“Mudik itu yang mudik, pulang kampung ketemu orang tua dan silaturahmi
dengan keluarga. Sesederhana itu, saya kira.” Ini yang saya pikirkan sewaktu
saya belum menjadi perantau seperti sekarang ini. Namun, melihat begitu banyak
yang harus dicurahkan untuk mudik, saya punya anggapan berbeda, bahwa Mudik itu
tidak se-sederhana adanya.
Hari-hari terakhir Ramadhan ini pertanyaan-pertanyaan: Mudik apa tidak?
Kapan mudik?, Mudik kemana?, berapa lama akan di kampung halaman?, dan Kapan
bakal kembali? Banyak kita temui. Baik kita sebagai orang yang bertanya, maupun
kita sebagai orang yang ditanya. Setidaknya inilah ‘magic word’ yang kebanyakan
orang merasa ‘senang’ dan ‘nyaman’ mendiskusikannya. Diskusi ini mengisi ruang
sedikit ruang, sebelum orang-orang lebih kenceng lagi ngomongin tentang ucapan “Selamat
Mudik”, “TITI DJ (Hati-hati di Jalan)”, Selamat Sampai Tujuan! , dan tentunya Ucapan
Selamat Lebaran itu sendiri.
Ada banyak alasan mengapa orang mudik. Sebagian besar tentunya bersilaturahmi
dan berkumpul dengan keluarga terdekat, seperti orang tua, di kampung halaman.
Bagi yang tidak lagi memiliki orang tua di kampung halaman, adanya keluarga
yang masih di-tua-kan menjadi alasan berikutnya.
Sebaliknya, greget mudik kurang ‘terasa’ jika tidak ada lagi orang tua
ataupun yang di’tua’kan di kampung halaman. Tentunya, faktor umur juga bisa
menjadi alasan lain, semakin berumur, semakin menurun greget orang untuk mudik.
Selain faktor fisik yang tidak lagi
prima untuk menempuh perjalanan jauh, faktor biaya, tidak adanya orang-orang di
kampung halaman yang masih dikenal menjadi alasan, mudik tidak lagi terasa ‘diperlukan.’
Tujuan utama mudik biasanya tak jauh dari silaturahmi,
kangen-kangen-an, dan sungkem orang tua. Namun, bukan berarti ada tujuan-tujuan
lain yang disisipkan ketika mudik. Mulai dari: Mengenalkan kepada anak-anak
tentang pentingnya berbakti kepada orang tua, sehingga menempuh perjalanan jauh
sekalipun bukan halangan untuk dilakukan; Reuni untuk bertemu dengan
kawan-kawan di waktu kecil; Berbagi cerita tentang kesuksesan hidup di
perantauan; dan masih banyak lagi.
Melihat begitu banyak yang harus dicurahkan, mulai dari waktu, tenaga,
pikiran, dan biaya, seyogyanya energi, greget dan semangat mudik tidak habis di
perjalanan. Karena, sesampainya di kampung halaman-lah esensi tujuan dari mudik
baru dimulai. Memang, banyak yang bilang, semua kecapekan, kelelahan dan
kepenatan akan hilang ketika kita bisa bertemu keluarga dan orang tua di rumah.
Namun, alangkah lebih baiknya jika mudik yang kita lakukan juga memiliki
totalitas dalam melakukannya.
Yang saya maksud dengan totalitas disini adalah kejelasan tentang apa
tujuan, dan manfaat yang ingin kita dapatkan selama mudik. Kejelasan tentang 2
hal ini juga didukung oleh keseriusan dan komitmen untuk mewujudkannya. Saya
melihat hal-hal demikian tidak banyak melintasi pemikiran para pemudik.
Sebagaimana saya tulis di bagian awal tulisan, bahwa mudik tidak
se-sederhana yang dibayangkan. Banyak sekali persiapan yang dibutuhkan, fisik
maupun mental. Jika ini tidak diimbangi dengan kejelasan tujuan mudik itu
sendiri, tentunya akan sayang sekali. Tanpa keinginan kuat menggapai makna dan
manfaat silaturahmi selama di kampung halaman, bisa jadi, mudik yang kita
lakukan hanyah ritual tahunan yang kita ikuti, tanpa kita pernah pikirkan apa
yang sebenarnya bisa kita manfaatkan bagi diri kita.
Mari berbahagia dengan mudik lebaran tahun ini, sejauh apapun dan
sedekat apapun mudik yang kita lakukan. Tujuan yang jelas, dan gambaran indah
manfaat silaturahmi yang akan kita lakukan, saya yakin akan menambah semangat kita
untuk menjalaninya. Semoga kita termasuk orang-orang yang tidak menyia-nyiakan
manfaat dan keberkahan Mudik yang kita lakukan. Selamat Mudik!. #gusrowi.
No comments:
Post a Comment