Mendengar kata "sukarela" apa yang anda pikirkan? Sederat respon tentunya membentang. Mulai dari tanpa paksaan, atas kemauan sendiri hingga tak mendapat imbalan apapun. Orang-orang yang melakukan ini biasa disebut sukarelawan.
Seorang sukarelawan menjalani
misinya dengan landasan keikhlasan, dan tak sekalipun mengharapkan imbalan dari
apa yang ia lakukan. Bagi sebagian orang, menjadi sukarelawan juga merupakan gaya
hidup. Artinya, "ke-sukarelawan-an" sudah menjadi kebutuhan dan
sarana untuk ‘aktualisasi diri’. Tidak ada lagi di benak mereka pikiran tentang
berapa banyak yang mereka berikan dan akan mereka dapatkan.
Karena itu, ke-sukarelawan-an
membutuhkan ketahanan mental (mental
endurence) yang kuat dalam menghadapi cobaan dan tantangan. Ia harus siap
menghadapi situasi dimana ia lebih banyak "memberi" di banding
"menerima"; menjadi pihak yang lebih berkorban; menjadi pihak yang
kurang mendapatkan perhatian dan apresiasi; dan menjadi pihak yang harus selalu
mengedepankan pola pikir "apa yang bisa aku perbuat?” dan bukan “apa yang
akan aku dapatkan?".
Semangat ke-sukarelawan-an
karenanya tidak bisa bersanding harmonis dengan sikap-sikap
"itungan". "Aku kan sudah melakukan ini dan itu, berkorban
banyak hal untuk ini dan itu, tapi apa balasan yang aku dapat?" Hal-hal
yang memicu munculnya perasaan "makan ati" semacam ini akan sering
dihadapi oleh siapapun yang masuk ke ranah kerja-kerja ke-sukarelawan-an.
Hanya orang-orang yang
memiliki "ketahanan mental" yang kokoh, tidak mudah putus asa, tahan
banting, terbiasa dengan perbedaan dan sikap kritis, dan tahan godaan "itungan"-lah
yang akan keluar sebagai “sukarelawan” sejati. Bagi mereka, apapun dampak
positif dari “ke-sukarelawan-an” (yang mereka dedikasikan) bagi dirinya secara
pribadi, bukanlah capaian yang menjadi fokus mereka.
Jika kita sudah memantapkan
hati untuk menjadi ‘sukarelawan’, idealnya kita bersiap-siap menjadi pribadi
yang ikhlas, tanpa pamrih, dan mengedepankan kepentingan tercapainya misi yang
diemban, dibanding kepentingan yang bersifat pribadi. Karena, jika kita bias
dengan ke-sukarelawan-an kita, dan kepentingan pribadi banyak mendominasi, maka
bisa dipastikan kita telah mereduksi dan mengurangi ke-bermanfaat-an dari apa
yang kita lakukan buat orang lain dan atau sesama. Dan kita tidak bisa lagi
mengklaim diri kita sebagai seorang ‘sukarelawan’.
Ke-sukarelawan-an itu
tentang berbuat dan bermanfaat buat orang lain. Dengan membiasakan terlibat
dalam aktivitas dan kegiatan yang bersifat ‘sukarela’, maka sebenarnya kita
tengah berproses meningkatkan level ke-bermanfaat-an kita buat orang lain. Sebagaimana
yang sering kita dengar dan baca, “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat
buat orang lain”. Saya sepenuhya
meyakini ini, dan semoga demikian juga dengan anda.
Ayo! pastikan kita
menyisihkan sebagian waktu kita untuk kegiatan yang bersifat sukarela! Semampu
yang kita bisa, apapun itu pasti bermanfaat. #gusrowi
mantap pak gus lanjutkan
ReplyDeleteSiap pak Ucup...hehe
Delete