Sahabat,
Dibawah ini adalah beberapa hasil refleksi saya tentang konflik yang saya tuangkan ke dalam beberapa status di akun Facebook saya: Agus Hadi Nahrowi. Terima Kasih
"Reaksi Atas Konflik"
"Hati-hati dengan reaksi pertama anda terhadap masalah atau
konflik, karena itu akan menentukan bagaimana langkah anda dalam menyelesaikan
masalah." Ungkapan ini sudah puluhan bahkan ratusan kali saya sampaikan di
banyak kesempatan memfasilitas pelatihan maupun pertemuan. Semakin sering saya
sampaikan, rasanya semakin tinggi level kesulitan dalam menerapkannya di dalam
kehidupan sehari hari. Satu hal yang pasti, ada kenikmatan tersendiri ketika
kita bisa menerapkan sendiri apa yang kita katakan dan yakini. Mencoba,
mengalami, dan memodifikasinya menjadi kuncinya. Selamat Malam Semua!. (17 Maret 2015)
“Berteman dengan Konflik”
Sudahkah anda memiliki masalah/konflik untuk hari ini? Bertemanlah
dengan masalah atau konflik. Dengan menjadi teman "baiknya" kiranya
akan lebih memudahkan kita untuk menemukan "titik temu"dan
memungkinkan kita bisa bekerjasama dengannya. Kita juga akan makin mengenalnya,
sehingga tidak lagi "takut" ketika bertemu dengannya. "Trouble
is a friend" kata Lenka. Saya suka itu. Ada unsur
"dinamis,"kreatif" dan "transformatif" di situ.
Menurut anda?
(11 April 2015)
“Trigger Konflik”
"Ada orang yang sangat sabar, namun tiba-tiba meledak
marahnya ketika disinggung perihal keluarganya. Atau, ada orang yang menjadi
sangat emosional dan anarkhis ketika disinggung masalah keyakinan dan harga
dirinya."
Di dalam konflik, hal tersebut dikenal sebagai "conflict
trigger" atau pemicu konflik. Masing-masing dari kita memilikinya. Ada
yang mengenalinya dengan baik, ada yang tidak. Tiap orang memiliki
"trigger" yang berbeda-beda.
Mengenali apa saja yang bisa "memicu" munculnya sikap emosional, rasa marah dan amarah
di dalam diri kita adalah langkah awal untuk bisa mengelola "trigger"
kita dengan baik. Dengan mengenalinya, kita memiliki peluang untuk menemukan
"treatment" yang tepat agar ketika merasa tidak
nyaman/emosional/marah tidak berdampak negatif buat orang-orang di sekitar
kita.
Di sisi lain, mengenali "trigger" orang-orang terdekat
kita, teman, atasan, keluarga, juga tak kalah pentingnya. Dengan mengenalinya,
kita akan berhati-hati untuk tidak "menyentuhnya", sehingga kita bisa
menghindari munculnya hal-hal yang bisa mengganggu silaturahmi dan hubungan
baik kita dengan mereka. (30
April 2015)
“Bijak Berasumsi”
"Ujilah asumsimu, dan jangan menelannya
mentah-mentah".
Berasumsi atas apa yang terjadi di depan dan sekitar kita adalah
sebuah kewajaran. Hanya saja, kewajaran tersebut akan berubah menjadi hal yang
"membahayakan", jika "asumsi" yang kita miliki tidak kita
"uji" terlebih dahulu.
Ketika kita tidak memberi ruang untuk menguji asumsi kita, dan
langsung menyimpulkannya sebagai sebuah "kebenaran", maka yang sangat
mungkin terjadi kemudian adalah kesalahpahaman, fitnah, dan pendekatan yang kurang tepat. Berasumsi hanyalah
langkah awal dalam memahami sesuatu, dan selanjutnya harus diikuti proses
pembuktian dan pengujian tentang benar tidaknya asumsi kita. Tentu, hasilnya
bisa "benar", dan juga bisa "salah". Keduanya harus
disikapi dengan bijak, legawa dan dewasa.
Mari terus berasumsi, namun dengan "tanpa rasa takut"
untuk terus mengujinya, dan ke-lapang dada-an menerima apapun hasilnya. (1 Mei 2015)
“Berpikir Positif”
Berpikir positif itu tidak semudah mengucapkannya. Bahkan meyakininya
menjadi hal yang baik jika bisa diterapkan juga tidak gampang. Ada hal-hal yang
harus dilewati sebelum kemudian benar-benar PD bahwa kita sudah berpikir
positif.
Salah satunya adalah menjawab mengapa kita perlu berpikir positif?
Apakah itu sekedar cara kita menghibur diri dari kekhawatiran dan ketakutan
atas apa yg akan terjadi? Ataukah itu tentang ketidaksiapan kita menerima
keadaan yang tidak kita inginkan?
Bagi saya, berpikir positif akan berdampak negatif, jika niatnya hanya
untuk menyiapkan diri kita terhindar dari sesuatu yang tidak kita inginkan.
Karena apapun situasinya, menghadapinya adalah cara terbaik untuk bisa lebih
dekat denga solusi yang dicari. (20 Februari 2015)
“Sulitnya Bekerjasama”
Mendebatkan ataupun mendialogkan persoalan "nilai" sangatlah
tidak mudah, mengingat masing-masing memiliki subyektivitas yang sama-sama
kuat. Apalagi ada persoalan "harga diri" yang terlibat. Tak heran
jika kemudian egoisme dan kepentingan pribadi begitu menonjol. "Apa yang
bisa membuat kita bisa bekerjasama?" Hanyalah ungkapan pertanyaan yang
nyatanya sangat tidak mudah untuk diamalkan oleh dua pihak yang sedang
berseberangan. Apakah jalan sendiri-sendiri akan menjadi pilihan yang paling
masuk akal? (21 Januari 2015)
“Menuju Kolaborasi”
Menyelesaikan masalah, sekecil apapun, orientasi idealnya adalah
mencapai hasil yang memungkinkan kedua pihak mendapatkan tujuannya, dan
hubungan terjaga dengan baik, atau dikenal dengan kolaborasi (win-win). Tetapi,
yang saya pelajari dari banyak orang, gaya kolaborasi ini sulit dilakukan.
Seringkali, untuk mencapai level ini, terlebih dahulu kita harus ber-kompromi,
ber-akomodasi, ber-kompetisi dan bahkan menghindar.
Selama hal hal itu masih dalam tahapan proses, saya kira tidak masalah,
asalkan tidak mengeliminasi tujuan utamanya, yaitu kolaborasi. Disinilah
kemudian kita mengenal istilah "mengalah untuk menang," "mundur
satu langkah, untuk maju dua langkah," dan sebagainya. (31 Maret 2015)
“Syarat Utama Memanusiakan Orang Lain”
"Mengenali diri sendiri" dan "memanusiakan orang
lain", 2 frase yang saya dapatkan dari salah satu temen "bijak"
saya hari ini. Sekilas, 2 hal tersebut tidak berkaitan. Satu hal tentang diri
sendiri, satu lagi tentang orang lain. Setelah menyelaminya, saya berpandangan
bahwa orang yang sukses "memanusiakan" orang lain, pasti memiliki
level pengetahuan yang sangat baik tentang dirinya sendiri.
Bagaimana mungkin, seorang yang tidak merasa nyaman dilecehkan orang
lain, juga melakukan pelecehan
kepada orang lain. Atau, bagaimana mungkin, seorang yang tidak mau
"diperlakukan secara tidak terhormat" oleh orang lain, di sisi lain
juga melakukan hal sama, tidak menghormati orang lain.
Jadi, rasanya masuk akal, jika ada orang yang
kesulitan memanusiakan orang lain, salah satu penyebabnya karena ia belum
"tuntas" dalam memahami dan berempati terhadap dirinya sendiri.
Begitukah? (28 April 2015)
No comments:
Post a Comment