuh membangun harapan akan kebahagiaan dan juga memberikan kebahagiaan itu sendiri bagi pemenangnya.

Dirgahayu Indonesia yang ke-70 ! Semoga ‘keberuntungan’ senantiasa menaungi bangsa ini. Amiiin.  #gusrowi.













   







Saturday, August 15, 2015

Menemukan Jalan “Common Ground”

Ketika sedang berselisih paham, berbeda pendapat, atau memiliki pandangan yang berbeda dengan orang lain, apa yang paling mendominasi pikiran anda; Upaya meyakinkan ‘kebenaran’ pandangan anda? memahami lebih baik lagi pandangan orang tersebut? Atau berupaya mencari kesamaan-kesamaan diantara perbedaan pandangan yang ada?

Pendapat atau pandangan kita adalah representasi dari “kepentingan” yang kita miliki, yang terkadang nampak gamblang dalam kata-kata yang kita sampaikan, namun terkadang juga sebaliknya, tersembunyi  dan disampaikan secara tidak langsung. Ungkapan seperti “Ada Udang di Balik Batu”, adalah contoh sederhana bagaimana ada sebuah situasi dimana apa yang nampak (Batu) tidak bisa dijadikan ukuran apa yang sebenarnya orang tersebut butuhkan. Karena ternyata, ada kepentingan lain yang tidak tampak (yaitu Udang), yang jika kita tidak berhasil melihat apa yang ada di balik “Batu” tersebut, maka kita tidak akan dapat mengetahu apa yang sebenarnya orang tersebut butuhkan dan inginkan. Inilah “kepentingan”, sesuatu yang tidak tampak di permukaan, namun keberadaannya menjadi sumber dan dasar dari sikap dan perilaku seseorang.

Adalah kebutuhan mendasar yang sangat lazim, jika kita berusaha untuk mendapatkan apa yang menjadi ‘kepentingan’ diri kita. Persoalannya, ketika memenuhi kepentingan tersebut seringkali kita dihadapkan dengan ‘kepentingan’ orang lain yang ‘berbeda’. Kebutuhan kita, menjadi penghambat ataupun dihalangi oleh kebutuhan orang lain, dan sebaliknya, kebutuhan orang lain terhambat dan terhalangi oleh kebutuhan kita. Menghadapi keadaan demikian, setidaknya kita memiliki 3 pilihan strategi; (1) Memenangkan kepentingan “Kita” atas orang lain (2) memenangkan kepentingan “orang lain” atas Kita, atau (3) Memenangkan kepentingan bersama, orang lain dan Kita.

Pilihan pertama sangatlah menggoda, dan seringkali menjadi pilihan utama kita. Pilihan kedua, menjadi sangat penting, ketika kita berpikir tentang pentingnya menjaga hubungan dengan orang lain, dan pilihan ketiga adalah pilihan paling ideal, karena mementingkan tercapainya kebutuhan bersama. Pikiran untuk bekerjasama dengan saling menguntungkan, menjadi landasan dari pilihan ketiga ini. Tetapi, meski ideal, pilihan ke-tiga juga merupakan pilihan paling sulit dalam mencapainya.

Ketika kepentingan bersama dijadikan tujuan, maka saling memahami, saling membantu, dan saling bekerjasama menjadi sikap-sikap dan perilaku yang harus dilakukan. Tentunya, ini tidak mudah, apalagi kita berhadapan dengan pihak yang berbeda kepentingan dengan kita. Diperlukan proses saling mendengarkan dengan baik, dan saling menghargai pandangan dan pendapat masing-masing. Pada tataran inilah, saya melihat fokus kedua pihak harus diubah (transformasi), dari fokus pada ‘perbedaan kebutuhan ataupun kepentingan’ menjadi fokus pada ‘persamaan-persamaan’ diantara mereka. 

Menemukan persamaan dengan orang yang berbeda pandangan dengan kita, diakui atau tidak, bukan merupakan kebiasaan yang sering kita jalani dalam kehidupan sehari-hari. Menemukan persamaan dilakukan untuk bisa menemukan Common Ground, yang di dalam kamus online (http://www.merriam-webster.com/) dimaknai sebagai “Sebuah dasar (pondasi) dari kepentingan atau persetujuan yang saling menguntungkan”. Berdasarkan pengertian ini, diperlukan adanya kepentingan ataupun kesepakatan yang saling menguntungkan sebagai dasar dalam menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi, yang hasilnya sama-sama menempatkan kedua belah pihak sebagai pemenang bersama.  Inilah mengapa common ground menjadi sangat penting untuk ditemukan, ketika kita menginginkan adanya penyelesaian masalah yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Selain menemukan Common Ground, menemukan persamaan-persamaan di antara orang-orang yang berbeda, akan meningkatkan kemampuan kita dalam membangun kerjasama dengan orang-orang yang berbeda tersebut. Kita menjadi lebih paham bagaimana menerapkan konsep “the right man, on the right place, dan lebih bisa memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Dan sebaliknya, orang lain juga lebih memahami apa siapa kita dan apa yang menjadi concern dan perhatian kita.

Menemukan persamaan-persamaan juga akan menguatkan optimisme kita dalam menjalankan sesuatu. Jika kita bisa ‘bersama’ dan berbagi kepentingan yang ‘sama’, mengapa kita tidak bisa mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada? Kira-kira begitu yang kita tanamkan di dalam pikiran kita.  Perbedaan akan selalu ada, dan kita memiliki pilihan untuk tidak menajamkannya, karena kita lebih memilih untuk ‘menumpulkan’nya dan fokus mengambil manfaat dari dari kepentingan bersama yang kita miliki.

Mari kita tempatkan ‘menemukan Common Ground’ sebagai proses dan tujuan hidup kita. Tentunya, dengan  syarat utama, menjadikan penemuan persamaan sebagai kebiasaan kita sehari-hari. Terakhir, saya ingin mengutip status FB Nur Adi Setyo di dinding-nya, “Kalau saya, lebih suka melihat sesuatu dari persamaan bukan memperuncing perbedaan”. Setuju kan? #gusrowi


Monday, August 3, 2015

"Memahami" itu Membahagiakan

Mana yang paling dominan di dalam diri anda, keinginan dan kebutuhan untuk "dipahami", atau "memahami"?   

Pilihan pertama mensyaratkan kemampuan berkomunikasi yang bagus untuk bisa "dipahami" orang lain. Hal yang tidak mudah tentunya. Apapun yang terjadi, mulai dari adanya kesalahpahaman, ketidakmengertian orang lain atas apa yang anda sampaikan sangat tergantung dari cara anda mengkomunikasikan ide, gagasan dan pikiran anda. 

Mengedepankan "dipahami" tidak memberikan perhatian untuk berupaya "mengerti" pengetahuan, pemahaman orang yang anda ajak berkomunikasi. Fokus komunikasi disini adalah "diri anda". Orang lain hanyalah obyek yang anda harapkan untuk "bisa" mengerti dan memahami anda.

Sangat berbeda, "Memahami"  memang mensyaratkan kemampuan berkomunikasi yang baik, khususnya kemampuan mendengar, dan kemampuan bertanya yang diniatkan untuk menggali makna lebih tentang apa yang orang lain komunikasikan kepada anda. Namun, dibanding "dipahami", disini anda merasa perlu untuk memiliki pengetahuan, pemahaman tentang orang yang anda ajak berkomunikasi untuk lebih memudahkan anda dalam memahami orang tersebut. Fokus "memahami" adalah orang lain, dan yang kamu harapkan dari diri anda adalah "memiliki" dan "memahami" dengan lebih baik orang tersebut. 

"Dipahami" dan "Memahami" tentunya menjadi kebutuhan setiap kita, ketika berkomunikasi. Hanya saja, pilihan mana yang harus didahulukan seringkali menjadi dilema tersendiri. Secara naluriah, mungkin kita cenderung untuk lebih menikmati keadaan ketika "orang lain" lebih memahami diri kita dibanding, diri kita memahami orang lain. Pastinya, sangatlah menyenangkan ketika apapun yang kita inginkan, dan butuhkan dipahami oleh orang lain, yang akhirnya membawa kepada terpenuhinya kebutuhan kita. 

Namun, diakui atau tidak, kenikmatan  ini bisa menjadi "tidak produktif" ketika kita terlena dalam menikmatinya. Fokus pada kebutuhan diri sendiri dibanding orang lain, bisa membuat kita kehilangan momentum untuk bisa belajar dari pengalaman hidup orang lain. Memang, tidak semua yang berasal dari pengalaman orang lain bisa kita manfaatkan. Namun, kita semua tahu, pengalaman adalah guru yang paling baik, dan pengalaman kita tentunya tidak cukup, tanpa dikombinasi dengan pengalaman orang lain. Apalagi, hampir semua pengalaman hidup kita, sedikit banyak dipengaruhi oleh pengalaman  hidup orang lain. Maka, tak ada alasan kita bisa berkembang dan maju tanpa pengaruh dan dukungan orang lain. 

Itulah mengapa, menyiapkan energi lebih untuk "memahami" orang lain dibanding melebihkan energi untuk berharap bisa dipahami orang lain sangatlah penting. Bagi saya, rasanya begitu menyenangkan mendapat cerita-cerita baru tentang berbagai pengalaman menarik dan beragam tentang orang-orang yang kita temui, dimanapun kita berada. Disinilah, saya sering mendapatkan makna hidup yang beragam dari berbagai sudut pandang. Modal saya mendapatkan itupun "gratis". Saya hanya cukup mendengarkan (listening ), bertanya dengan baik dan penuh hormat terhadap siapapun yang kita temui. Dan seringkali, saya mendapat pembelajaran hidup yang luar biasa karenanya. 

Inilah alasan kita memerlukan energi lebih untuk bisa "memahami" orang lain. Memiliki pemahaman atas orang lain dengan lebih baik, akan membantu kita mengkomunikasikan apa yang kita inginkan dan butuhkan, karenanya, orang lain pun tidak akan mengalami kesulitan dalam memahami diri kita.

Memahami itu mungkin menguras energi dan melelahkan, namun hasil dan dampaknya bagi diri kita jauh lebih menyenangkan dan membahagiakan. Insya Allah. #gusrowi





Saturday, August 1, 2015

Pecah Bisul itu Bukan Akhir

Dua hari ini, saya menjalani 2 peristiwa yang saya ibaratkan seperti memecahkan bisul yang sudah lama ditunggu ledakannya. Satu tentang urusan pekerjaan, dimana setelah mengalami penundaan setahun lebih, akhirnya sebuah inisiatif baru berhasil diresmikan. 

Satu lagi tentang urusan sosial di lingkungan sekitar saya, yang hampir 5 tahun saya tinggal, baru kemarin saya merasakan nikmatnya kegiatan temu warga, dimana saya bisa menambah teman dan bertemu dengan orang-orang yang selama ini ada di sekitar saya, namun tidak pernah bertemu dan bertatap muka secara langsung.

Di saat yang hampir bersamaan, bisul pecah ini juga dialami beberapa teman saya yang lain. Satu tentang temen saya yang "akhirnya" bisa "resign" dari pekerjaan yang sekarang. Hal yang telah ia nantikan setahun terakhir. Tentu, bisul ini meledak, setelah ia mendapatkan "pekerjaan baru", sebagai syarat utama ia bisa melenggang keluar dengan baik. Cerita yang lain, tentang teman saya yang akan segera lamaran, dan bersiap menapaki jalan ke pelaminan. Sebuah peristiwa yang juga sangat ia nantikan untuk segera melepas status lajangnya. 

Dari cerita-cerita diatas, saya mau menyederhanakan makna "bisul pecah" disini sebagai sebuah pencapaian keinginan, kebutuhan yang sangat diidam-idamkan untuk bisa menjadi kenyataan. Dengan pecahnya bisul, maka perasaan lega, gembira dan bahagia menjadi nuansa perasaan yang banyak dialami oleh si empunya bisul. Banyak yang kemudian meluapkan dengan berbagai cara, seolah-olah itu sebuah pencapaian akhir dan final. 

Namun, ada juga yang justru lebih hati-hati dan berusaha menyadari, bahwa proses-proses setelah bisul pecah menjadi rumit dan komplek, sehingga tetap membutuhkan kesiagaan dan kewaspadaan.

Memang, masih ada proses merawat dan menjaga agar "bisul" yang sudah pecah tidak lagi mengalami infeksi dan kemudian tumbuh menjadi bisul-bisul baru yang  mengganggu pikiran dan tidak mendatangkan kenyamanan. 

Dalam kasus yang saya alami, saya justru merasakan bahwa tantangan yang harus saya hadapi ke depan lebih berat lagi. Tentu saya berharap apa yang saya inginkan dan rencanakan berjalan dengan baik sesuai yang saya rencanakan, dan tidak perlu terlebih dahulu menjadi "bisul"untuk bisa menikmatinya. 

Saya tidak mau seperti teman saya yang sengaja menciptakan bisul, namun tidak bisa merawatnya, setelah bisul itu pecah. Ceritanya, temen saya ini, sangat ingin sekali menurunkan berat badannya, dan untuk memenuhinya ia ingin sekali nge-gym. Tidak mudah baginya menemukan waktu dan kesempatan untuk melakukannya. Namun, setelah ia punya kesempatan nge-gym, ternyata ia tidak bertahan lama. Sama sekali tidak mencerminkan keinginan kuatnya untuk nge-gym. Latihan pun hanya dijalanin dengan malas-malasan dan ogah-ogahan. Nampaknya, ia merasa bisulnya pecah, setelah ia merasa "berhasil" menjadi bagian dari klub gym. Bagi dia itu lebih penting dibanding menjalani keinginan kuatnya untuk menurunkan berat badannya.

Memang, tidak ada hal yang aneh jika kita memiliki keinginan yang sangat kuat untuk melakukan sesuatu. Seharusnya, memang kita harus berkomitmen penuh untuk mewujudkannya. Namun, tantangan ketika keinginan tersebut terpenuhi idealnya juga diikuti dengan keinginan-keinginan lain yang lebih kreatif dan menantang, agar kita tidak terjebak dengan romantisme "pencapaian" yang itu-itu aja. 

Ayo, kita ciptakan bisul-bisul baru yang lebih keren dan menantang. Namun, jangan sampai ketika bisul itu pecah, kita tidak terlibat didalamnya. Apapun bisul anda, pastikan anda menikmatinya dengan baik, dan pastikan anda tahu apa yang harus anda lakukan untuk memberikan perawatan dan menjaga proses-proses setelahnya. Karena bisa jadi, itulah manfaat ledakan yang sebenarnya dari "bisul" anda. 

Punya bisul yang siap pecah hari ini? Semoga ledakannya membawa kemanfaatan buat kita semua. #gusrowi #ArgoMuriaToSMG.

Saturday, July 18, 2015

Lebaran dan Silaturahmi yang "Terpaksa"

Lebaran dengan tradisi silaturahminya mengingatkan saya pada kuadran manajemen waktu-nya Steven Covey. Merujuk pada 4 kuadrannya, saya mengkategorikan silaturahmi ke dalam kuadran “Penting”, meskipun “Tidak Mendesak” untuk dilakukan.

Mengapa silaturahmi itu “penting”? Siapapun tidak ada yang meragukan manfaat bersilaturahmi. Agama-pun juga memberi penegasan tentang manfaatnya. Silaturahmi, selain menjaga hubungan sosial dan kekeluargaan dengan orang-orang terdekat, juga menjadi ajang untuk menambah kenalan, teman dan jaringan sosial baru. Hal-hal semacam ini bisa membawa dampak positif dalam membuka peluang-peluang saling bekerjasama dan saling memanfaatkan (yang saling menguntungkan) di kemudian hari. Saya yakin, banyak sudah contoh-contoh tentang ini.

Adalah wajar jika kemudian banyak yang mengingatkan, agar kita menjaga silaturahmi dengan siapapun, apalagi dengan orang-orang yang mempunyai peran di dalam hidup kita. Di saat yang sama, kita juga dianjurkan untuk menjaga dan merawat silaturahmi dengan siapapun, bahkan dengan orang-orang yang ‘seolah-olah’ tidak ada pengaruhnya terhadap diri dan hidup kita. Intinya, tidak ada ruginya dalam bersilatuhami.

Silaturahmi yang ideal bertujuan untuk membangun hubungan sosial-kekeluargaan, dan bukan berdasarkan pamrih-pamrih kepentingan tertentu yang bersifat ‘oportunistik’. Karena silaturahmi semacam ini kayaknya tidak akan bertahan dalam jangka panjang, karena sarat kepentingan-kepentingan pribadi yang instan.

Jika melihat manfaat yang ada, mengapa silaturahmi “Tidak Mendesak” untuk dilakukan? Melakukan silaturahmi bisa dilakukan kapanpun, dimanapun dan dan dengan siapapun. Apalagi di zaman ini, banyak sekali media yang bisa memfasilitasi kita untuk bersilaturahmi. Tanpa harus menunggu lebaran, silaturahmi bisa tetap kita jalankan sepanjang Tahun.

Namun, kemudahan-kemudahan yang ada tidak menjadikan sebagian besar dari kita untuk memanfaatkannya dengan baik. Kita lebih suka menunggu lebaran untuk sekedar bertegur sapa dengan teman dan sana famili di kampung halaman. Atau, kita lebih suka menunda silaturahmi, karena kita merasa bisa melakukannya dengan mudah jika kita mau. “Ah.. besok juga bisa”, “Ah..lebaran juga ketemu”, dan “Ah..Ah” lainnya.

Sifat ke-tidak mendesak-an ini ternyata justru membuat kita ‘terlena’, hingga tanpa kita sadari, waktu berjalan begitu cepat, dan akhirnya sampailah “Lebaran”, saat dimana kita merasa ‘terpaksa’, karena kita merasa “harus” bersilaturahmi. Selama setahun kita tidak pernah ‘menabung’ silaturahmi apapun. Maka, lebaran-pun menjadi ajang satu-satunya untuk bersilaturahmi. Disinilah, manfaat penting ‘silaturahmi’ menjadi kurang. Karena kita memperlakukannya secara ‘tidak penting’ dan justru menjadikannya terasa ‘mendesak’ untuk dilakukan ketika lebaran tiba.

Idealnya, setelah meyakini manfaat silaturahmi, kita tidak pernah lagi menyianyiakan setiap peluang bersilaturahmi yang ada di depan kita. Manfaatnya begitu banyak, dan karenanya sangat penting untuk dilakukan sebanyak mungkin. Karena sifatnya yang ‘tidak mendesak’, maka kita bisa mengelolanya dengan menjadikannya sebagai aktivitas menyenangkan yang kita lakukan secara rutin seminggu sekali, sebulan sekali, dan yang pasti bukan setahun sekali. Kita tidak mau kan dianggap “mau bersilaturahmi” jika pas “Ada maunya” saja?

Maka, mari terus belajar menjadikan silaturahmi sebagai ‘gaya hidup’ kita sehari-hari, dan bukan sebagai gaya hidup ‘tahunan’ di saat lebaran  datang. Selamat menikmati Lebaran!  #gusrowi




Sunday, July 12, 2015

Menyederhanakan Makna Mudik, Jangan dong!

“Mudik itu yang mudik, pulang kampung ketemu orang tua dan silaturahmi dengan keluarga. Sesederhana itu, saya kira.” Ini yang saya pikirkan sewaktu saya belum menjadi perantau seperti sekarang ini. Namun, melihat begitu banyak yang harus dicurahkan untuk mudik, saya punya anggapan berbeda, bahwa Mudik itu tidak se-sederhana adanya.

Hari-hari terakhir Ramadhan ini pertanyaan-pertanyaan: Mudik apa tidak? Kapan mudik?, Mudik kemana?, berapa lama akan di kampung halaman?, dan Kapan bakal kembali? Banyak kita temui. Baik kita sebagai orang yang bertanya, maupun kita sebagai orang yang ditanya. Setidaknya inilah ‘magic word’ yang kebanyakan orang merasa ‘senang’ dan ‘nyaman’ mendiskusikannya. Diskusi ini mengisi ruang sedikit ruang, sebelum orang-orang lebih kenceng lagi ngomongin tentang ucapan “Selamat Mudik”, “TITI DJ (Hati-hati di Jalan)”, Selamat Sampai Tujuan! , dan tentunya Ucapan Selamat Lebaran itu sendiri.

Ada banyak alasan mengapa orang mudik. Sebagian besar tentunya bersilaturahmi dan berkumpul dengan keluarga terdekat, seperti orang tua, di kampung halaman. Bagi yang tidak lagi memiliki orang tua di kampung halaman, adanya keluarga yang masih di-tua-kan menjadi alasan berikutnya.
Sebaliknya, greget mudik kurang ‘terasa’ jika tidak ada lagi orang tua ataupun yang di’tua’kan di kampung halaman. Tentunya, faktor umur juga bisa menjadi alasan lain, semakin berumur, semakin menurun greget orang untuk mudik.  Selain faktor fisik yang tidak lagi prima untuk menempuh perjalanan jauh, faktor biaya, tidak adanya orang-orang di kampung halaman yang masih dikenal menjadi alasan, mudik tidak lagi terasa ‘diperlukan.’

Tujuan utama mudik biasanya tak jauh dari silaturahmi, kangen-kangen-an, dan sungkem orang tua. Namun, bukan berarti ada tujuan-tujuan lain yang disisipkan ketika mudik. Mulai dari: Mengenalkan kepada anak-anak tentang pentingnya berbakti kepada orang tua, sehingga menempuh perjalanan jauh sekalipun bukan halangan untuk dilakukan; Reuni untuk bertemu dengan kawan-kawan di waktu kecil; Berbagi cerita tentang kesuksesan hidup di perantauan; dan masih banyak lagi.

Melihat begitu banyak yang harus dicurahkan, mulai dari waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, seyogyanya energi, greget dan semangat mudik tidak habis di perjalanan. Karena, sesampainya di kampung halaman-lah esensi tujuan dari mudik baru dimulai. Memang, banyak yang bilang, semua kecapekan, kelelahan dan kepenatan akan hilang ketika kita bisa bertemu keluarga dan orang tua di rumah. Namun, alangkah lebih baiknya jika mudik yang kita lakukan juga memiliki totalitas dalam melakukannya.

Yang saya maksud dengan totalitas disini adalah kejelasan tentang apa tujuan, dan manfaat yang ingin kita dapatkan selama mudik. Kejelasan tentang 2 hal ini juga didukung oleh keseriusan dan komitmen untuk mewujudkannya. Saya melihat hal-hal demikian tidak banyak melintasi pemikiran para pemudik.

Sebagaimana saya tulis di bagian awal tulisan, bahwa mudik tidak se-sederhana yang dibayangkan. Banyak sekali persiapan yang dibutuhkan, fisik maupun mental. Jika ini tidak diimbangi dengan kejelasan tujuan mudik itu sendiri, tentunya akan sayang sekali. Tanpa keinginan kuat menggapai makna dan manfaat silaturahmi selama di kampung halaman, bisa jadi, mudik yang kita lakukan hanyah ritual tahunan yang kita ikuti, tanpa kita pernah pikirkan apa yang sebenarnya bisa kita manfaatkan bagi diri kita.

Mari berbahagia dengan mudik lebaran tahun ini, sejauh apapun dan sedekat apapun mudik yang kita lakukan. Tujuan yang jelas, dan gambaran indah manfaat silaturahmi yang akan kita lakukan, saya yakin akan menambah semangat kita untuk menjalaninya. Semoga kita termasuk orang-orang yang tidak menyia-nyiakan manfaat dan keberkahan Mudik yang kita lakukan. Selamat Mudik!. #gusrowi.




Friday, July 3, 2015

Apa Rencana Cadanganmu?

Pernahkah anda berada di dalam sebuah situasi yang “Sangat Yakin” dan “Percaya Diri” dengan keberhasilan misi anda. Situasi dimana segala sesuatunya sangat meyakinkan, ketika semua yang direncanakan dengan matang menjanjikan mulusnya pelaksanaan misi anda. Intinya, apa yang sudah anda rencanakan, sangat potensial menjadi sebuah keberhasilan. Dalam keadaan demikian, kita perlu mengimbangi ‘rasa percaya’ diri yang begitu kuat mendominasi, kita memerlukan rencana-rencana lain, jika saja apa yang kita yakini meleset dari yang diharapkan.  

Ada beberapa situasi yang saya lihat berpengaruh terhadap munculnya rencana cadangan ini. Pertama, rencana cadangan penting untuk dimiliki ketika faktor-faktor yang menentukan keberhasilan misi kita, sangat tergantung pada kekuatan yang bersumber pada diri kita. Misalnya, kita merencanakan akan melakukan wisata ke tempat yang sudah pernah kita kunjungi sebelumnya. Disini, rencana cadangan tetaplah penting, khususnya terkait hal-hal yang bisa mengganggu jalannya rencana berwisata. Potensi yang menggangu kesuksesan tidak saja terkait tantangan selama di dalam perjalanan, namun juga kemungkinan-kemungkinan harus merubah tujuan tempat wisata karena sesuatu dan lain hal.   

Kedua, rencana cadangan menjadi sangat penting ketika kita faktor kesuksesan misi kita ‘bergantung’ kepada keberhasilan ‘orang lain’ dalam mengemban misinya. Walaupun kita meyakini, bahwa orang yang menjadi ‘gantungan harapan’ kita ini akan memberikan hasil seperti yang diharapkan, namun apapun bisa terjadi, dan karenanya rencana cadangan sangatlah penting untuk kita siapkan dan miliki.

Misalnya, kita akan melakukan wisata ke tempat yang belum pernah kita kunjungi. Untuk kepentingan ini, kita meminta orang lain menjadi ‘pemandu’. Dalam keadaan demikian, ketika kita hanya menggantungkan kepada sang pemandu untuk bisa membawa kita ke lokasi wisata, maka sama saja kita sedang ‘menyerahkan’ kesuksesan misi kita kepada pemandu tersebut. Padahal, apapun bisa terjadi, seperti, tiba-tiba menjelang keberangkatan si pemandu jatuh sakit, dan tidak membantu kita memandu menuju tempat yang ingin kita kunjungi. Atau  di tengah perjalanan, pemandu kita harus pulang ke rumah, karena ada alasan keluarga yang memerlukan kehadiran dia, dan banyak lagi kemungkinan yang bisa terjadi.

Lantas, apa yang idealnya kita miliki dalam menyiapkan rencana cadangan? Jika menyangkut yang pertama, meng-update/up-grade pengetahuan kita atas tempat wisata yang pernah kita kunjungi sangatlah penting. Bisa juga terkait perkembangan dan perubahan yang ada. Jika menyangkut yang kedua, kita dituntut untuk memiliki dasar-dasar pengetahuan akan hal-hal yang kita ‘gantungkan’ kepada si pemandu. Mulai dari pengetahuan tentang tempat wisata tersebut, bagaimana mencapai lokasi wisata, siapa saja yang bisa dimintai pertolongan di dalam perjalanan, apa yang perlu mendapat perhatian khusus, dan masih banyak lagi.  

Jika kita bandingkan 2 hal diatas, tentunya persiapan cadangan kita akan lebih berat pada kasus yang kedua dibandingkan yang pertama. Dimana kita menuju sebuah situasi dan keadaan yang kita sendiri tidak memiliki pengalaman sebelumnya. Sebuah perjalanan menuju ruang ‘unknown’—tidak diketahui,  yang akan menjadi ‘known’—diketahui, ketika kita bisa sampai dan mengalaminya nanti.

Bagi sebagian orang, perjalanan menuju ‘unknown’ ini merupakan perjalanan yang mendebarkan dan sekaligus mengasyikkan. Baginya, bergantung pada orang lain dalam hal-hal tertentu memang tak bisa dihindari. Namun, bukan kemudian ‘ketergantungan’ yang ada tidak diimbangi dengan persiapan-persiapan pengetahuan dan mental yang cukup, sehingga akan selalu siap dan bisa memahami jika tiba-tiba membutuhkan ‘rencana cadangan’, dan atau harus memulai dari awal lagi.

Mereka meyakini, walaupun tidak mengetahui bagaimana ‘akhir’ dari perjalanannya, namun mereka selalu yakin ‘ada hal yang bisa dicapai’ dari proses yang ia jalani. Apapun akhir cerita perjalanannya adalah hasil terbaik yang dihasilkan.


Memiliki perencanaan matang beserta cadangannya, memang tidak memberikan jaminan apapun sebuah keberhasilan. Namun, tanpa memilikinya, meskipun menjanjikan petualangan hidup yang mendebarkan dan mengasyikkan, saya kira lebih tidak menjamin apapun. #gusrowi

Monday, June 29, 2015

Berjodoh dengan Kesuksesan

Sehari semalam di kampung halaman, mendapat kesempatan bertemu teman lama yang sudah sukses di perantauan. Sebuah cerita kesuksesan yang tidak mudah didapatkan di kampung halaman dimana ia dilahirkan. Seperti biasa, saya pun tergelitik untuk bertanya tentang hal-hal reflektif dibalik kesuksesan teman saya ini.

Satu hal yang saya tertarik untuk membahasnya adalah, rencana ke depan teman saya menindaklanjuti kesuksesan yang saat ini ia rengkuh. Apakah ia masih berpikir untuk kembali ke kampung halamannya, ataukah ia akan istiqomah dengan kehidupan perantauannya?. 

Respon spontan yang saya dapatkan dari teman saya adalah “Apalah arti kesuksesan jika masih di perantauan”. Respon ini menyiratkan tentang keinginannya untuk kembali ke kampung halamannya. Bagi dia, kesuksesan yang ia raih saat ini adalah motivasi dan penyemangat untuk bisa meraih kesuksesan yang sama di kampung halaman nantinya.

Cerita singkat ini kira-kira membawa pesan bahwa kesuksesan di kampung halaman lebih indah jika di dapatkan dan di raih di bandingkan dengan kesukseskan di perantauan. Di kampung halaman, mungkin lebih banyak orang yang dikenal, lebih banyak orang yang mengenal, ketika kesuksesan tersebut menghampiri. Sebaliknya, tidak banyak yang menjadi saksi dari kesuksesan kita di perantauan, dan juga tidak banyak keluarga, kawan-kawan dekat kita yang bisa kita ajak ikut merayakan dan mensyukuri kesuksesan yang kita raih. Sekilas, apakah ini persoalan aktualisasi diri? Atau soal “kepuasan cara kita” memenuhi kebutuhan ‘self esteem’ diri kita?.

Pada kasus teman saya ini, setelah saya gali lebih mendalam, persoalan respect, ruang aktualisasi diri dan berkreasi dalam memanfaatkan peluang, ia beranggapan,  jauh lebih terpenuhi di perantauan di banding di kampung halamannya. Ia sadar, se-sukses apapun dia di perantauan, ketika ia kembali ke kampung halaman, orang-orang tidak akan melihatnya sebagai ‘orang baru.’ Ia sadar,  Ia akan tetap di lihat sebagai si A, anaknya si B, dan sebagainya. Kualitas kesuksesan yang ia tampilkan saat ini sama sekali tidak akan meningkatkan level sosialnya di masyarakat.

Ini, mirip dengan cerita sukses menjadi TKI atau TKW. Se-kaya apapun ia karena kerja kerasnya di luar negeri, jika sekembali ke kampung halamannya tidak menunjukkan kualitas hidup yang lebih mandiri dan maju, maka masyarakatpun tidak akan memberinya level sosial yang lebih. Lantas, jika bukan karena alasan aktualisasi diri, respect dan self esteem,  apa yang membuat keinginan untuk kembali hidup di kampung halaman menjadi opsi yang hampir selalu hadir di angan-angan banyak orang?

Tebakan sedikit ngawur saya, alasan nostalgia dan hidup diantara keluarga dan orang-orang terdekat yang menjadi alasannya. Meskipun, jutaan contoh tentang kesuksesan hidup  mandiri di perantauan, tanpa sanak saudara dan keluarga banyak kita temukan. Namun opsi hidup di kampung halaman akan selalu muncul jika kemungkinannya ada.

Bagi saya, jika saya jadi teman saya, meneruskan hidup di perantauan menjadi opsi utama saya. Kampung halaman akan selalu menjadi kenangan tak terlupakan, dan akan selalu ada ketika kita ingin bernostalgia dengannya. Kesuksesan di perantauan bisa dimaknai sebagai “jodoh” yang hanya bisa kita temukan ketika kita merantau. Ketika kita meninggalkan kampung halaman untuk meraih kesuksesan hidup, sama artinya kita sedang mencari dan menemukan ‘jodoh’, yang karena suatu dan lain hal tidak kita temukan di Kampung halaman yang kita cintai.


Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu bisa menemukan ‘jodoh’ kita dalam menggapai kesuksesan hidup ke arah yang lebih baik. Amiin. #gusrowi

Saturday, June 27, 2015

Mudik dan “Cerita” yang Selalu Terulang


Selalu ada yang kurang, dan selalu ada yang terlewatkan. Walaupun perencanaan dan persiapannya sudah sedemikian rapi, dan dedikasi waktu pun sudah sebegitu longgarnya telah dicurahkan. Pengalaman Mudik Lebaran dari waktu ke waktu, dengan sederet pengalaman dan pembelajaran, ternyata tak menjamin ‘absen’-nya keteledoran, kealpaan dan terjadinya kelalaian. Ada saja yang tertinggal.

Mulai dari oleh-oleh yang ketinggalan gak terbawa, titipan keluarga di kampung yang terlupakan, hingga kelupaan menyalakan lampu di teras ketika meninggalkan rumah untuk mudik, adalah beberapa hal sederhana yan sering terjadi. Meskipun telah sering mudik, hal-hal demikian masih sering dialami.

Biasanya, kondisi fisik yang kurang prima ketika persiapan menjadi salah satu penyebabnya. Faktor kurang tidur dan kecapean menyiapkan mudik dalam waktu yang singkat mempengaruhi konsentrasi dan fokus ketika packing dan mengerjakan segala urusan sebelum ditinggal mudik. Kondisi tubuh yang demikian berpengaruh terhadap kejelian dan prioritisasi kita.

Apakah kemudian kondisi tubuh ‘prima’ dan waktu persiapan yang cukup bisa menjadi solusi-nya? Hasilnya tentunya akan lebih baik, meskipun tetap tidak akan menjamin tidak adanya kelalaian dan kekurangan. Terkadang, ketika sudah mempersiapkan jauh-jauh hari, bawaannya justru rasa ‘percaya diri’  bahwa semuanya sudah OK dan karenanya tidak perlu ada yang di khawatirkan.

Namun, dalam konteks mudik lebaran, ketika semua sudah disiapkan dari jauh-jauh hari, menjadi sibuk dan capek jelang mudik adalah kondisi yang seolah-olah harus dilewatin dan dijalanin. Sangat masuk akal jika kemudian muncul hal-hal diluar rencana yang awalnya tidak menjadi prioritas. Dalam situasi ‘hectic’ dan ‘last minute’ banyak orang yang kemudian kelabakan, dan terkadang tidak lagi punya cukup waktu untuk menentukan mana yang prioritas dan yang sekedar tambahan dan tidak terlalu penting. Di sinilah potensi kelalaian dan keteledoran akan terjadi.

Oleh sebabnya, selain perencanaan yang baik, kecukupan waktu persiapan, dan kondisi fisik prima, kita juga perlu memiliki kesadaran bahwa akan selalu ada yang kurang dari apa yang kita rencanakan, persiapkan dan lakukan. Kesadaran demikian diharapkan akan terus memancing ‘kejelian’ dan ‘konsentrasi’ kita untuk bisa menyiapkan segala sesuatunya lebih baik lagi, dan mengurangi sebanyak mungkin resiko-resiko terjadinya berbagai macam potensi keteledoran dan kelalaian. Kesadaran ini juga penting, untuk mengantisipasi munculnya kegelisahan dan kegalauan yang berlebihan yang diakibatkan oleh kekecewaan karena tidak maksimalnya apa yang sudah direncanakan dan dipersiapkan.

Rasanya tidak ada yang ‘salah’, ketika kita sudah menyiapkan secara maksimal mudik kita, namun cerita-cerita tentang kelalaian dan keteledoran masih terus berulang dari satu lebaran ke lebaran berikutnya. Apakah ini bukti bahwa “manusia adalah tempatnya salah dan lupa?” Mungkin saja. Namun akan sangat bijak jika kita tidak menjadikannya sebagai alasan pembenaran untuk secara sengaja melakukan kesalahan dan kelupaan.

Sebaliknya, semangat yang harus diusung adalah menjadikan ‘cap’ kelupaan dan kesalahan sebagai motivasi untuk maju, karena manusia memiliki akal yang jika dimanfaatkan dengan baik bisa menjadi pemicu dan pemacu terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik.  

Selamat menikmati saat-saat jelang dan mudik lebaran anda!  #gusrowi



Friday, June 19, 2015

Merespon Tantangan

“Ayah akan hadiahi kamu uang 50 ribu, jika kamu bisa membuat denah RT”, kataku. Esza (11 tahun)-pun bergegas melihat draft denah yang masih dalam bentuk coretan tangan yang saya pegang. Secara spontan dia menjawab “Iya, Esza akan kerjakan”. Namun, beberapa saat kemudian, Ia pun bertanya kepada saya, “Kira-kira Esza bisa mengerjakannya apa tidak ya Yah?”

Ada konflik di dalam pikiran Esza, antara keinginan mendapatkan uang 50 ribu, dengan kenyataan bahwa ia sama sekali belum pernah memiliki pengalaman melakukannya. Inilah yang kemudian membuatnya gamang, apakah ia akan bisa menyelesaikan ‘tantangan’ ini atau tidak.

Tantangan semacam ini pasti pernah dialami oleh siapapun.Tantangan untuk melakukan sesuatu yang tidak kita kuasai, dan bahkan kita belum pernah melakukan sebelumnya. Karenanya, kita hanya akan bergantung dengan beberapa pengalaman yang diyakini akan bisa mengantarkan kita untuk bisa berhasil mengatasi ‘tantangan’ yang ada.

Merespon hal demikian, berdasarkan survey singkat saya di FB, ada beberapa orang yang cenderung untuk menerima tantangan semacam ini, karena meyakini setiap tantangan bisa diselesaikan dan diatasi. Beberapa orang yang lain, cenderung untuk ‘mencoba dulu’, dan jika tidak berhasil Ia akan mundur dan membiarkan yang lain untuk mengatasinya. Namun, ada juga yang memilih untuk ‘angkat tangan’ ketika tantangan yang ada dianggapnya membutuhkan kapasitas melebihi apa yang mampu ia lakukan.

Berdasarkan respon-respon tersebut, ternyata ‘tantangan’ tidak selalu direspon sebagai sebuah “motivasi” dan “kesempatan” untuk meningkatkan kemampuan dan pengalaman melakukan hal-hal baru dan di luar kebiasaan. Ada orang-orang yang realistis melihat tantangan tersebut, dan tidak akan memaksa diri melakukan sesuatu yang diluar kemampuan.

Kembali ke kasus saya dan Esza, ketika saya memberi ia tantangan, padahal saya tahu, Ia belum pernah punya pengalaman membuat Denah, kira-kira apa yang sebenarnya ingin saya buktikan. Apakah saya hanya ingin mempermalukannya? Membuktikannya ia memang tidak bisa melakukan;  Apakah saya hanya ingin memotivasinya agar memiliki kemampuan dan pengalaman baru? Atau jangan-jangan saya tidak punya opsi lain, selain memintanya mengerjakan tantangan ini.

Pertanyaan-pertanyaan diatas tentunya patut kita gali ketika mendapat tantangan yang se-‘olah-olah’ di luar batas kemampuan kita.  Memahami dengan baik misi ‘pemberi tantangan’ akan mempermudah kita dalam merespon dan menentukan arah dan strategi menghadapi tantangan tersebut. Selain akan bisa mengelola dengan baik energi emosi kita, dan tidak sekedar menerima tantangan karena ‘emosional’, kita juga akan bisa menerima tantangan dengan kesadaran dan penuh pertimbangan. Sehingga, keputusan yang kita ambil benar-benar sesuai dengan ‘misi personal’ kita.

Bagaimanapun juga, kita berkepentingan untuk mendapat manfaat ‘secara pribadi’ dari sebuah tantangan. Pantang bagi kita, jika menjalani tantangan hanya untuk memenuhi tercapaiknya ‘misi’ si ‘pemberi tantangan’. #gusrowi



Friday, June 12, 2015

Terbuka dengan Respon yang Berbeda

“Ayah, kemarin Nafa ditanya Amel, antara Amel dan Lia, siapa yang Nafa pilih sebagai teman? Terus apa Jawabmu? Tanyaku. Nafa milih dua-dua nya, Nafa gak mau milih. Nafa milih semuanya.” Sebagai orang tua, tentu ada kebanggan tersendiri mendengar jawaban seperti ini.  Bahwa berteman itu dengan siapa saja, dan hendaknya tidak pandang bulu, sepanjang tujuannya adalah untuk kebaikan dan silaturahmi.

Peristiwa ini mengingatkan saya kembali ke tahun 1995, atau hampir 20 tahun silam. Ketika untuk pertama kalinya saya menulis di kolom kecil sebuah harian di Yogyakarta. Pada waktu itu saya menulis artikel dengan judul “Memilih Pergaulan Ideal”. Untuk ini saya mendapat honor 10 ribu. Uang yang tidak ada apa-apanya di zaman ini, namun sangatlah bermakna di tahun itu, apalagi di Yogyakarta. Uang 10 ribu bisa untuk makan 4 hari untuk ukuran anak kos kayak saya.

Saking bangganya, karena nama saya terpampang di media massa untuk pertama kalinya, dan membayangkan tulisan saya dibaca oleh orang se-antero Yogyakarta (meski tentu saja tidak benar adanya hehe). Saya menempelkan tulisan tersebut di dinding kamar, untuk selalu mengingatkan dan sebagai penyemangat agar lebih rajin menulis lagi. Tetapi, ternyata tidak mudah untuk menulis lagi, dan saya harus berjibaku lama sekali, sampai kemudian menjadikan menulis sebagai penopang untuk nambah uang jajan dan beli buku di Yogyakarta.

Kembali ke tulisan saya, beberapa minggu setelah tulisan saya dimuat, saya mendapatkan surat dari seseorang yang tidak setuju dengan apa yang saya tulis. Di satu sisi, ketika menerima surat tersebut, saya merasa terhormat, karena benar-benar ada yang membaca tulisan saya. Di sisi lain, saya juga merasakan pengalaman yang berbeda, ketika ide saya dikritik dan ada orang yang tidak sependapat dengan apa yang saya tuangkan dalam tulisan tersebut.

Saat itu, memang saya menulis tentang bagaimana idealnya memilih pergaulan. Tidak asal bergaul, dan benar-benar harus mempertimbangkan sisi positif dan negatifnya. Itulah yang tidak disetujui oleh si pengirim surat, bahwa bergaul tidak boleh pilih-pilih. Karena pada dasarnya tidak ada pergaulan yang salah, dengan siapapun kita berteman dan bergaul, sangatlah tergantung diri kita sendiri, sejauh apa kita akan bergaul dan berteman. Dan dalam hal apa saja kita akan berteman. Selama tidak saling menjerumuskan dan menghianati, bergau dan berteman dengan siapapun tidak akan menjadi masalah.

Apa respon saya waktu itu? Pertama, saya merasa tidak mengenal orang itu. Kedua, saya tidak perlu memperdulikan apa kata orang tersebut. Ketiga, toh saya sudah dapat honor, peduli amat tulisan saya dikritik. Selanjutnya, saya cenderung melihat kelemahan dari isi kritik orang tersebut, ketimbang memahaminya sebagai sebuah sudut pandang lain dari cara melihat sebuah persoalan. Intinya, saya lebih memilihi memasang ‘tembok’ di depan saya untuk mengantisipasi segala hal yang berujung pada ‘pembenaran’ terhadap apa yang ia katakan tentang saya, sambil meyakinkan diri, bahwa apa yang saya tulis benar dan sudah semestinya.

Padahal, ketika si pengirim surat tersebut mencurahkan pikirannya untuk menulis surat, memberikan pandangannya, dan mengirimkan kepada saya, menunjukkan adanya ‘perhatian’ serius dengan apa yang saya tulis. Ada ruang interaksi dan dialog yang coba dibangun, yang jika saya manfaatkan dengan baik, akan memberikan  pemahaman, pengalaman dan sudut pandang baru baik buat saya maupun si penulis surat. Sebuah ruang yang saya lewatkan saat itu. Alih-alih menjadikan surat tersebut sebagai bahan refleksi, saya justru mengabaikannya, dan tidak membalasnya.

Lalu apa kaitanya dengan cerita Nafa diatas? Saya melihat tentang pentingnya ‘keterbukaan’ untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan siapapun. Keterbukaan sebagai  langkah awal untuk mempertimbangkan proses berteman selanjutnya. Jika, sejak awal sudah menutup diri dan tidak terbuka dengan potensi-potensi pertemanan dan pergaulan, jangan harap kita akan memiliki cukup pengalaman  dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan banyak orang. Ketika kita sudah mem-blocking diri kita dari dunia di sekitar kita, akibatnya, sikap-sikap anti kritik, defensif, mencari pembenaran pribadi, dan kuper¸ sangatlah potensial menghampiri.

Dengan sikap terbuka, kita akan mempermudah proses yang harus kita jalani dalam menghadapi berbagai perbedaan, kritik, masukan dan feedback dari orang lain. Tentu, proses keterbukaan ini juga harus diikuti dengan sikap ‘jujur’ mengakui apa yang sebenarnya kita yakini dan juga lakukan. #gusrowi.  

Sunday, June 7, 2015

Hanya Butuh Jujur untuk Menjadi Ori

“Apakah ketika anda sedang merumuskan kebijakan, atau sedang menjalankan berbagai fungsi sebagai anggota dewan, anda selalu memberikan ruang di pikiran anda tentang “Apa manfaatnya buat rakyat?”, atau “Apakah kebijakan ini benar-benar mewakili kepentingan rakyat?”

Merespon pertanyaan saya di atas, hampir semua partisipan pelatihan menjawabnya dengan gaya khas ‘politisi’. “Kita harus selalu mempertimbangkan kepentingan rakyat dong. Itu harus dan wajib dilakukan.” Saya pun mempertajam pertanyaan, “Apakah anda melakukannya?”. Kebanyakan dari mereka tetap menjawab “Itu harus dilakukan”. Saya lanjutkan mengejar jawaban mereka, “Saya bertanya tentang Apakah anda melakukan atau tidak, dan bukan jawaban seharusnya dilakukan atau tidak”. Satu persatu kemudian saya tanya, sampai kemudian ada yang menjawab “Sangat jarang sekali kami melakukan Itu”, yang kemudian di-amin-i oleh semua partisipan.

Hal yang menarik dari cerita tersebut adalah jawaban ‘mbulet’ mereka. Pertanyaan tentang ‘apa yang mereka lakukan’, dijawab dengan pertanyaan ‘apa yang seharusnya mereka lakukan’. Mengapa jawaban-jawaban tersebut dominan? Apakah ini satu gaya lumrah seorang politisi yang mementingkan ‘pencitraan’ dan ‘branding’ dari pada kerja nyata yang sesungguhnya?

Satu hal yang sangat jelas disini adalah isi jawaban mereka tidaklah ‘orisinil’. Pada awalnya mereka nyaman dengan jawaban-jawaban yang cenderung tidak memperlihatkan siapa diri mereka sebenarnya. Dengan tidak mengakui apa yang sebenarnya mereka lakukan, sama artinya mereka tidak jujur dengan diri mereka sendiri. Karena, apa yang mereka katakan tidak sejalan dengan apa yang sebenarnya mereka lakukan.

Saya meyakini, pola-pola yang tidak mengindahkan ‘keaslian’ diri kita demi dipersepsikan sebagai orang ‘baik’, ‘amanah’ dan ‘bisa dipercaya’, sering menggoda kita untuk melakukannya. Godaan tentang nikmatnya perasaan bahagia ketika mendapat puja dan puji dari orang lain karena berhasil memenuhi ‘ekspektasi’ mereka, ataupun godaan adanya keuntungan atas apa yang kita ‘tampil’ dan ‘citrakan’ kepada orang lain.

Padahal, jika kita dalami, ketika kebahagiaan itu muncul karena hanya mengikuti dan memenuhi ‘ekpektasi’ orang lain, sama saja kita sedang mengorbankan apa yang sebenarnya menjadi ‘kepentingan’ diri kita sendiri. Disinilah yang terkadang tidak kita sadari. Kita tidak menjadi ‘diri kita sendiri’, dan seolah-olah sedang menjalani peran dan sosok yang diidealkan oleh orang lain.

Menjadi pribadi yang orisinil artinya menjadi pribadi yang ketika melakukan sesuatu didasarkan pada apa yang ia yakini. Ia tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya. Baginya, kejujuran tidak saja dalam kata dan perbuatan. Namun, kejujuran harus dimulai dari dasar hati yang paling dalam, sehingga bisa membawa kebaikan dalam kata dan perbuatan.

Memang, menjadi pribadi yang ORI sangatlah besar cobanya. Meskipun kita tahu, kata kuncinya adalah kejujuran diri kita, siapapun pasti setuju jika jalan terjal selalu siap menghalangi kita untuk bisa menjadi pribadi yang jujur. Tetapi, karena tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, jika kita sangat yakin dengan tekad kita menjadi ORI, maka terus mencoba dan berusaha adalah strategi melawan halangan dan rintangan yang ada. #gusrowi


Saturday, June 6, 2015

Sukarelawan Itu "Gak Itungan"


Mendengar kata "sukarela" apa yang anda pikirkan? Sederat respon tentunya membentang. Mulai dari tanpa paksaan, atas kemauan sendiri hingga tak mendapat imbalan apapun. Orang-orang yang melakukan ini biasa disebut sukarelawan.

Seorang sukarelawan menjalani misinya dengan landasan keikhlasan, dan tak sekalipun mengharapkan imbalan dari apa yang ia lakukan. Bagi sebagian orang, menjadi sukarelawan juga merupakan gaya hidup. Artinya, "ke-sukarelawan-an" sudah menjadi kebutuhan dan sarana untuk ‘aktualisasi diri’. Tidak ada lagi di benak mereka pikiran tentang berapa banyak yang mereka berikan dan akan mereka dapatkan.

Karena itu, ke-sukarelawan-an membutuhkan ketahanan mental (mental endurence) yang kuat dalam menghadapi cobaan dan tantangan. Ia harus siap menghadapi situasi dimana ia lebih banyak "memberi" di banding "menerima"; menjadi pihak yang lebih berkorban; menjadi pihak yang kurang mendapatkan perhatian dan apresiasi; dan menjadi pihak yang harus selalu mengedepankan pola pikir "apa yang bisa aku perbuat?” dan bukan “apa yang akan aku dapatkan?". 

Semangat ke-sukarelawan-an karenanya tidak bisa bersanding harmonis dengan sikap-sikap "itungan". "Aku kan sudah melakukan ini dan itu, berkorban banyak hal untuk ini dan itu, tapi apa balasan yang aku dapat?" Hal-hal yang memicu munculnya perasaan "makan ati" semacam ini akan sering dihadapi oleh siapapun yang masuk ke ranah  kerja-kerja ke-sukarelawan-an. 

Hanya orang-orang yang memiliki "ketahanan mental" yang kokoh, tidak mudah putus asa, tahan banting, terbiasa dengan perbedaan dan sikap kritis, dan tahan godaan "itungan"-lah yang akan keluar sebagai “sukarelawan” sejati. Bagi mereka, apapun dampak positif dari “ke-sukarelawan-an” (yang mereka dedikasikan) bagi dirinya secara pribadi, bukanlah capaian yang menjadi fokus mereka. 

Jika kita sudah memantapkan hati untuk menjadi ‘sukarelawan’, idealnya kita bersiap-siap menjadi pribadi yang ikhlas, tanpa pamrih, dan mengedepankan kepentingan tercapainya misi yang diemban, dibanding kepentingan yang bersifat pribadi. Karena, jika kita bias dengan ke-sukarelawan-an kita, dan kepentingan pribadi banyak mendominasi, maka bisa dipastikan kita telah mereduksi dan mengurangi ke-bermanfaat-an dari apa yang kita lakukan buat orang lain dan atau sesama. Dan kita tidak bisa lagi mengklaim diri kita sebagai seorang ‘sukarelawan’.  

Ke-sukarelawan-an itu tentang berbuat dan bermanfaat buat orang lain. Dengan membiasakan terlibat dalam aktivitas dan kegiatan yang bersifat ‘sukarela’, maka sebenarnya kita tengah berproses meningkatkan level ke-bermanfaat-an kita buat orang lain. Sebagaimana yang sering kita dengar dan baca, “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat buat orang lain”.  Saya sepenuhya meyakini ini, dan semoga demikian juga dengan anda.  

Ayo! pastikan kita menyisihkan sebagian waktu kita untuk kegiatan yang bersifat sukarela! Semampu yang kita bisa, apapun itu pasti bermanfaat. #gusrowi


Wednesday, June 3, 2015

"Selfie” Sambil Introspeksi, Mungkinkah?

Ketika menikmati teh-jahe kesukaan di salah satu angkringan di kota gudeg tanpa sengaja, mata saya melihat ada seorang perempuan, kemungkinan seorang mahasiswi, yang sedang asyik ber-selfie ria dengan gadget-nya. Seketika itu juga saya tertarik dengan apa yang ia pikirkan ketika berselfie ria.  
Apa yang ia lihat ketika ber-selfie? Apakah dia hanya sekedar bercermin dan tertarik melihat wajahnya? Apa yang menjadi fokusnya?, Hal-hal yang baik dari wajahnya? Hal yang kurang pas? atau dua-duanya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa saya menyandingkan kata ‘selfie’ dan ‘introspeksi’. Dua kata yang mirip maknanya, meskipun tidak dalam “keadalaman artinya”. Selfie dan introspeksi sama-sama berusaha melihat ke diri kita. Melihat apa yang ada pada kita. Bedanya, selfie hanya pada tataran permukaan, dan apa yang nampak nyata, sedangkan introspeksi “lebih dalam” lagi melihat apa yang ada di ‘dalam diri’ kita. Selain itu, di dalam introspeksi ada unsur ‘refleksi’ yang bertujuan melihat ke dalam diri kita tentang apa yang telah kita lakukan, dan apa yang bisa dilakukan untuk bisa memperbaiki diri.

Pertanyaan iseng saya, apakah orang yang suka ber-selfie juga memiliki kebiasaan melakukan “introspeksi’ diri? Tentunya, perlu penelitian yang mendalam untuk mendapatkan jawabannya. Saya hanya ingin ber-andai-andai, jika hobi selfie juga diimbangi dengan kebiasaan melakukan introspeksi diri, saya kok meyakini, orang tersebut akan menjelma sebagai sosok manusia yang ‘dewasa’ dan ‘bijak’. Di setiap dia ber-selfie, dia tidak hanya melihat apa yang nampak di wajahnya. Tetapi, dia juga memperlakukannya sebagai cermin dirinya.

Ia pun menemani saat-saat dia menikmati wajahnya di dalam cermin tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan  introspektif, misalnya;  Apa hal baik yang sudah aku lakukan hari ini? Apa yang aku cari? Apa yang perlu aku tingkatkan dari caraku bersosialisasi? Apa tujuan hidupku? Apa Motivasi Hidupku? Apa yang membahagiakanku? Dan Sebagainya.  Pertanyaan-pertanyaan tersebut, ketika sedang berselfie atau tidak saya yakin sangat membantu kita untuk selalu bisa berintrospeksi tentang siapa diri kita, dan apa tujuan hidup yang kita jalani.  


“Selfie” dan “Introspeksi” adalah saat-saat “me time” diri kita, ataupun  seperti kata seorang teman, ia merupakan saat-saat ketika kita ‘egois’ dengan diri kita. Suatu moment yang sangat sayang jika dilewatkan begitu saja tanpa pelajaran dan pembelajaran apapun tentang ‘diri kita’. Jadi, mari berselfie, sambil tidak melupakan pentingnya introspeksi.   #gusrowi.

Tuesday, June 2, 2015

Mahalnya "Motivasi Berprestasi"

“Jika kamu masuk 3 besar juara kelas, maka Ayah akan mengabulkan permintaanmu untuk menambah RAM komputermu.”

Ini adalah percakapan dengan anak sulung saya beberapa hari lalu menjelang UAS. Percakapan semacam ini saya yakin, sering terjadi dan dialami oleh para orang tua. Terlepas cara demikian tidak tepat dilakukan jika tujuannya untuk memotivasi anak agar belajar lebih giat lagi, nyatanya banyak orang yang masih percaya cara seperti ini bisa berhasil.

Dalam kasus yang saya alami, walau saya tahu anak saya begitu menginginkan untuk bisa membeli RAM komputer, agar komputernya tidak lemot ketika dipakai bermain game, ternyata ketika UAS datang, semangat belajarnya-pun biasa-biasa saja. Saya melihat tidak ada korelasi antara keinginan mendapatkan hadiah dengan upaya komitmen untuk mewujudkannya. Gejala apa ini?

Tentu fenomena demikian berbeda dengan masa kecil saya di tahun 80-an. Dimana, dorongan untuk berprestasi dalam segala hal begitu kuatnya.  Mulai dari kegiatan sekolah, berlomba menjadi juara kelas, bahkan dalam hal-hal yang berbau agama sekalipun. Saya masih ingat, ketika saya masih SD, rasanya “begitu gembira” ketika di bulan ramadhan, ada temen saya yang ‘bolong’ puasanya, sehingga tidak bisa menyelesaikan puasanya sebulan penuh. Bagaimana dengan sekarang?  Apa yang membedakan motivasi berprestasi berbeda?

Saya teringat tulisan Reinald Kasali yang menyatakan bahwa faktor distraction (gangguan) yang jauh lebih dahsyat menyebabkan anak generasi sekarang lebih kesulitan untuk bisa fokus dan berkonsentrasi. Ketika semua akses ke berbagai sumber infomasi begitu mudah dijangkau. Ketika semua fasilitas bermain begitu mudah didatangkan ke rumah dan ke kamar. Maka, potensi ‘gangguan’ menjadi semakin besar, sehingga berpengaruh terhadap cara memotivasi mereka untuk berprestasi. Jika dulu, motivasi berprestasi sangat mudah disulut dengan pendekatan ‘kompetitif’, atau dengan membanding-bandingkan dengan yang lain. Maka, saat ini, cara tersebut mungkin tidak lagi ideal.

Bagi saya, berprestasi memang merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Maka, motivasi untuk beprestasi sebenarnya selalu ada pada diri kita. Hanya saja, levelnya yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Motif untuk beprestasi tidak harus disulut dengan cara membanding-bandingkan dengan orang lain, diraih melalui sebuah kompetisi, ataupun melalui proses mengalahkan orang lain.  Prestasi bisa dimaknai secara lebih sederhana sebagai sebuah pencapaian pribadi dalam meraih apa yang kita inginkan. Benang merahnya adalah adanya misi yang ingin diraih, didukung dengan kemauan dan komitmen untuk mewujudkannya. Karena, apapun misi berprestasi kita, tanpa didukung oleh motivasi kita untuk mewujudkannya hasilnya pasti NOL.

Tantangan terberat saat ini adalah, bagaimana memelihara ‘Motivasi Beprestasi’ kita agar terus ‘on fire’? Salah satunya harus dilewati dengan kemampuan beradaptasi dengan segala ‘gangguan’ yang menghalangi kita untuk bisa fokus dan berkomitmen dengan prioritas kita. Kembali ke cerita saya di awal, mencari cara-cara kreatif untuk memotivasi belajar, mendefinisikan ulang makna ‘prestasi’ yang sesuai dengan zaman ini, dan tidak memaksakan cara-cara “kuno”  adalah beberapa hal yang bisa saya lakukan.

“Sesulit Apapun Kita Berprestasi; Sesering Apapun Kita Mencoba Meraihnya; Tak Sedetikpun “Motivasi Berprestasi” Kita Biarkan Pergi Dari Diri Kita”#gusrowi



Saturday, May 30, 2015

"Jangan Pernah Meremehkan Keadaan !!!"

"Situasinya seolah serba tidak memungkinkan. Seolah tak ada lagi jalan keluar. Opsi solusi pun sangat sulit dimunculkan. Namun, hal-hal yang tak terduga datang dan tiba-tiba opsi-opsi jalan keluar pun terhampar luas di depan mata." 

Pernahkah anda mengalami situasi demikian? Sedang menghadapi deadline pekerjaan, sementara masih banyak PR yang belum terselesaikan; sudan jatuh tempo membayar cicilan atau tagihan, sementara belum ada sepeserpun uang di tangan; ataupun memiliki rencana yang sudah matang, tiba-tiba semuanya terancam gagal berantakan. 

Menghadapi situasi demikian yang paling sering muncul dan kita alami tentu saja "panik" dan "ketidaknyamanan" perasaan. Apalagi, jika kita termasuk orang yang bertanggungjawab, maka rasa bersalah jika tidak bisa menunaikan kewajiban dan tanggungjawab akan terasa begitu menghantui. 

Memang, se-panik dan se-stress apapun, kita dituntut untuk terus kreatif melakukan berbagi simulasi dalam mencari jalan keluar yang baik dan bertanggungjawab. Tentunya, sambil mengiringinya dengan keyakinan bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, dan badai-pun pasti akan berlalu pada akhirnya. 

Dalam situasi tersebut, kita juga tidak dianjurkan untuk  "meremehkan" sedikitpun keadaan yang kita alami. Se-putus asa apapun kita, hendaknya kita tidak memandang sebelah mata setiap opsi yang muncul sebagai  jalan keluar. Kita  juga tidak dianjurkan untuk "meremehkan" keadaan dengan meyakini dan menghakimi seolah "tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan keadaan."

Sikap meremehkan, ditambah pola pikir "tidak meyakini" adanya jalan keluar dari situasi yang ada, hanyalah akan menambah situasi dan keadaan semakin memburuk dan menjauhkan kita  dari menemukan solusi yang terbaik. Idealnya, keyakinan kita akan terselesaikannya masalah, didukung dengan keyakinan bahwa: "Apapun (baik atau buruk) bisa terjadi, dan bisa dialami oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun". 

Karena kita memilih hal "baik" agar terjadi pada diri kita, maka opsi yang kita milki, tak lain dan tak bukan, hanyalah "meyakininya" akan hadir menghampiri kita.  #gusrowi. 




Thursday, May 28, 2015

"Putus Asa ala Joni"

"Sudah 3 tahun terakhir menjadi Joki 3 in 1 di sore hari, dan tukang parkir di pagi hari. Joni, 33 Tahun, belum menikah, yang menyesal tidak menamatkan SMA-nya, berkali-berkali mengeluh putus asa dengan hidupnya. Alasan perut yang membuatnya dia harus tetap bertahan." 

Apa yang anda lakukan jika sedang merasa sangat "putus asa"? Walau ajaran agama manapun mengajarkan agar kita tidak mudah berputus asa, nyatanya tidak mudah kita meng-handle rasa ini ketika datang mendera. 

Seringkali kita diajarkan agar melihat ke bawah dan tidak ke atas untuk menimbulkan efek "syukur", bahwa ada orang-orang yang kurang beruntung dibanding kita. Sehingga kita patut dan layak mensyukuri keadaan kita saat ini. Bagaimana dengan orang-orang yang merasa tidak memiliki apapun untuk dijadikan alasan bersyukur? 

Selama hampir 1 jam ngobrol dengan Joni, saya berusaha untuk membantunya melihat apa yang bisa ia syukuri dari keadaannya. Saya juga mencoba menggali hal-hal yang bisa membuat dia "menyatakan" bahwa ia masih bisa bersyukur dengan keadaannya. Namun, tak sepatah kata "syukur" keluar dari mulutnya. Baginya, beban hidup dan kerasnya Jakarta sudah membuatnya tidak memiliki harapan masa depan yang lebih baik lagi. 

Ketika saya singgung, kenapa tidak "mati saja", jika memang sangat putus asa dan tidak merasa memiliki masa depan? Dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Meskipun, tidak juga muncul di mulutnya, alasan "positif" yang membuatnya masih ingin bertahan hidup. 

Saya teringat kata-kata seorang Kyai pendiri Pondok Gontor di Ponorogo: "Hidup tak takut mati; Takut Mati Jangan Hidup: Takut Hidup Mati Saja". Dari sini, walaupun saya gagal membuatnya melihat sisi "positif" darinya dan hidupnya, setidaknya, Joni bukan orang yang "takut mati". 

Sesulit apapun hidupnya; seputus asa apapun ia mencari sesuap nasi tiap hari; dan se-menyesal apapun ia dengan cerita masa lalunya; ia masih bertahan hidup dan tak mau "mati" merenggutnya karena alasan "perut". Joni, walau lebih sering bilang putus asa sepanjang perjalanan, nyatanya tetap semangat bertahan hidup. 

Senyum dan tawa kami sepanjang jalan Sudirman sore itu, semoga memberikannya sedikit "hiburan" di tengah Jakarta yang semakin tidak "manusiawi" baginya. Kalau ketemu Joni lagi, saya akan mencoba sekali lagi untuk bisa membuatnya menyebut "saya masih bersyukur". Semoga Bisa. #gusrowi.