“Jika kamu masuk 3 besar juara kelas, maka Ayah akan
mengabulkan permintaanmu untuk menambah RAM komputermu.”
Ini adalah percakapan dengan anak sulung saya beberapa hari
lalu menjelang UAS. Percakapan semacam ini saya yakin, sering terjadi dan
dialami oleh para orang tua. Terlepas cara demikian tidak tepat dilakukan jika
tujuannya untuk memotivasi anak agar belajar lebih giat lagi, nyatanya banyak
orang yang masih percaya cara seperti ini bisa berhasil.
Dalam kasus yang saya alami, walau saya tahu anak saya
begitu menginginkan untuk bisa membeli RAM komputer, agar komputernya tidak lemot ketika dipakai bermain game, ternyata ketika UAS datang,
semangat belajarnya-pun biasa-biasa saja. Saya melihat tidak ada korelasi
antara keinginan mendapatkan hadiah dengan upaya komitmen untuk mewujudkannya. Gejala
apa ini?
Tentu fenomena demikian berbeda dengan masa kecil saya di
tahun 80-an. Dimana, dorongan untuk berprestasi dalam segala hal begitu
kuatnya. Mulai dari kegiatan sekolah, berlomba
menjadi juara kelas, bahkan dalam hal-hal yang berbau agama sekalipun. Saya
masih ingat, ketika saya masih SD, rasanya “begitu gembira” ketika di bulan
ramadhan, ada temen saya yang ‘bolong’ puasanya, sehingga tidak bisa
menyelesaikan puasanya sebulan penuh. Bagaimana dengan sekarang? Apa yang membedakan motivasi berprestasi
berbeda?
Saya teringat tulisan Reinald Kasali yang menyatakan bahwa
faktor distraction (gangguan) yang
jauh lebih dahsyat menyebabkan anak generasi sekarang lebih kesulitan untuk
bisa fokus dan berkonsentrasi. Ketika semua akses ke berbagai sumber infomasi
begitu mudah dijangkau. Ketika semua fasilitas bermain begitu mudah didatangkan
ke rumah dan ke kamar. Maka, potensi ‘gangguan’ menjadi semakin besar, sehingga
berpengaruh terhadap cara memotivasi mereka untuk berprestasi. Jika dulu,
motivasi berprestasi sangat mudah disulut dengan pendekatan ‘kompetitif’, atau
dengan membanding-bandingkan dengan yang lain. Maka, saat ini, cara tersebut
mungkin tidak lagi ideal.
Bagi saya, berprestasi memang merupakan salah satu kebutuhan
dasar manusia. Maka, motivasi untuk beprestasi sebenarnya selalu ada pada diri
kita. Hanya saja, levelnya yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Motif
untuk beprestasi tidak harus disulut dengan cara membanding-bandingkan dengan
orang lain, diraih melalui sebuah kompetisi, ataupun melalui proses mengalahkan
orang lain. Prestasi bisa dimaknai
secara lebih sederhana sebagai sebuah pencapaian pribadi dalam meraih apa yang
kita inginkan. Benang merahnya adalah adanya misi yang ingin diraih, didukung
dengan kemauan dan komitmen untuk mewujudkannya. Karena, apapun misi
berprestasi kita, tanpa didukung oleh motivasi kita untuk mewujudkannya hasilnya
pasti NOL.
Tantangan terberat saat ini adalah, bagaimana memelihara ‘Motivasi
Beprestasi’ kita agar terus ‘on fire’?
Salah satunya harus dilewati dengan kemampuan beradaptasi dengan segala ‘gangguan’
yang menghalangi kita untuk bisa fokus dan berkomitmen dengan prioritas kita. Kembali
ke cerita saya di awal, mencari cara-cara kreatif untuk memotivasi belajar,
mendefinisikan ulang makna ‘prestasi’ yang sesuai dengan zaman ini, dan tidak
memaksakan cara-cara “kuno” adalah
beberapa hal yang bisa saya lakukan.
“Sesulit Apapun Kita Berprestasi; Sesering Apapun Kita Mencoba
Meraihnya; Tak Sedetikpun “Motivasi Berprestasi” Kita Biarkan Pergi Dari Diri
Kita”#gusrowi
No comments:
Post a Comment