“Ayah akan hadiahi kamu uang 50 ribu, jika kamu bisa membuat denah RT”,
kataku. Esza (11 tahun)-pun bergegas melihat draft denah yang masih dalam
bentuk coretan tangan yang saya pegang. Secara spontan dia menjawab “Iya, Esza
akan kerjakan”. Namun, beberapa saat kemudian, Ia pun bertanya kepada saya, “Kira-kira
Esza bisa mengerjakannya apa tidak ya Yah?”
Ada konflik di
dalam pikiran Esza, antara keinginan mendapatkan uang 50 ribu, dengan kenyataan
bahwa ia sama sekali belum pernah memiliki pengalaman melakukannya. Inilah yang
kemudian membuatnya gamang, apakah ia akan bisa menyelesaikan ‘tantangan’ ini
atau tidak.
Tantangan semacam ini pasti pernah dialami oleh siapapun.Tantangan
untuk melakukan sesuatu yang tidak kita kuasai, dan bahkan kita belum pernah
melakukan sebelumnya. Karenanya, kita hanya akan bergantung dengan beberapa
pengalaman yang diyakini akan bisa mengantarkan kita untuk bisa berhasil
mengatasi ‘tantangan’ yang ada.
Merespon hal demikian, berdasarkan survey singkat saya di FB, ada
beberapa orang yang cenderung untuk menerima tantangan semacam ini, karena
meyakini setiap tantangan bisa diselesaikan dan diatasi. Beberapa orang yang
lain, cenderung untuk ‘mencoba dulu’, dan jika tidak berhasil Ia akan mundur
dan membiarkan yang lain untuk mengatasinya. Namun, ada juga yang memilih untuk
‘angkat tangan’ ketika tantangan yang ada dianggapnya membutuhkan kapasitas
melebihi apa yang mampu ia lakukan.
Berdasarkan respon-respon tersebut, ternyata ‘tantangan’ tidak selalu
direspon sebagai sebuah “motivasi” dan “kesempatan” untuk meningkatkan
kemampuan dan pengalaman melakukan hal-hal baru dan di luar kebiasaan. Ada
orang-orang yang realistis melihat tantangan tersebut, dan tidak akan memaksa
diri melakukan sesuatu yang diluar kemampuan.
Kembali ke kasus saya dan Esza, ketika saya memberi ia tantangan,
padahal saya tahu, Ia belum pernah punya pengalaman membuat Denah, kira-kira
apa yang sebenarnya ingin saya buktikan. Apakah saya hanya ingin mempermalukannya?
Membuktikannya ia memang tidak bisa melakukan; Apakah saya hanya ingin memotivasinya agar
memiliki kemampuan dan pengalaman baru? Atau jangan-jangan saya tidak punya
opsi lain, selain memintanya mengerjakan tantangan ini.
Pertanyaan-pertanyaan diatas tentunya patut kita gali ketika mendapat
tantangan yang se-‘olah-olah’ di luar batas kemampuan kita. Memahami dengan baik misi ‘pemberi tantangan’ akan
mempermudah kita dalam merespon dan menentukan arah dan strategi menghadapi tantangan
tersebut. Selain akan bisa mengelola dengan baik energi emosi kita, dan tidak
sekedar menerima tantangan karena ‘emosional’, kita juga akan bisa menerima
tantangan dengan kesadaran dan penuh pertimbangan. Sehingga, keputusan yang kita
ambil benar-benar sesuai dengan ‘misi personal’ kita.
Bagaimanapun juga, kita berkepentingan untuk mendapat manfaat ‘secara
pribadi’ dari sebuah tantangan. Pantang bagi kita, jika menjalani tantangan hanya
untuk memenuhi tercapaiknya ‘misi’ si ‘pemberi tantangan’. #gusrowi
No comments:
Post a Comment