Friday, June 12, 2015

Terbuka dengan Respon yang Berbeda

“Ayah, kemarin Nafa ditanya Amel, antara Amel dan Lia, siapa yang Nafa pilih sebagai teman? Terus apa Jawabmu? Tanyaku. Nafa milih dua-dua nya, Nafa gak mau milih. Nafa milih semuanya.” Sebagai orang tua, tentu ada kebanggan tersendiri mendengar jawaban seperti ini.  Bahwa berteman itu dengan siapa saja, dan hendaknya tidak pandang bulu, sepanjang tujuannya adalah untuk kebaikan dan silaturahmi.

Peristiwa ini mengingatkan saya kembali ke tahun 1995, atau hampir 20 tahun silam. Ketika untuk pertama kalinya saya menulis di kolom kecil sebuah harian di Yogyakarta. Pada waktu itu saya menulis artikel dengan judul “Memilih Pergaulan Ideal”. Untuk ini saya mendapat honor 10 ribu. Uang yang tidak ada apa-apanya di zaman ini, namun sangatlah bermakna di tahun itu, apalagi di Yogyakarta. Uang 10 ribu bisa untuk makan 4 hari untuk ukuran anak kos kayak saya.

Saking bangganya, karena nama saya terpampang di media massa untuk pertama kalinya, dan membayangkan tulisan saya dibaca oleh orang se-antero Yogyakarta (meski tentu saja tidak benar adanya hehe). Saya menempelkan tulisan tersebut di dinding kamar, untuk selalu mengingatkan dan sebagai penyemangat agar lebih rajin menulis lagi. Tetapi, ternyata tidak mudah untuk menulis lagi, dan saya harus berjibaku lama sekali, sampai kemudian menjadikan menulis sebagai penopang untuk nambah uang jajan dan beli buku di Yogyakarta.

Kembali ke tulisan saya, beberapa minggu setelah tulisan saya dimuat, saya mendapatkan surat dari seseorang yang tidak setuju dengan apa yang saya tulis. Di satu sisi, ketika menerima surat tersebut, saya merasa terhormat, karena benar-benar ada yang membaca tulisan saya. Di sisi lain, saya juga merasakan pengalaman yang berbeda, ketika ide saya dikritik dan ada orang yang tidak sependapat dengan apa yang saya tuangkan dalam tulisan tersebut.

Saat itu, memang saya menulis tentang bagaimana idealnya memilih pergaulan. Tidak asal bergaul, dan benar-benar harus mempertimbangkan sisi positif dan negatifnya. Itulah yang tidak disetujui oleh si pengirim surat, bahwa bergaul tidak boleh pilih-pilih. Karena pada dasarnya tidak ada pergaulan yang salah, dengan siapapun kita berteman dan bergaul, sangatlah tergantung diri kita sendiri, sejauh apa kita akan bergaul dan berteman. Dan dalam hal apa saja kita akan berteman. Selama tidak saling menjerumuskan dan menghianati, bergau dan berteman dengan siapapun tidak akan menjadi masalah.

Apa respon saya waktu itu? Pertama, saya merasa tidak mengenal orang itu. Kedua, saya tidak perlu memperdulikan apa kata orang tersebut. Ketiga, toh saya sudah dapat honor, peduli amat tulisan saya dikritik. Selanjutnya, saya cenderung melihat kelemahan dari isi kritik orang tersebut, ketimbang memahaminya sebagai sebuah sudut pandang lain dari cara melihat sebuah persoalan. Intinya, saya lebih memilihi memasang ‘tembok’ di depan saya untuk mengantisipasi segala hal yang berujung pada ‘pembenaran’ terhadap apa yang ia katakan tentang saya, sambil meyakinkan diri, bahwa apa yang saya tulis benar dan sudah semestinya.

Padahal, ketika si pengirim surat tersebut mencurahkan pikirannya untuk menulis surat, memberikan pandangannya, dan mengirimkan kepada saya, menunjukkan adanya ‘perhatian’ serius dengan apa yang saya tulis. Ada ruang interaksi dan dialog yang coba dibangun, yang jika saya manfaatkan dengan baik, akan memberikan  pemahaman, pengalaman dan sudut pandang baru baik buat saya maupun si penulis surat. Sebuah ruang yang saya lewatkan saat itu. Alih-alih menjadikan surat tersebut sebagai bahan refleksi, saya justru mengabaikannya, dan tidak membalasnya.

Lalu apa kaitanya dengan cerita Nafa diatas? Saya melihat tentang pentingnya ‘keterbukaan’ untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan siapapun. Keterbukaan sebagai  langkah awal untuk mempertimbangkan proses berteman selanjutnya. Jika, sejak awal sudah menutup diri dan tidak terbuka dengan potensi-potensi pertemanan dan pergaulan, jangan harap kita akan memiliki cukup pengalaman  dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan banyak orang. Ketika kita sudah mem-blocking diri kita dari dunia di sekitar kita, akibatnya, sikap-sikap anti kritik, defensif, mencari pembenaran pribadi, dan kuper¸ sangatlah potensial menghampiri.

Dengan sikap terbuka, kita akan mempermudah proses yang harus kita jalani dalam menghadapi berbagai perbedaan, kritik, masukan dan feedback dari orang lain. Tentu, proses keterbukaan ini juga harus diikuti dengan sikap ‘jujur’ mengakui apa yang sebenarnya kita yakini dan juga lakukan. #gusrowi.  

No comments:

Post a Comment