“Ayah, kemarin Nafa ditanya Amel, antara Amel dan Lia, siapa yang Nafa
pilih sebagai teman? Terus apa Jawabmu? Tanyaku. Nafa milih dua-dua nya, Nafa
gak mau milih. Nafa milih semuanya.” Sebagai orang tua, tentu ada kebanggan
tersendiri mendengar jawaban seperti ini. Bahwa berteman itu dengan siapa saja, dan
hendaknya tidak pandang bulu, sepanjang tujuannya adalah untuk kebaikan dan
silaturahmi.
Peristiwa ini mengingatkan saya kembali ke tahun 1995, atau hampir 20
tahun silam. Ketika untuk pertama kalinya saya menulis di kolom kecil sebuah
harian di Yogyakarta. Pada waktu itu saya menulis artikel dengan judul “Memilih
Pergaulan Ideal”. Untuk ini saya mendapat honor 10 ribu. Uang yang tidak ada
apa-apanya di zaman ini, namun sangatlah bermakna di tahun itu, apalagi di
Yogyakarta. Uang 10 ribu bisa untuk makan 4 hari untuk ukuran anak kos kayak
saya.
Saking bangganya, karena nama saya terpampang di media massa untuk
pertama kalinya, dan membayangkan tulisan saya dibaca oleh orang se-antero
Yogyakarta (meski tentu saja tidak benar adanya hehe). Saya menempelkan tulisan
tersebut di dinding kamar, untuk selalu mengingatkan dan sebagai penyemangat
agar lebih rajin menulis lagi. Tetapi, ternyata tidak mudah untuk menulis lagi,
dan saya harus berjibaku lama sekali, sampai kemudian menjadikan menulis
sebagai penopang untuk nambah uang jajan dan beli buku di Yogyakarta.
Kembali ke tulisan saya, beberapa minggu setelah tulisan saya dimuat,
saya mendapatkan surat dari seseorang yang tidak setuju dengan apa yang saya
tulis. Di satu sisi, ketika menerima surat tersebut, saya merasa terhormat,
karena benar-benar ada yang membaca tulisan saya. Di sisi lain, saya juga
merasakan pengalaman yang berbeda, ketika ide saya dikritik dan ada orang yang
tidak sependapat dengan apa yang saya tuangkan dalam tulisan tersebut.
Saat itu, memang saya menulis tentang bagaimana idealnya memilih
pergaulan. Tidak asal bergaul, dan benar-benar harus mempertimbangkan sisi
positif dan negatifnya. Itulah yang tidak disetujui oleh si pengirim surat,
bahwa bergaul tidak boleh pilih-pilih. Karena pada dasarnya tidak ada pergaulan
yang salah, dengan siapapun kita berteman dan bergaul, sangatlah tergantung
diri kita sendiri, sejauh apa kita akan bergaul dan berteman. Dan dalam hal apa
saja kita akan berteman. Selama tidak saling menjerumuskan dan menghianati,
bergau dan berteman dengan siapapun tidak akan menjadi masalah.
Apa respon saya waktu itu? Pertama, saya merasa tidak mengenal orang
itu. Kedua, saya tidak perlu memperdulikan apa kata orang tersebut. Ketiga, toh
saya sudah dapat honor, peduli amat tulisan saya dikritik. Selanjutnya, saya cenderung
melihat kelemahan dari isi kritik orang tersebut, ketimbang memahaminya sebagai
sebuah sudut pandang lain dari cara melihat sebuah persoalan. Intinya, saya
lebih memilihi memasang ‘tembok’ di depan saya untuk mengantisipasi segala hal
yang berujung pada ‘pembenaran’ terhadap apa yang ia katakan tentang saya,
sambil meyakinkan diri, bahwa apa yang saya tulis benar dan sudah semestinya.
Padahal, ketika si pengirim surat tersebut mencurahkan pikirannya untuk
menulis surat, memberikan pandangannya, dan mengirimkan kepada saya, menunjukkan
adanya ‘perhatian’ serius dengan apa yang saya tulis. Ada ruang interaksi dan
dialog yang coba dibangun, yang jika saya manfaatkan dengan baik, akan
memberikan pemahaman, pengalaman dan
sudut pandang baru baik buat saya maupun si penulis surat. Sebuah ruang yang
saya lewatkan saat itu. Alih-alih menjadikan surat tersebut sebagai bahan
refleksi, saya justru mengabaikannya, dan tidak membalasnya.
Lalu apa kaitanya dengan cerita Nafa diatas? Saya melihat tentang
pentingnya ‘keterbukaan’ untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan
siapapun. Keterbukaan sebagai langkah
awal untuk mempertimbangkan proses berteman selanjutnya. Jika, sejak awal sudah
menutup diri dan tidak terbuka dengan potensi-potensi pertemanan dan pergaulan,
jangan harap kita akan memiliki cukup pengalaman dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan
banyak orang. Ketika kita sudah mem-blocking
diri kita dari dunia di sekitar kita, akibatnya, sikap-sikap anti kritik,
defensif, mencari pembenaran pribadi, dan kuper¸
sangatlah potensial menghampiri.
No comments:
Post a Comment