“Apakah ketika anda sedang merumuskan kebijakan, atau sedang
menjalankan berbagai fungsi sebagai anggota dewan, anda selalu memberikan ruang
di pikiran anda tentang “Apa manfaatnya buat rakyat?”, atau “Apakah kebijakan
ini benar-benar mewakili kepentingan rakyat?”
Merespon pertanyaan saya di atas, hampir semua partisipan pelatihan
menjawabnya dengan gaya khas ‘politisi’. “Kita harus selalu mempertimbangkan
kepentingan rakyat dong. Itu harus dan wajib dilakukan.” Saya pun mempertajam
pertanyaan, “Apakah anda melakukannya?”. Kebanyakan dari mereka tetap menjawab “Itu
harus dilakukan”. Saya lanjutkan mengejar jawaban mereka, “Saya bertanya
tentang Apakah anda melakukan atau tidak, dan bukan jawaban seharusnya
dilakukan atau tidak”. Satu persatu kemudian saya tanya, sampai kemudian ada
yang menjawab “Sangat jarang sekali kami melakukan Itu”, yang kemudian
di-amin-i oleh semua partisipan.
Hal yang menarik dari cerita tersebut adalah jawaban ‘mbulet’
mereka. Pertanyaan tentang ‘apa yang mereka lakukan’, dijawab dengan pertanyaan
‘apa yang seharusnya mereka lakukan’. Mengapa jawaban-jawaban tersebut dominan?
Apakah ini satu gaya lumrah seorang politisi yang mementingkan ‘pencitraan’ dan
‘branding’ dari pada kerja nyata yang sesungguhnya?
Satu hal yang sangat jelas disini adalah isi jawaban mereka tidaklah ‘orisinil’. Pada awalnya mereka nyaman dengan jawaban-jawaban yang cenderung tidak memperlihatkan siapa diri mereka sebenarnya. Dengan tidak mengakui apa yang sebenarnya mereka lakukan, sama artinya mereka tidak jujur dengan diri mereka sendiri. Karena, apa yang mereka katakan tidak sejalan dengan apa yang sebenarnya mereka lakukan.
Saya meyakini, pola-pola yang tidak mengindahkan ‘keaslian’
diri kita demi dipersepsikan sebagai orang ‘baik’, ‘amanah’ dan ‘bisa dipercaya’,
sering menggoda kita untuk melakukannya. Godaan tentang nikmatnya perasaan
bahagia ketika mendapat puja dan puji dari orang lain karena berhasil memenuhi ‘ekspektasi’
mereka, ataupun godaan adanya keuntungan atas apa yang kita ‘tampil’ dan ‘citrakan’
kepada orang lain.
Padahal, jika kita dalami, ketika kebahagiaan itu muncul
karena hanya mengikuti dan memenuhi ‘ekpektasi’ orang lain, sama saja kita
sedang mengorbankan apa yang sebenarnya menjadi ‘kepentingan’ diri kita sendiri.
Disinilah yang terkadang tidak kita sadari. Kita tidak menjadi ‘diri kita
sendiri’, dan seolah-olah sedang menjalani peran dan sosok yang diidealkan oleh
orang lain.
Menjadi pribadi yang orisinil artinya menjadi pribadi yang ketika
melakukan sesuatu didasarkan pada apa yang ia yakini. Ia tidak akan melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya. Baginya, kejujuran tidak saja
dalam kata dan perbuatan. Namun, kejujuran harus dimulai dari dasar hati yang
paling dalam, sehingga bisa membawa kebaikan dalam kata dan perbuatan.
Memang, menjadi pribadi yang ORI sangatlah besar cobanya.
Meskipun kita tahu, kata kuncinya adalah kejujuran diri kita, siapapun pasti
setuju jika jalan terjal selalu siap menghalangi kita untuk bisa menjadi pribadi
yang jujur. Tetapi, karena tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, jika kita
sangat yakin dengan tekad kita menjadi ORI, maka terus mencoba dan berusaha
adalah strategi melawan halangan dan rintangan yang ada. #gusrowi
No comments:
Post a Comment