Tuesday, June 2, 2015

Mahalnya "Motivasi Berprestasi"

“Jika kamu masuk 3 besar juara kelas, maka Ayah akan mengabulkan permintaanmu untuk menambah RAM komputermu.”

Ini adalah percakapan dengan anak sulung saya beberapa hari lalu menjelang UAS. Percakapan semacam ini saya yakin, sering terjadi dan dialami oleh para orang tua. Terlepas cara demikian tidak tepat dilakukan jika tujuannya untuk memotivasi anak agar belajar lebih giat lagi, nyatanya banyak orang yang masih percaya cara seperti ini bisa berhasil.

Dalam kasus yang saya alami, walau saya tahu anak saya begitu menginginkan untuk bisa membeli RAM komputer, agar komputernya tidak lemot ketika dipakai bermain game, ternyata ketika UAS datang, semangat belajarnya-pun biasa-biasa saja. Saya melihat tidak ada korelasi antara keinginan mendapatkan hadiah dengan upaya komitmen untuk mewujudkannya. Gejala apa ini?

Tentu fenomena demikian berbeda dengan masa kecil saya di tahun 80-an. Dimana, dorongan untuk berprestasi dalam segala hal begitu kuatnya.  Mulai dari kegiatan sekolah, berlomba menjadi juara kelas, bahkan dalam hal-hal yang berbau agama sekalipun. Saya masih ingat, ketika saya masih SD, rasanya “begitu gembira” ketika di bulan ramadhan, ada temen saya yang ‘bolong’ puasanya, sehingga tidak bisa menyelesaikan puasanya sebulan penuh. Bagaimana dengan sekarang?  Apa yang membedakan motivasi berprestasi berbeda?

Saya teringat tulisan Reinald Kasali yang menyatakan bahwa faktor distraction (gangguan) yang jauh lebih dahsyat menyebabkan anak generasi sekarang lebih kesulitan untuk bisa fokus dan berkonsentrasi. Ketika semua akses ke berbagai sumber infomasi begitu mudah dijangkau. Ketika semua fasilitas bermain begitu mudah didatangkan ke rumah dan ke kamar. Maka, potensi ‘gangguan’ menjadi semakin besar, sehingga berpengaruh terhadap cara memotivasi mereka untuk berprestasi. Jika dulu, motivasi berprestasi sangat mudah disulut dengan pendekatan ‘kompetitif’, atau dengan membanding-bandingkan dengan yang lain. Maka, saat ini, cara tersebut mungkin tidak lagi ideal.

Bagi saya, berprestasi memang merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Maka, motivasi untuk beprestasi sebenarnya selalu ada pada diri kita. Hanya saja, levelnya yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Motif untuk beprestasi tidak harus disulut dengan cara membanding-bandingkan dengan orang lain, diraih melalui sebuah kompetisi, ataupun melalui proses mengalahkan orang lain.  Prestasi bisa dimaknai secara lebih sederhana sebagai sebuah pencapaian pribadi dalam meraih apa yang kita inginkan. Benang merahnya adalah adanya misi yang ingin diraih, didukung dengan kemauan dan komitmen untuk mewujudkannya. Karena, apapun misi berprestasi kita, tanpa didukung oleh motivasi kita untuk mewujudkannya hasilnya pasti NOL.

Tantangan terberat saat ini adalah, bagaimana memelihara ‘Motivasi Beprestasi’ kita agar terus ‘on fire’? Salah satunya harus dilewati dengan kemampuan beradaptasi dengan segala ‘gangguan’ yang menghalangi kita untuk bisa fokus dan berkomitmen dengan prioritas kita. Kembali ke cerita saya di awal, mencari cara-cara kreatif untuk memotivasi belajar, mendefinisikan ulang makna ‘prestasi’ yang sesuai dengan zaman ini, dan tidak memaksakan cara-cara “kuno”  adalah beberapa hal yang bisa saya lakukan.

“Sesulit Apapun Kita Berprestasi; Sesering Apapun Kita Mencoba Meraihnya; Tak Sedetikpun “Motivasi Berprestasi” Kita Biarkan Pergi Dari Diri Kita”#gusrowi



No comments:

Post a Comment