Saturday, July 18, 2015

Lebaran dan Silaturahmi yang "Terpaksa"

Lebaran dengan tradisi silaturahminya mengingatkan saya pada kuadran manajemen waktu-nya Steven Covey. Merujuk pada 4 kuadrannya, saya mengkategorikan silaturahmi ke dalam kuadran “Penting”, meskipun “Tidak Mendesak” untuk dilakukan.

Mengapa silaturahmi itu “penting”? Siapapun tidak ada yang meragukan manfaat bersilaturahmi. Agama-pun juga memberi penegasan tentang manfaatnya. Silaturahmi, selain menjaga hubungan sosial dan kekeluargaan dengan orang-orang terdekat, juga menjadi ajang untuk menambah kenalan, teman dan jaringan sosial baru. Hal-hal semacam ini bisa membawa dampak positif dalam membuka peluang-peluang saling bekerjasama dan saling memanfaatkan (yang saling menguntungkan) di kemudian hari. Saya yakin, banyak sudah contoh-contoh tentang ini.

Adalah wajar jika kemudian banyak yang mengingatkan, agar kita menjaga silaturahmi dengan siapapun, apalagi dengan orang-orang yang mempunyai peran di dalam hidup kita. Di saat yang sama, kita juga dianjurkan untuk menjaga dan merawat silaturahmi dengan siapapun, bahkan dengan orang-orang yang ‘seolah-olah’ tidak ada pengaruhnya terhadap diri dan hidup kita. Intinya, tidak ada ruginya dalam bersilatuhami.

Silaturahmi yang ideal bertujuan untuk membangun hubungan sosial-kekeluargaan, dan bukan berdasarkan pamrih-pamrih kepentingan tertentu yang bersifat ‘oportunistik’. Karena silaturahmi semacam ini kayaknya tidak akan bertahan dalam jangka panjang, karena sarat kepentingan-kepentingan pribadi yang instan.

Jika melihat manfaat yang ada, mengapa silaturahmi “Tidak Mendesak” untuk dilakukan? Melakukan silaturahmi bisa dilakukan kapanpun, dimanapun dan dan dengan siapapun. Apalagi di zaman ini, banyak sekali media yang bisa memfasilitasi kita untuk bersilaturahmi. Tanpa harus menunggu lebaran, silaturahmi bisa tetap kita jalankan sepanjang Tahun.

Namun, kemudahan-kemudahan yang ada tidak menjadikan sebagian besar dari kita untuk memanfaatkannya dengan baik. Kita lebih suka menunggu lebaran untuk sekedar bertegur sapa dengan teman dan sana famili di kampung halaman. Atau, kita lebih suka menunda silaturahmi, karena kita merasa bisa melakukannya dengan mudah jika kita mau. “Ah.. besok juga bisa”, “Ah..lebaran juga ketemu”, dan “Ah..Ah” lainnya.

Sifat ke-tidak mendesak-an ini ternyata justru membuat kita ‘terlena’, hingga tanpa kita sadari, waktu berjalan begitu cepat, dan akhirnya sampailah “Lebaran”, saat dimana kita merasa ‘terpaksa’, karena kita merasa “harus” bersilaturahmi. Selama setahun kita tidak pernah ‘menabung’ silaturahmi apapun. Maka, lebaran-pun menjadi ajang satu-satunya untuk bersilaturahmi. Disinilah, manfaat penting ‘silaturahmi’ menjadi kurang. Karena kita memperlakukannya secara ‘tidak penting’ dan justru menjadikannya terasa ‘mendesak’ untuk dilakukan ketika lebaran tiba.

Idealnya, setelah meyakini manfaat silaturahmi, kita tidak pernah lagi menyianyiakan setiap peluang bersilaturahmi yang ada di depan kita. Manfaatnya begitu banyak, dan karenanya sangat penting untuk dilakukan sebanyak mungkin. Karena sifatnya yang ‘tidak mendesak’, maka kita bisa mengelolanya dengan menjadikannya sebagai aktivitas menyenangkan yang kita lakukan secara rutin seminggu sekali, sebulan sekali, dan yang pasti bukan setahun sekali. Kita tidak mau kan dianggap “mau bersilaturahmi” jika pas “Ada maunya” saja?

Maka, mari terus belajar menjadikan silaturahmi sebagai ‘gaya hidup’ kita sehari-hari, dan bukan sebagai gaya hidup ‘tahunan’ di saat lebaran  datang. Selamat menikmati Lebaran!  #gusrowi




No comments:

Post a Comment