Friday, June 19, 2015

Merespon Tantangan

“Ayah akan hadiahi kamu uang 50 ribu, jika kamu bisa membuat denah RT”, kataku. Esza (11 tahun)-pun bergegas melihat draft denah yang masih dalam bentuk coretan tangan yang saya pegang. Secara spontan dia menjawab “Iya, Esza akan kerjakan”. Namun, beberapa saat kemudian, Ia pun bertanya kepada saya, “Kira-kira Esza bisa mengerjakannya apa tidak ya Yah?”

Ada konflik di dalam pikiran Esza, antara keinginan mendapatkan uang 50 ribu, dengan kenyataan bahwa ia sama sekali belum pernah memiliki pengalaman melakukannya. Inilah yang kemudian membuatnya gamang, apakah ia akan bisa menyelesaikan ‘tantangan’ ini atau tidak.

Tantangan semacam ini pasti pernah dialami oleh siapapun.Tantangan untuk melakukan sesuatu yang tidak kita kuasai, dan bahkan kita belum pernah melakukan sebelumnya. Karenanya, kita hanya akan bergantung dengan beberapa pengalaman yang diyakini akan bisa mengantarkan kita untuk bisa berhasil mengatasi ‘tantangan’ yang ada.

Merespon hal demikian, berdasarkan survey singkat saya di FB, ada beberapa orang yang cenderung untuk menerima tantangan semacam ini, karena meyakini setiap tantangan bisa diselesaikan dan diatasi. Beberapa orang yang lain, cenderung untuk ‘mencoba dulu’, dan jika tidak berhasil Ia akan mundur dan membiarkan yang lain untuk mengatasinya. Namun, ada juga yang memilih untuk ‘angkat tangan’ ketika tantangan yang ada dianggapnya membutuhkan kapasitas melebihi apa yang mampu ia lakukan.

Berdasarkan respon-respon tersebut, ternyata ‘tantangan’ tidak selalu direspon sebagai sebuah “motivasi” dan “kesempatan” untuk meningkatkan kemampuan dan pengalaman melakukan hal-hal baru dan di luar kebiasaan. Ada orang-orang yang realistis melihat tantangan tersebut, dan tidak akan memaksa diri melakukan sesuatu yang diluar kemampuan.

Kembali ke kasus saya dan Esza, ketika saya memberi ia tantangan, padahal saya tahu, Ia belum pernah punya pengalaman membuat Denah, kira-kira apa yang sebenarnya ingin saya buktikan. Apakah saya hanya ingin mempermalukannya? Membuktikannya ia memang tidak bisa melakukan;  Apakah saya hanya ingin memotivasinya agar memiliki kemampuan dan pengalaman baru? Atau jangan-jangan saya tidak punya opsi lain, selain memintanya mengerjakan tantangan ini.

Pertanyaan-pertanyaan diatas tentunya patut kita gali ketika mendapat tantangan yang se-‘olah-olah’ di luar batas kemampuan kita.  Memahami dengan baik misi ‘pemberi tantangan’ akan mempermudah kita dalam merespon dan menentukan arah dan strategi menghadapi tantangan tersebut. Selain akan bisa mengelola dengan baik energi emosi kita, dan tidak sekedar menerima tantangan karena ‘emosional’, kita juga akan bisa menerima tantangan dengan kesadaran dan penuh pertimbangan. Sehingga, keputusan yang kita ambil benar-benar sesuai dengan ‘misi personal’ kita.

Bagaimanapun juga, kita berkepentingan untuk mendapat manfaat ‘secara pribadi’ dari sebuah tantangan. Pantang bagi kita, jika menjalani tantangan hanya untuk memenuhi tercapaiknya ‘misi’ si ‘pemberi tantangan’. #gusrowi



No comments:

Post a Comment